Half Of (Y)Our Heart

1.5K 103 2
                                    

Di dalam mobil yang tengah diguyur hujan, Lilly dan Theo terdiam. Keduanya sama-sama menatap lurus butiran hujan yang membuat kaca depan mobil buram. Dalam diamnya, Lilly mencoba mencerna baik-baik ucapan yang terlontar dari mulut Theo. Ucapan yang jika Theo menyatakannya hanya untuk canda semata, benar-benar tidak lucu. Namun jika ucapan Theo serius, Lilly tak bisa percaya bahwa Theo diam-diam menyimpan rasa padanya.

Sementara Theo tengah berusaha menenangkan dirinya sendiri. Jika jantungnya diberi pengeras suara, mungkin Lilly bisa mendengar tempo degupannya yang begitu cepat. Mengatakan segala hal yang barusan ia katakan di toilet pada Dalina bukannya tak memberi dampak pada dirinya sendiri. Ia sadar, yang sejak tadi mengajak Dalina bicara bukanlah lidahnya, melainkan perasaannya.

Demi mencairkan suasana, Theo menyalakan radio. Hal itu membuat Lilly tersadar dari lamunannya, lalu segera mengenakan safety belt dan bersandar di jok. Theo memandang perempuan di sampingnya yang masih tampak shock itu sebentar, lalu menyalakan mesin mobil.

Ketika mobil melaju meninggalkan area parkir sekolah, Lilly menoleh ke arah Theo. "Yo. Dingin. Boleh dimatiin AC-nya?" pinta Lilly.

Theo menoleh, kemudian mengangguk pelan. Rasa khawatir hadir melihat Lilly yang begitu pendiam saat itu. Diam-diam, ia menyalahkan dirinya sendiri. Jika saja ia bisa muncul lebih cepat dibanding firasat yang datang padanya saat ke toilet tadi, atau bahkan menawarkan diri untuk menemani Lilly ke kamar kecil, pasti takkan jadi seperti ini.

Kaca mobil mulai mengembun seiring dengan turunnya hujan yang semakin deras. Theo pun agak kesulitan memperhatikan jalan, sehingga dilapnya kaca di hadapannya itu menggunakan tangan.

Ujung mata Theo menangkap sosok Lilly sedang melakukan hal yang sama dengannya, maka ia menoleh pada gadis itu. Ia dibuat heran saat ternyata Lilly tak benar-benar melakukan hal yang sama dengannya. Perempuan itu hanya menempelkan jari telunjuknya ke kaca mobil yang beruap, lalu menggambar sesuatu.

Ketika Lilly menggambar, salah satu lagu lawas kesukaan Theo mengalun dari radio. Lagu itu berjudul Not A Bad Thing yang dipopulerkan oleh Justin Timberlake.

Sambil membagi fokusnya pada jalan dan Lilly, dahi Theo mengerut ketika mendapati Lilly menggambar sesuatu yang terlihat seperti telinga kiri seseorang. Hal itu memancing rasa penasarannya.

Sementara Theo mulai menyimpan banyak tanya dalam benaknya, Lilly menghela nafas melihat gambar yang ia buat di kaca. Sekeping hati yang hanya digambar setengah. Ia memandang gambar buatannya itu cukup lama, lalu teringat akan kepingan hatinya. Ucapan Mahesa pun terngiang di telinganya.

"Orang yang tepat nggak akan biarin lo ngasih sepenuhnya hati lo. Karena dia cuma pengen setengah dari hati lo, biar setengahnya lagi, hati dia yang lengkapin. Jadi yang ada untuk kalian bukan hanya hati lo, atau hati dia, tapi hati kalian berdua."

Namun Lilly masih tak yakin, apakah seseorang yang kini ada di sampingnya lah yang akan melengkapi kepingan hatinya itu. Sayangnya ucapan-ucapan Theo barusan yang kini juga terngiang di telinganya terdengar begitu meyakinkan, sehingga Lilly menganggap itu adalah sebuah sinyal.

"Tolong, berhenti ganggu Lilly. Dia nggak ada sangkut paut sama masa lalu kita. Kalau pun dia punya sangkut paut, mungkin sama masa depan aku."

Sambil terus menatap gambar setengah keping hatinya, mata Lilly tiba-tiba terasa berat. Ia pun terlelap.

****

Kala mobilnya berhenti di tengah kemacetan jalan Soekarno Hatta, fokus Theo kini sepenuhnya ada pada Lilly. Gadis di sampingnya itu terlelap, seolah dininabobokan oleh tetesan hujan yang memiliki irama tak beraturan. Segaris senyum terbentuk di bibir Theo.

Momen-momen saat dirinya bertengkar dengan Lilly mendadak terputar ulang di benaknya. Lilly memang benar sangat menyebalkan, tetapi selalu saja ada tingkahnya yang membuatnya tertawa. Awalnya, Lilly hanya merubahnya jadi seseorang yang ceria dan senang tertawa. Kemudian gadis itu mengambil alih seluruh pikirannya, sampai-sampai ia lupa pada tujuan utamanya untuk menjalin cerita cinta kembali dengan Lavina. Theo pun yakin, mungkin yang hatinya maksud "orang yang tepat untuk diri dan lembaran hidupnya yang baru" adalah Lilly.

Tiba-tiba ada dorongan dari dalam diri Theo untuk mendekatkan wajahnya ke wajah Lilly. Ketika wajahnya sudah cukup dekat dengan wajah Lilly, Theo sadar, Lilly tak hanya manis dan lucu, tetapi juga cantik. Malah baginya, Lilly terlihat lebih menarik dibanding Lavina yang bisa berdandan. Kecantikan Lilly masih sangatlah natural dan itu membuat Theo jatuh cinta. Lalu sebuah kecupan lembut mendarat di dahi Lilly.

"Hmm," Lilly bergumam dalam tidurnya dan sempat membuat Theo terkejut. Setelah memastikan Lilly hanya mengigau, Theo tersenyum, dibelainya sisa rambut Lilly yang menjuntai di sisi kepala karena tak terbawa kuncirannya.

Pandangannya kini teralih pada gambar Lilly yang menurutnya adalah sebuah telinga kiri di kaca depan mobilnya yang beruap.

****

"HOAAAM... Udaah nyampe rumah, ya?" tanya Lilly sambil mengucek-ucek mata. "Sorry, ya. Dingin, sih. Jadi gue ketiduran," ucapnya.

"Iya, nggak apa-apa," balas Theo sambil tersenyum.

"By the way, thanks udah nganterin gue," kata Lilly sambil mengumpulkan sadarnya dengan mata yang terkantuk-kantuk.

"Sama-sama. Istirahat yang cukup ya, Lil," pinta Theo.

Lilly tersenyum mendengar ucapan Theo yang merupakan bentuk dari sebuah perhatian. Ia mengangguk cepat. "Elo juga."

Giliran Theo yang tersenyum senang karena diperhatikan. "Oh iya dan kalo Dalina ngapa-ngapain lo lagi, bilang sama gue, ya. Gue nggak mau lo kenapa-napa."

"Sebelum lo dateng nolongin gue, dia udah gue sate," kata Lilly mantap.

"Hahahaha yang bener? Tadi aja nangis!"

"Kan tadi masih kaget, Yo. Kalo nanti sih, gue lawan aja!"

"Bagus-bagus. Oke, makasih buat hari ini ya, Lil."

"Iya, sama-sa..." Mata Lilly tertuju pada objek yang barusan digambarnya di kaca depan mobil Theo, "...ma." Akhirnya Lilly melanjutkan ucapannya sebelum kemudian turun dari mobil Theo.

Meskipun mobil Theo telah melaju pergi meninggalkan rumahnya, lamunan Lilly masih tertinggal di dalam sana. Saat ia barusan tak sengaja mendapati setengah keping hatinya di kaca telah tergambar sempurna.

Astaga, Theodore...

Date The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang