Adli terus memeluk Ajeng yang masih menangis. Pria tersebut menjemputnya di kediaman Farhan setelah Ajeng menelpon dan mendengar gadis tersebut menangis terisak. Bahkan, sekarang pun Ajeng masih menangis di sana. Di dalam mobil yang sengaja dipinggirkan oleh Adli karena sepanjang perjalanan tadi Ajeng terus terisak. Pria tersebut langsung melajukan mobilnya dari Rumah Sakit menuju rumah Farhan setelah menerima telpon dari gadis yang sangat ia sayangi itu.
Pria tersebut tidak bersuara apapun. Hanya berada di sana, memeluk Ajeng. Tidak juga bertanya mengenai hal apa yang membuatnya menangis saat ini.
Adli marah? Sudah pasti. Apapun yang membuat Ajeng menangis hari ini sudah pasti sangat menyakitkan buat Ajeng, dan Adli kesal melihatnya. Pria itu mencoba meredam emosinya, bagaimana pun Ajeng sangat membutuhkannya. Di situlah Ajeng dan Adli malam itu. Adli memarkir mobilnya sebentar di pinggir jalan raya kota Solo yang malam itu masih ramai.
Tidak bisa dipungkiri bahwa Adli sangat penasaran mengenai hal yang membuat Ajeng menangis malam ini. Awalnya saat Adli menjemput Ajeng di kediaman Farhan, Ajeng terlihat biasa saja. Bahkan gadis itu tersenyum ramah ketika pamit kepada ibunya Farhan. Meskipun Adli melihat sendiri Farhan berada di sana berdiri tanpa ada keberanian menahan Ajeng. Apa yang Adli lihat saat Ajeng berpamitan pulang sangat bertolak belakang dengan suara tangis Ajeng yang ditangkap Adli dari telpon. Baru ketika Ajeng memasuki mobil dan Adli menginjak pedal gas meninggalkan rumah tersebut, air mata satu per satu menetes dari mata gadis tersebut membasahi pipinya.
Beberapa rintik hujan mulai membahasi jendela mobil Adli dan membuat suara gemuruh sendiri di atap mobil Adli. Jika Ajeng tidak sedang menangis, sudah bisa dipastikan gadis itu akan berceloteh panjang mengenai awan-awan gelap dan gejala iklim yang bisa diterka olehnya. Namun, malam itu Ajeng ikut menangis bersama langit. Adli hanya bisa memusut punggung Ajeng dengan lemah lembut. Memberikan gadis tersebut kekuatan tersendiri. Tidak bersuara. Tidak juga bertanya mengapa.
Adli ikut sakit melihat gadis yang sudah ia kenal seumur hidupnya ini menangis. Tak perlu ditanya bagaimana sakit dan ikut terlukanya dirinya melihat kondisi Ajeng. Bagaimana kesal dan marahnya dia.
Adli beberapa kali mencium puncak kepala Ajeng sembari mendekapnya. Tangis gadis itu sudah tidak seperti tadi. Tidak terdengar lagi adanya isakan. Hanya sesekali punggungnya berguncang. Ajeng pun belum ingin melepaskan pelukannya dari Adli.
Tidak perlu ditanya bagaimana kusutnya wajah Ajeng malam itu. Maskara water proof yang ia kenakan menjadi menggumpal dan berhamburan di bawah matanya, lipstick warna merah yang malam itu ia kenakan sudah berlepotan di pipinya karena terkena air mata dan digosok begitu saja oleh Ajeng bahkan beberapa titik menempel di kemeja yang malam itu Adli kenakan, bedaknya sudah tidak lagi menempel di wajahnya. Rahang Adli mengeras melihat kondisi Ajeng. Beberapa kali Ajeng terbatuk dan nafasnya sesak.
Mobil tersebut berhenti hampir setengah jam saat akhirnya Ajeng melepaskan pelukannya dan menatap Adli yang masih melihat dirinya dengan tatapan khawatir. Adli masih mendekapnya.
"Aku bakal putusin Farhan," hanya kalimat itu yang keluar dari mulutnya.
Adli lagi-lagi merasa ditampar. Hatinya sakit. Pria itu bisa melihat tatapan terluka yang ada di mata Ajeng. Hal yang sama yang ia lihat dulu. Kali ini Adli merasa dia ikut bersalah. Dirinya lah yang menyarankan Ajeng untuk membuka hati untuk Farhan. Adli merasa gagal menjaga salah satu wanita yang ia sayangi.
"Maafin aku Ajeng. Gara-gara aku ngebiarin kamu membuka hati sama orang sembarangan, kamu jadi kayak gini," ujar Adli lirih seraya mencium puncak kepala Ajeng. Setetes air mata kembali mengalir di pipi Ajeng. Adli menyekanya dengan cepat.
"Bukan salah kamu, mas. Aku yang memang nggak seharusnya ada di sana," ujar Ajeng lalu tersenyum masam. Adli menatapnya bingung dengan ucapan Ajeng.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bridesmaid
Chick-LitSudah dua tahun terakhir Hanum, Kesha, Ajeng, Astrid, Rara, Vero, dan Alya yang bersahabat sejak SMA tidak pernah bertemu lagi. Hal ini disebabkan oleh kesibukan di puncak karir mereka. Cita-cita yang mereka idamkan telah berhasil mereka raih. Namun...