Should I change myself?

1.6K 85 7
                                    

"Nasi goreng ayam suwir siapa yang pesan?"

"Saya!"

Dua orang remaja yang sama-sama berteriak saya sambil mendatangi sumber suara membuat sang penjaga kantin bingung. Wanita paruh baya berciput itu memandangi Lilly dan Theo bergantian.

"Saya duluan, kan?" tanya Lilly dan Theo dengan (lagi-lagi) bersamaan.

Sang ibu kantin bingung. Ia masih memandangi Lilly dan Theo, sementara kedua remaja itu kini tengah beradu pandang dengan tatapan nyalang, seolah siap bertarung sampai mati demi sepiring nasi goreng di hadapan mereka.

"Lil, gue yang mesen duluan ini makanan," ucap Theo.

Lilly menggeleng cepat. "Nggak! Gue yang duluan dateng! Gue liat banget kok, lo dateng setelah gue."

"Elo udah bocah, sotoy, tukang bohong lagi! Elo yang datengnya setelah gue!"

"Ih! Ngalah dong sama yang lebih muda! Ladies first! Perut gue udah laper!"

"Heh, yang ada elu hormatin gue sebagai senior! Dahuluin gue buat makan!"

"Aduh aduh, meni lieur Ibu, mah (Ibu pusing)! Ibu oge hilap saha anu mesen tiheula (Ibu juga lupa siapa yang pesan duluan)!" seru ibu kantin sambil menepuk dahi. Pusing menghadapi kedua remaja di hadapannya, pergilah wanita berumur itu ke dapur setelah menaruh sepiring nasi goreng buatannya di atas etalase masakan kantin dengan pasrah.

Mata Theo dan Lilly pun tertuju pada sepiring nasi goreng yang tengah mengepul hangat. Aromanya memancing bunyi perut mereka. Kemudian seperti dua orang perompak yang sedang berlomba untuk mendapatkan harta karun, keduanya sempat saling bertatapan selama beberapa detik, sebelum akhirnya sama-sama menyambar piring nasi goreng tersebut. Terjadilah perebutan nasi goreng yang menarik perhatian seisi kantin.

"Punya gue!" seru Theo.

"Gue!" Lilly tak mau kalah.

"Nggak, gue!"

"Ini pesenan gue!"

"Dasar bocah! Ya udah, makan nih nasi!"

"PRANG!"

Setelah Theo kesal dan melepaskan tarikannya terhadap sang piring nasi goreng, piring melamin tersebut jatuh bersama dengan tubuh mungil Lilly. Alhasil, nasi goreng itu tumpah kemana-mana, dan sebagian besar mengotori seragam putih Lilly. Gadis itu pun jadi bahan tertawaan seisi kantin.

"Sialan lu!" maki Lilly sambil membersihkan baju seragamnya.

"Lilly!"

Mahesa segera datang dan membantu Lilly berdiri. "Kamu nggak apa-apa?" tanya Mahesa khawatir. Lilly mengangguk sambil menatap Theo yang sedang menertawakannya dengan sinis.

"Hahaha, Bro! Tolong ya, cewek lo ini ajarin bertingkah laku yang bener. Ajarin dia gimana caranya jadi dewasa dan nggak bocah lagi," pinta Theo pada Mahesa.

"Eh, elu juga boc—" Lilly tak sempat menyelesaikan kata-katanya.

"Dia bukan cewek gue," sela Mahesa.

Memang Lilly bukan pacar Mahesa, tetapi ucapan Mahesa barusan cukup membekas di hati Lilly. Bagi Lilly, meskipun ia bukan pacar Mahesa, hal itu seharusnya tak Mahesa bahas dengan Theo sekarang, sebab Theo pasti tak akan peduli. Ucapan Mahesa itu membuat hati Lilly mendadak tak karuan.

"Oh, bukan cewek lu. Hahahaha dikirain! Emang pantes sih, elu nggak punya pacar, Lil. Mana ada cowok yang mau sama cewek kayak elu? Hahaha," komentar Theo dengan pedas.

Tatapan Lilly menerawang. Kini yang satu-satunya Lilly pikirkan bukan lagi tentang masalahnya dengan Theo, melainkan tentang besar kecilnya kemungkinan ia bisa menjadi pacar Mahesa.

"Udah, Lil. Kita pergi. Baju lo kotor, mesti dibersihin," ajak Mahesa sambil membantu Lilly berdiri dan mengajaknya pergi tanpa ingin memperkeruh keadaan.

Saat Lilly sudah melangkah meninggalkan kantin, Theo masih mentertawakannya. Perlahan, tawanya memudar. Sebuah perasaan bersalah mendadak hadir, tetapi segera Theo abaikan karena pikirannya berkata bahwa gadis seperti Lilly memang pantas dikatai seperti itu.

