Prologue

5.6K 178 4
                                    

Tangan mungilnya terus memantulkan bola yang tengah menjadi incaran lawan. Matanya melirik ke arah papan skor digital yang menunjukkan angka 24 – 22 selagi mencoba menghindari lawan-lawannya yang bertubuh setengah kali lipat lebih besar. Meski untuk ukuran pemain basket putri ia sangat mungil, tak ada lawan yang berhasil menahan gerak lincahnya.

"Lil! Oper gue!"

Seorang gadis berkulit cokelat dengan postur tubuh tinggi mengangkat kedua tangannya, meminta operan bola dari si gadis bertubuh mungil. Sebelum ada lawan yang berhasil menghadangnya, ia melakukan passing bola kepadanya temannya yang bertubuh tinggi itu.

Si Mungil mengepalkan kedua tangannya karena gemas. Ia berharap bola yang ia berikan pada temannya berhasil masuk ke dalam ring untuk menyamakan kedudukan timnya dan tim lawan di menit-menit akhir.

"Argh!"

Sayangnya tubuh tinggi si gadis kulit cokelat tak menjamin tembakan bolanya tepat sasaran.

Permainan terus berlanjut, sementara teriakan penonton di dalam gedung olahraga berkapasitas lima ribu orang itu semakin membahana. Memasuki detik-detik akhir permainan, teriakan supporter tim lawan semakin kencang. Mereka menyanyikan yel-yel supporter karena yakin kemenangan tim sekolah mereka sudah ada di depan mata.

Hal itu membuat adrenalin Si Mungil semakin terpacu. Setelah berhasil merebut bola dari seorang lawan yang pergerakannya melamban karena yakin beberapa menit lagi permainan usai dan sekolahnya akan menang, Si Mungil menaikkan tempo permainan yang membuat keempat rekannya siaga.

Tim Si Mungil melakukan penyerangan ketika waktu yang tersisa tinggal satu menit lagi. Para supporter, rekan-rekan di bangku cadangan, official, serta pelatih tim basket sekolah Si Mungil dibuat tegang. Mereka semua berharap Si Mungil dan rekan-rekannya mampu mencetak angka untuk menyamakan kedudukan.

Si Mungil masih melakukan dribbling sambil mengamati rekannya yang mana yang berpotensi untuk mencetak angka. Dilihatnya si gadis tinggi yang barusan gagal mencetak, lalu ia urung memberikan bola itu padanya. Dengan setengah hati, diambilnya sebuah keputusan yang dirasa mampu mengubah kedudukan tim sekolahnya 360 derajat dari tim lawan di detik-detik akhir permainan.

"Lilly! Passing Tiara!"

Sayang, Si Mungil yang bernama Lilly itu terlanjur menembakkan bolanya ke arah ring ketika sang pelatih meneriakan sebuah instruksi dari tepi lapangan. Semua penonton berdiri karena cemas, dan dalam gerakan lambat, seluruh rekan satu tim Lilly memandang bola yang kini tengah melesat menuju ring.

Jika bola tersebut masuk ke dalam ring, maka Lilly berhasil menyelamatkan sekolahnya karena three pointnya yang berhasil.

"HOREEE!!!!"

Teriakan supporter tim lawan menggema di dalam gedung olahraga begitu bola yang ditembakkan Lilly ternyata tak sampai menyentuh ring. Hal itu pun bertepatan dengan usainya waktu pertandingan.

Lilly terduduk lemas di atas lantai parket GOR. Ia tak mampu menatap wajah kecewa pelatihnya di bench. Beberapa ungkapan kekecewaan terdengar dari bangku supporter tim sekolahnya, karena piala bergilir turnamen basket antar SMA se-provinsi itu tak lagi ada di sekolah mereka untuk musim ini.

Setelah dikuatkan oleh beberapa rekan setimnya, Lilly berdiri dan ikut menyalami tim lawan yang berhasil merebut piala bergilir yang setahun kemarin berdiri dengan anggun di dalam sebuah lemari kaca di koridor sekolah. Kini piala itu tak akan ada lagi di sana.

Sebuah tepukan halus di pundaknya membuat Lilly semakin didera rasa bersalah. Dipandangnya laki-laki berusia tiga puluh tahun yang kini tengah tersenyum padanya dengan sorot mata kecewa.

"It doesn't matter. You did a good job."

Mata Lilly mengembun mendengar ucapan sang pelatih. Pandangannya menancap pada punggung sang pelatih yang kini melangkah meninggalkannya untuk menyalami pemain lain.

Ia tahu, ia baru saja menghancurkan harapan pelatihnya. Lilly paham, bahwa dengan menjadi satu-satunya siswi kelas sebelas di tim inti basket putri sekolah, ia berarti mendapatkan kepercayaan lebih dari sang pelatih. Sekarang, Lilly tak tahu, apa kepercayaan itu masih tegak berdiri atau benar-benar telah runtuh karena kegagalan three point yang dipaksakan tadi.

"Hey."

Seseorang meremas pundak Lilly dari belakang, lalu dengan lembut membalikkan tubuh gadis itu ke hadapannya. Laki-laki yang kini berhadapan dengan Lilly itu tersenyum. "Masih ada tahun depan, Lil."

Lilly memandang sorot mata teduh yang kini menatapnya. "Gue baru ngecewain Coach Dani."

Laki-laki yang membawa tas selempang berisi kamera itu menggeleng. "Nggak, Coach Dani masih naro kepercayaannya buat lo. Lo anak emasnya."

"Itu beberapa menit yang lalu, sebelum gue maksain three point gue, He," ujar Lilly.

Diacak-acaknya rambut Lilly yang basah karena cucuran keringat. "Mungkin dia kecewa untuk hari ini aja. Percaya sama gue."

Untuk membahagiakan sahabatnya yang sedang bersedih, Mahesa merangkul Lilly dengan erat. "Nggak usah sedih lagi. Lebih baik, mulai hari ini, lo belajar three point untuk musim berikutnya," ucap Mahesa sambil menatap Lilly dan menyunggingkan senyum yang menenangkan hati gadis itu. "Lo itu hebat," tambahnya yang kemudian kembali mengacak-acak rambut Lilly.

Keduanya tertawa. Meski hati Lilly masih tak karuan karena baru membuat sekolahnya gagal memenangkan pertandingan, senyum dan tatapan teduh Mahesa berhasil membendung kesedihannya yang hampir meleleh bersama air mata.

Date The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang