Bersama beberapa siswa pengendara sepeda lain, Lilly dan sepeda yang dikayuhnya memasuki gerbang sekolah. Saat itu wajah Lilly tampak sekusut pakaian yang belum disetrika. Tak jauh berbeda dengan beberapa anak yang sama-sama bertampang kusut karena Senin menyambut mereka dengan rutinitas sehari-hari yang harus kembali mereka jalani. Namun bukan Si Senin yang mempunyai andil terbesar kusutnya wajah dan mood gadis itu saat ini, melainkan sisa-sisa kekecewaan di final turnamen basket kemarin lusa.
Seandainya gue nggak keukeuh buat three point, sesal Lilly dalam hati.
"Woy!"
Lilly dibuat kaget ketika seseorang tiba-tiba menepuk kedua pundaknya secara bersamaan. Ia membalikkan badan, lalu memelotot. "Pagi-pagi udah bikin orang kesel aja!"
Mahesa tergelak. "Hahaha lagian pagi-pagi udah bengong aja di tempat parkir sepeda! Nggak nungguin gue lagi berangkatnya!"
Pikiran Lilly yang masih terjebak dalam momen kemarin lusa membuatnya lupa untuk menunggui Mahesa di pintu gerbang komplek dan pergi bersama ke sekolah seperti biasa. Ia menepuk dahi. "Sori banget, gue beneran lupa."
Sebuah senyum penuh pengertian tersungging dari bibir Mahesa. "It's okay. Gue ngerti," ucapnya yang kemudian mengacak-acak rambut Lilly. "Nggak usah pikirin yang udah lewat, Lil. Kan sekolah kita juga jadi runner up."
"Tapi He, gue tuh nggak seharus—"
Ucapan Lilly terhenti karena Mahesa menaruh jari telunjuk di depan bibirnya. "Sori udah mancing lo ngebahas hal yang nggak seharusnya dibahas. Yuk, masuk! Gue traktir lo sarapan, biar lo nggak sedih lagi."
Lilly mengangkat sebelah alisnya karena heran. "Sejak kapan lo jadi baik sama gue? Pake acara traktir segala."
Mahesa tertawa. "Sejak gue ngerasa punya tanggung jawab moral atas perubahan mood sahabat gue dari dua hari yang lalu."
Ditatapnya Mahesa yang tengah memandangnya sambil tersenyum. Tatapan teduh laki-laki itu membuat Lilly berhasil tersenyum lagi. "Okay."
Tangan Mahesa terangkat ke udara dan mendarat dalam bentuk rangkulan di pundak Lilly. Pandangan keduanya sempat bertemu dan Lilly menatap Mahesa sambil tersenyum penuh makna.
"Kenapa?" tanya Mahesa yang heran melihat Lilly nampak tertegun menatapnya.
Lilly menggeleng cepat begitu sadar dirinya menatap Mahesa cukup lama. "Nggak apa-apa."
Mahesa tersenyum lagi. Sambil masih merangkul Lilly, diajaknya gadis yang telah jadi sahabatnya sejak kelas sepuluh itu memasuki gedung sekolah.
****
Sebuah mobil CRZ putih yang baru terparkir di area parkir sekolah menarik perhatian setiap siswa yang datang pagi itu, terutama anak-anak perempuan. Beberapa di antara mereka saling berbisik seolah tahu siapa pengendaranya. Namun untuk sebagian besar siswa lain, mobil itu terlihat asing karena bukan penghuni lama area parkir mobil sekolah.
Saat sang pengendara keluar dari mobil, puluhan pasang mata tertuju pada sosoknya. Pasalnya, sang pengendara yang merupakan laki-laki jangkung berkulit terang dengan wajah khas ras kaukasia adalah pemandangan baru di sekolah itu. Namun para siswa kelas dua belas dan seluruh staf sekolah sudah tak asing dengan laki-laki itu.
Langkah seorang gadis tertahan melihat kemunculan sang laki-laki jangkung yang tengah jadi pusat perhatian. Napasnya tertahan, isi kepalanya memutarkan mesin waktu yang membuat memorinya tersedot ke dalam sebuah genangan masa lalu.
Saat pandangan keduanya tak sengaja bertemu, giliran laki-laki itu yang tampak kaget. Perempuan berwajah oriental itu mencoba tersenyum padanya, dan laki-laki itu malah membeku di tempatnya tanpa menarik ujung-ujung bibirnya.
Melihat senyumnya tak mendapat balasan, perempuan itu memilih pergi dengan rasa sesak di dada. Padahal sebenarnya, sang gadis ingin mendatanginya, menanyakan kabarnya, dan melakukan segala hal yang dirasa mampu memperbaiki apa yang telah dihancurkannya.
****
Pandangan mata Theo menyisir setiap sudut sekolah seiring dengan langkahnya yang menyusuri koridor. Tak ada yang berbeda selain wajah-wajah baru yang nampak asing baginya. Ia yakin, orang-orang yang wajahnya tak ia kenali itu pasti siswa-siswi kelas sepuluh dan sebelas. Program pertukaran pelajar yang diikutinya selama setahun lalu, ketika ia baru duduk di bangku kelas dua belas, membuatnya tak memiliki kesempatan untuk mengenali adik-adik kelasnya. Selain itu, Theo pun ditinggal lulus oleh teman-teman seangkatannya karena harus mengulang masa kelas dua belasnya.
"Theo! Balik juga akhirnya lo!"
Seseorang yang tiba-tiba merangkulnya membuat Theo kaget. Ia menoleh dan mendapati sosok Rangga di sampingnya tengah tersenyum jahil. Dahi Theo mengerut karena sesuatu yang asing di telinganya keluar dari mulut laki-laki itu.
"Gimana di Amrik, Yo?"
Theo menghembuskan nafas pasrah. Mengulang tahun terakhir di SMA dan berada di angkatan yang sama dengan adik kelasnya membuat keseganan sang adik kelas berkurang. Rangga adalah teman satu ekskul Theo yang juga adik kelasnya. Sebelum Theo berangkat ke Amerika untuk mengikuti program pertukaran pelajar, Rangga masih duduk di kelas sebelas. Kini, sepulangnya dari Amerika, laki-laki itu berada di angkatan yang sama dengannya.
"Seru. Tapi gue lebih betah di sini." Padahal semangat Theo untuk memulai kembali hari barunya di Indonesia baru saja runtuh.
"Bawa oleh-oleh, nggak?" tanya Rangga.
"Kalau pun bawa, itu bukan buat lo," jawab Theo yang kemudian melangkah pergi meninggalkan Rangga.
Rangga heran lalu menggeleng. Sesaat kemudian, ia mengerti bahwa Theo baru dibuatnya kesal karena ia dengan mudahnya menganggap Theo teman sebayanya. Padahal ketika Theo masih menjadi kakak kelasnya, Rangga tak pernah lupa menyelipkan panggilan "Bang" di depan nama Theo kala menyapa laki-laki itu.
Rangga menepuk dahi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Date The Devil
RomanceLILLY Bertubuh mungil, punya tinggi satu setengah meter. Rambutnya tak pernah diurai, selalu dikucir kuda. Lincah, selalu jadi bintang lapangan turnamen basket putri antar sekolah. Kekanakan, tak bisa bersikap anggun layaknya perempuan. Usianya enam...