****

Mahesa membantu Lilly mengelap noda di bajunya menggunakan tisu basah. Ditatapnya gadis yang mendadak lesu sesaat setelah kedatangannya ke kantin. "Lo kenapa?"

Lilly menoleh. "Kenapa gimana?"

"Sejak Theo nyuruh gue buat ngajarin lo yang dia kira adalah pacar gue untuk bertingkah bener, lo langsung diem, sampe sekarang," ujar Mahesa. "Kenapa? Dia bikin lo tersinggung, ya?" lanjut Mahesa.

Setelah terdiam cukup lama dengan tatapan mata menerawang, Lilly menggeleng. Penegasan lo barusan yang bikin gue kayak gini, He, ucap Lilly dalam hati.

"Gue cuma agak kepikiran kata-kata dia aja," jawab Lilly.

Mahesa menaruh tangannya di pundak Lilly. "Nggak usah dengerin apa kata dia, Lil. Dia cuma bercanda doang. Omongannya kayaknya emang dari sananya pedes," hibur Mahesa.

"Tapi Theo bener. Gue bertingkah nggak selayaknya seorang cewek. Mungkin itu juga faktor kenapa gue belum pernah punya pacar," ujar Lilly.

"Gue juga belum pernah pacaran, kok. Tapi itu bukan berarti ada yang salah sama tingkah laku gue. Iya, kan?" Mahesa mencoba meyakinkan Lilly. Lilly mengangguk.

"Tapi, apa perlu gue berubah, biar gue punya pacar?" tanya Lilly.

Pertanyaan Lilly membuat Mahesa tertarik dan memicingkan mata. "Lo udah ngebet pengen punya pacar, ya?" Mahesa berbalik tanya. Mata Lilly membesar tanpa sanggup menjawab pertanyaan Mahesa. "Cieee! Sekadar pengen karena iri liat temen-temen, atau lo sekarang emang lagi jatuh cinta sama seseorang?"

Lilly mendadak tak karuan. Ia menggaruk-garuk leher belakangnya dengan pandangan mata kemana-mana. "Ng...nggak tahu."

"Wah parah, nih, elo jatuh cinta nggak cerita-cerita! Ayo sama siapa?! Bilang!" seru Mahesa dengan antusias sambil menggoyang-goyang pundak Lillly sehingga tatapan keduanya bertemu.

"Mm..." Lilly ragu untuk bercerita, "...gue belum yakin."

Mahesa mengerutkan keningnya. "Kenapa?"

"Gue takut orangnya nggak punya perasaan yang sama kayak gue, karena tingkah gue yang kayak gini. Jadi, gue kepikiran buat berubah, He," jawab Lilly yang masih memikirkan kata-kata Theo dan penegasan yang diberikan Mahesa.

"Hey." Mahesa kembali menaruh tangannya di pundak Lilly. "Lo boleh ngerubah diri lo jadi orang yang lebih baik untuk orang yang lo cintai. Tapi lo juga harus meyakinkan diri lo, apa orang yang menerima lo dalam keadaan terbaik itu mampu menerima lo dalam keadaan terburuk nanti?" ujar Mahesa. "Saran gue, keep being yourself, but never stop to try to be the best version of yourself," lanjutnya.

Lilly mengangguk. "Jadi, gue harus jadi diri gue sendiri?"

"Iya."

"Apa jenis cowok yang gue suka bakal suka juga sama jenis cewek yang kayak gue?"

"Emang jenis cowok yang lo suka kayak apa?"

"Kayak lo."

Keheningan tercipta di antara mereka berdua. Mahesa membeku menatap Lilly, sementara pipi Lilly bersemu merah dengan mata yang memandang ke segala arah. Laki-laki itu tahu, ada makna di balik ucapan Lilly. Bahkan bukan hanya ucapan, tingkah laku Lilly yang mulai aneh akhir-akhir ini pun membuat Mahesa tersadar akan sesuatu. Terlebih wajah ceria Lilly selalu mendadak masam ketika ia menyebut-nyebut nama 'Lavina'.

"Apa jenis cowok yang kayak lo suka sama jenis cewek kayak gue?" Lilly memperjelas pertanyaannya.

Mahesa menyimpan jawabannya dalam hati. Ditatapnya Lilly dengan enggan. "Beberapa orang cowok pasti suka sama cewek childish, ceria, pemberani, dan lucu kayak lo."

Jawaban Mahesa yang sebenarnya tak memiliki hubungan dengan pertanyaan Lilly itu entah akan membuat sang gadis merasa optimis atau pesimis.

Date The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang