How Someone (Actually) Loves You

1.7K 95 1
                                    

Sekumpulan gadis berseragam cheers yang sedang berlatih di tepi lapangan basket menjadi pusat perhatian Theo di sesi istirahat latihan saat itu. Seorang gadis bertubuh jangkung dengan rambut cokelat dan paras tercantiklah yang menjadi objek pandang Theo.

Sambil menyaksikan Lavina mengomandoi teman-temannya berlatih, Theo menopang dagunya. Banyak sekali yang berubah dari diri Lavina, pikirnya. Lavina yang sekarang bukan lagi Lavina yang dulu, begitu juga dengan dirinya. Bersama Lavina, ingin rasanya ia memperbaiki masa lalu dengan diri yang telah sama-sama baru.

Perhatian Theo pada Lavina dan teman-temannya hanya bertahan beberapa menit, sebelum semuanya buyar ketika seorang gadis mungil berlatih melakukan shooting bola ke ring. Dengan lincah, Lilly melakukan berbagai teknik shooting yang kesemua tembakannya masuk ke dalam sang keranjang bolong dengan akurat. Semula Theo kesal karena Lilly menganggu konsentrasinya. Namun lama kelamaan, ia malah menyaksikan Lilly berlatih.

Meski badannya sangat mungil dan nampak mustahil untuknya memasukkan bola ke ring, Lilly justru ahli melakukannya. Diam-diam, Theo kagum melihat gadis itu. Hingga tiba-tiba Lilly melamun untuk beberapa detik, kemudian mundur beberapa langkah hingga ke luar lingkaran yang terdapat di depan ring, lalu melakukan shooting.

"ARGH!"

Three point-nya gagal. Ia kesal bukan main. Dengan penuh emosi, diambilnya kembali sang bola yang menggelinding ke tepi lapangan. Diulangnya kembali tembakan three point-nya, dan lagi-lagi gagal. Wajah Lilly memerah dan giginya mengatup menahan amarah. Sekali lagi ia melakukan three point dengan mengangkat kedua tangannya yang menggenggam bola di atas kepala, serupa dengan teknik overhead pass, tetapi Lilly gagal lagi.

"ARGH!" Lilly menyerah. Ia duduk di tepi lapangan sambil membenamkan wajahnya di pelukan pada lututnya. Punggungnya naik turun layaknya seseorang yang hendak menangis.

Rasa penasaran sekaligus iba timbul di hati Theo. Sebelumnya, ia belum pernah melihat Lilly selemah itu. Yang ia tahu, Lilly adalah seorang gadis jahil dan menyebalkan yang juga kuat. Image cengeng tak tergambar pada perempuan yang di matanya kelewat pemberani itu. Wajah Lilly memang childish, tetapi Theo rasa, Lilly bukanlah anak yang mudah menangis. Theo memang bukan teman apalagi sahabat Lilly, tetapi ia tak mengerti, mengapa ingin rasanya ia menghibur atau sekedar bertanya "Kenapa?" pada perempuan itu.

Theo beranjak dari tempat duduknya, lalu melangkah menghampiri Lilly.

"Semuanya berkumpul! Kita lanjutkan lagi latihannya."

Panggilan Coach Dani mengurungkan niat Theo. Padahal, jaraknya berdiri dengan tempat duduk Lilly tinggal beberapa langkah lagi.

Bersama anak-anak basket lainnya, Theo berkumpul di lapangan mengelilingi Coach Dani. Ia memang harus memasang telinganya baik-baik untuk mendengarkan pengarahan dari sang pelatih, tetapi fokusnya malah tertuju pada gadis mungil yang tengah dipunggunginya.

"Coach!" panggil Lilly dengan suara serak.

Theo menoleh ke belakang, dan terkejut melihat wajah Lilly yang basah dan memerah. "Saya izin ke toilet sebentar," ucap Lilly yang segera berlari pergi meninggalkan lapangan basket.

Semua mata tertuju pada sosok mungil Lilly yang melesat menuju toilet, termasuk Theo. Ia mendadak khawatir sekaligus penasaran akan keadaan perempuan yang sebenarnya musuhnya itu. Tanpa Theo sadar, ia yang masih menantikan kehadiran Lilly kembali ke lapangan, tengah diperhatikan oleh seorang gadis yang sejak tadi menahan kesal karena tak kunjung mendapat secuil pun perhatian darinya.

****

Meski sesi latihan basket telah berakhir, Lilly belum menyerah untuk terus berlatih three point. Beberapa kali lambungan bola basketnya hanya membentur tepian ring, atau justru tak sampai menyentuhnya. Umpatan yang meluncur dari mulutnya sudah tak terhitung jumlahnya. Theo yang menyaksikannya sambil bersiap untuk pulang lama kelamaan merasa gemas dan ingin sekali mengajari gadis itu.

Date The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang