Waktu berlalu dengan cepat hingga akhirnya sudah mencapai pertengahan bulan maret. Artinya, pernikahan Hanum akan berlangsung sebentar lagi. Astrid sudah dua minggu menyibukkan dirinya. Mencari ketenangan. Sekian tahun yang ia lewati bersama Fadhlan tidak bisa serta merta ia lupakan begitu saja.
Astrid tengah melipat jas putihnya saat ponselnya berdering. Ibunya menelpon agar ia menginap di rumah ibunya malam itu. Tanpa banyak komentar Astrid mengikuti apa kata ibunya dan melajukan mobilnya menuju rumah orang tuanya alih-alih menuju apartemennya.
Wanita tersebut memilih untuk tidak mau memperdulikan lagi Fadhlan dan hubungannya sebelumnya. Bahwa jarak di antara mereka benar-benar berhasil memutus cinta yang sudah sekian tahun terjalin. Astrid sedih? Tentu saja. Menyesal? Apalagi. Mengingat bahwa dirinya sudah berkali-kali menolak lamaran Fadhlan, mungkin ini lah karma yang ia dapatkan. Mungkin, Fadhlan sudah benar-benar lelah memperjuangkan dan menunggu kesiapan dirinya.
Astrid memarkir mobilnya di pekarangan rumah orang tuanya dan menemukan pintu depan terbuka keduanya. Di depan pintu terdapat sepasang sepatu pantofel hitam. Samar-samar Astrid dapat mendengar suara orang berbincang di dalam sana. Astrid mengenali suara tersebut. Suara yang sudah ia rindukan, namun ia coba hindari.
Takut-takut wanita tersebut melangkah dan semakin jelas lah suara yang ia dengar. Tidak salah lagi, suara bariton yang samar-samar ia dengar dari luar ialah suara Fadhlan. Buat apa pria itu ke sini?
Melihat pintu masuk dari garasi terbuka, Astrid memilih masuk lewat belakang alih-alih masuk lewat depan dan bertemu Fadhlan. Walaupun, Astrid berani bertaruh bahwa Fadhlan sudah mengetahui bahwa dirinya berada di sana.
Tanpa menimbulkan suara, Astrid berjalan pelan masuk ke dalam rumah orang tuannya dan mencoba berjalan pelan masuk lewat pintu dapur lalu naik dengan mengendap-endap ke tangga menuju kamarnya di lantai dua.
"Astrid! Loh, kamu masuk lewat mana? Kok nggak salam gitu sih masuk rumah," baru separuh anak tangga ia naiki, kini ibunya justru sudah menyadari keberadaannya. Astrid menoleh, tepat matanya terserobok bertemu dengan Fadhlan yang kini menatapnya sambil tersenyum manis. Rasanya pertahanan hatinya Astrid hancur begitu saja begitu melihat pria yang sudah dua tahun itu tidak ia temui dan sentuh raganya.
Tanpa menjawab maupun berkomentar, Astrid menuruni tangga kembali dan duduk di sofa dekat ibunya.
"Mama tunggu dari tadi, mama mau arisan dulu di mall. Ini Fadhlan sudah nungguin kamu dari tadi, nggak kangen apa? Dua tahun nggak ketemu gitu. Fadhlan udah lama di sini ngobrol-ngobrol sama mama, papa juga," ujar ibunya Astrid seraya bangkit berdiri meninggalkan Astrid dan masuk ke dalam kamar tidurnya.
Fadhlan tersenyum ramah ke arah wanita paruh baya yang kini tengah menyusul suaminya di kamar untuk bersiap ke acara mereka selanjutnya.
Astrid pindah duduk di samping Fadhlan. Aroma maskulin yang sudah lama tidak Astrid hirup ini kembali memenuhi indra penciumannya lagi. Di sampingnya, saat ini Fadhlan tengah duduk manis. Bersikap ramah dengan orang tuanya. Seketika Astrid mengalami dejavu. Dulu, saat Astrid masih menjalani internship, setiap keduanya memiliki waktu luang dari jam praktek mereka, Fadhlan selalu bertandang ke rumah orang tua Astrid. Seperti sekarang ini.
Debaran jantung Astrid tak kunjung mereda berada di samping Fadhlan seperti ini. Pria itu pun masih sama diamnya. Menikmati momen yang sudah lama tidak mereka rasakan. Ingin rasanya Astrid memeluk Fadhlan saat itu juga. Lama, hingga kedua orang tua Astrid keluar dari kamar mereka dan mengatakan ingin pergi sebentar, mereka masih saja saling diam.
Hingga, Fadhlan akhirnya memilih untuk mengakhiri keheningan yang terjadi di antara mereka, "Maafkan aku,"
Pendek. Namun, mencakup semua hal yang sudah terjadi selama dua tahun terakhir.
Setitik air mata jatuh begitu saja di pipi Astrid saat mendengar suara bariton Fadhlan akhirnya berbicara kepadanya. Secara langsung. Bukan via telekomunikasi.
Astrid menoleh, Fadhlan yang duduk di sampingnya menatapnya lekat-lekat. Tatapan mata yang sudah dua tahun Astrid rindukan. Tanpa segan-segan wanita tersebut memeluk erat Fadhlan begitu saja. Pelukan yang langsung dibalas oleh Fadhlan sama eratnya.
"Aku mau jelasin semuanya ke kamu, semua hal yang terjadi belakangan ini, semuanya, aku menunggu momen ini Astrid, aku pengen cerita semuanya ke kamu," ucap Fadhlan dengan nada bergetar. Pria tersebut memeluk Astrid sembari sesekali mencium puncak kepala Astrid.
Astrid yang mendengarnya hanya mengangguk kemudian berkata, "Nanti aja, aku pengen peluk kamu dulu,"
Fadhlan tersenyum. Lama, mereka berpelukan, melepas rindu menggebu yang selama ini sudah mereka derita.
Ketika Astrid melepaskan pelukannya, matanya basah karena air mata senang, sedih, campur aduk. Fadhlan mengusap pipi Astrid yang sembap sembari mengecup kening wanita tersebut.
"Wanita yang kamu liat di facebook itu, nggak seperti yang kamu pikirkan. Dia sepupu ku, sepupu dekat yang udah kayak adik kandung ku sendiri," ucap Fadhlan lagi. Astrid hanya mengangguk. Tidak ingin membahas apa-apa dulu. Hanya ingin menikmati kebersamaan mereka.
"Kenapa kamu block semua nomor dan jalur aku buat hubungin kamu? Aku pengen bilang ke kamu, aku sudah lulus. Aku wisuda sabtu ini, aku pengen kamu ikut aku ke Abu Dhabi dan kenalan sama keluarga aku," Fadhlan berujar lagi.
Astrid tertegun mendengarnya. Gadis itu mengangkat kepalanya dan menatap ke dua manik mata yang kini menatapnya lekat sembari terus membelai kepala Astrid.
"Kamu lulus?" Astrid memeluk Fadhlan sekali lagi. Senang mendengar apa yang baru saja ia dengar. Fadhlan hanya mengangguk dalam pelukannya.
"Kamu ikut aku ya? Aku sudah izin sama mama papa kamu, nanti kamu nginap di rumah keluarga ku di Abu Dhabi," ujar Fadhlan. Astrid hanya mengangguk enggan melepaskan pelukannya terhadap Fadhlan.
"Kamu kenapa selama dua minggu nggak ngehubungin aku? Aku takut Fadhlan," ucap Astrid akhirnya.
"Aku sibuk sekali waktu itu, skripsi ku menguras waktu ku Astrid. Aku minta maaf, aku fokus dan mempercepatnya supaya bisa ikut dengan wisuda yang diadakan sabtu ini. Supaya aku bisa nemanin kamu di acara nikahan teman kamu. Aku nggak mau kamu sendirian di situ," Fadhlan mencoba menjelaskan kepada Astrid yang sebenarnya.
"Kamu pergi ke Dubai, kenapa setelahnya kamu nggak langsung hubungin aku?" kini Astrid bertanya lagi. Hal yang mengganggu pikirannya.
"Aku langsung diajak pergi sama Nissa, sepupu ku yang juga lulus hari itu sama aku. Ponsel ku ketinggalan waktu mau ke Dubai, balik dari Dubai kita berdua dapat kabar kalau kakek aku dibawa ke rumah sakit karena kritis. Seminggu, pelik buat aku dan semua keluarga ku, konflik lama kami terbawa lagi, konflik yang bikin aku dan sepupu ku yang lain akhirnya memilih buat pindah ke Indonesia. Lalu, kakek ku meninggal. Aku baru bener-bener bisa ngehubungin kamu sekarang, aku minta maaf," Fadhlan menjelaskan panjang lebar.
"Aku minta maaf," Astrid juga mengucapkannya dengan tulus. Gadis itu kemudian melepaskan pelukannya dan menangkupkan tangannya di pipi Fadhlan.
"Aku terlalu picik. Tapi itu karena aku takut, kamu berkali-kali melamar aku dan aku tolak, aku takut kamu lelah dan memilih buat nyerah," ujar Astrid. Wajahnya merona malu. Fadhlan tersenyum jahil.
"Kalau nikahnya sekarang aja gimana?" ucap Fadhlan jahil yang dihadiahi pukulan ringan oleh Astrid di dada bidangnya.
"Katanya mau wisuda! Gimana sih," sahut Astrid kemudian tersenyum bahagia.
"Kalau habis wisuda gimana?"
"Repot ah! Mau acara nikahan Hanum!"
"Habis itu deh, mau nggak?"
"Tergantung izin papa mama,"
"Sayangnya mama papa udah ngizinin, tinggal tunggu ketemuan mama papa aku nih, gimana?"
Astrid tertawa kemudian mengangguk. Fadhlan menjahilinya. Senyumnya berkembang. Rindu yang selama ini ia tahan akhirnya terbayar.
Seperti hal yang selama ini ia percayai, wait worth something at the end.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Bridesmaid
ChickLitSudah dua tahun terakhir Hanum, Kesha, Ajeng, Astrid, Rara, Vero, dan Alya yang bersahabat sejak SMA tidak pernah bertemu lagi. Hal ini disebabkan oleh kesibukan di puncak karir mereka. Cita-cita yang mereka idamkan telah berhasil mereka raih. Namun...