Theo's Memory

2K 92 7
                                    

Tak ada yang bisa menyamai langkah cepat Theo menuju kantin di waktu istirahat pagi itu. Perutnya keroncongan karena sesuatu belum masuk ke dalam sana sejak ia bangun tidur.

"Yo! Gercep amat lo!" seru Rangga yang mencoba menyamakan langkah kaki panjang Theo.

"Ah gue laper! Sump—"

Langkah Theo melambat begitu memasuki area kelas sebelas. Matanya menangkap sosok Lavina yang sedang duduk dan mengobrol bersama ketiga temannya.

"Nah, sekarang, kenapa jalannya jadi lambat?" tanya Rangga heran.

"Gue, nggak jadi laper, kayaknya," jawab Theo yang akhirnya malah duduk di tepi koridor dengan mata yang masih tertuju pada Lavina.

Alis Rangga terangkat. "Gila! Sejak kapan laper bisa nggak jadi?!" seru Rangga sambil menggeleng.

"Sejak gue sadar, kalo gue lebih kepengin dia, dibanding makan," jawab Theo yang mendadak puitis dan membuat Rangga melongo.

Rangga memperhatikan Theo yang terlihat sedang memandangi seseorang. Saat ia mencoba menyamakan arah pandangnya dengan Theo, barulah ia mengerti siapa yang sedang Theo perhatikan.

"Oh, yang kemaren nyamperin Lilly bareng cowok. Namanya Lavina, kelas XI MIA 1, anak modern dance," ujar Rangga. "Cantik, sih. Cantik banget. Banyak cowok yang suka, banyak juga yang patah hati. Tapi buat lo, pasti bisa, lah!" lanjutnya.

"Harus," balas Theo yang terhipnotis oleh pesona Lavina.

"Jangan cuma dipandang, deketin, dong! Lo kan bisa dapetin semua cewek yang lo mau," suruh Rangga.

Mendengar ucapan Rangga, Theo menelan ludah. Seperti Lavina, Theo pun masuk ke dalam jajaran anak-anak populer di sekolah. Ia terkenal dan punya banyak penggemar karena kehebatannya bermain basket serta wajah keren kaukasianya yang diwariskan sang kakek. Theo sudah menaklukan hati banyak perempuan sejak masuk SMA dan tak sedikit yang patah hati karenanya. Tak heran jika cap playboy sempat melekat pada dirinya. Namun sebuah peristiwa yang menimpanya sebelum berangkat ke Amerika membuatnya jera untuk bermain dengan perasaan perempuan. Peristiwa yang sebelumnya terjadi pada perempuan-perempuan yang ia patahkan hatinya, dan akhirnya malah berbalik padanya.

"Gue nggak mau kayak dulu lagi, Ngga," kata Theo sambil menoleh pada Rangga sebentar.

Rangga mengangguk pelan. "Gue ngerti."

Dialihkannya lagi pandangannya pada Lavina, kemudian tersenyum bersama memori yang hanyut ke masa lalu. "Kalo gue dikasih kesempatan, gue mau ngulang semuanya dari awal," ucap Theo.

Ia menghembuskan nafas pasrah sebelum melanjutkan kata-katanya lagi. "Tapi kalau pun kesempatan itu nggak ada, gue harap, gue bisa mulai lembaran baru dengan diri gue yang baru dan orang yang tepat."

"DUK!"

Bola basket yang beradu langsung dengan tempurung kepalanya membuat Theo pusing bukan main. Theo yang bijaksana dan indah dalam berkata-kata seketika berubah menjadi seekor iblis yang siap untuk membawa siapa pun yang mencoleknya ke neraka, ketika melihat Lilly melangkah mendekatinya dengan malu-malu.

"LU BISA MAIN BASKET NGGAK SIH, LILIPUT?!" bentak Theo sambil berdiri. Rangga segera memegangi Theo, takut-takut temannya itu akan menghabisi Lilly mungil yang menggemaskan.

"Hehe, sori. Kan, nggak sengaja. Kayak kemaren elu ngotorin dan numpahin makanan gue. Hehe, maaf ya," ucap Lilly sambil menyengir dan tanpa ada rasa bersalah.

Wajah Theo memerah padam mendengar ucapan Lilly. "Lu pikir kepala gue bisa dibeli di kantin kayak makanan lu, Bocah?!"

"Hehe, maaf. Yang penting kan, kita impas. Hehehe."

Date The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang