Past Is Past

1.4K 92 7
                                    

Percakapan antara Theo dan Lavina di depan ruang kelas sepuluh beberapa waktu lalu membuat Lilly mulai menjaga jarak dengan Theo. Kini, tiap kali laki-laki itu menyapanya saat tak sengaja berpapasan, reaksi Lilly hanya tersenyum seperlunya lalu berlari pergi sejauh-jauhnya. Theo dibuat bingung oleh perubahan sikap Lilly yang begitu cepat. Malah tak hanya Theo, Mahesa dan Lavina pun sama herannya. Terlebih Lilly yang mulai lebih bersahabat dengan Lavina juga kini kembali ketus pada gadis itu seperti dulu.

Melihat Mahesa yang semakin hari semakin lengket dengan Lavina, mulut Lilly semakin tak tahan untuk bercerita pada Mahesa tentang kejadian yang melibatkan pacarnya dengan Theo tersebut. Sayangnya Lilly belum pernah mendapatkan kesempatan untuk mengobrol berdua saja dengan Mahesa di sekolah. Namun di suatu senja yang cerah, ketika Lilly baru selesai jogging mengitari area perumahannya, ia mendapati sepeda Mahesa terparkir di depan rumahnya. Segaris senyum terbentuk di bibir Lilly.

****

Mahesa datang sore itu untuk meng-copy koleksi film baru di laptop Lilly. Sementara Mahesa sibuk memilih-milih film, Lilly tengah bingung memikirkan cara untuk menceritakan apa yang dilihatnya tanpa harus terlalu menyakiti perasaan Mahesa.

Mahe lagi cinta-cintanya sama Lavina tuh kayaknya, batin Lilly.

"He," panggil Lilly.

"Hmm?" respon Mahesa dengan mata yang tampak sangat fokus pada layar laptop Lilly.

"Hubungan lo sama Lavina gimana?" tanya Lilly yang ia sendiri tak mengerti mengapa malah bertanya seperti itu.

Pertanyaan itu membuat fokus Mahesa teralih. Ia terbahak mendengarnya. "Hahahaha, gila! Sejak kapan lo care banget sama hubungan gue?" Mahesa malah berbalik tanya.

"Hih! Kok ngomongnya gitu, sih? Kan gue sahabat lo, wajar kalo gue pengin tau!" ujar Lilly.

Mahesa mengangguk sambil tertawa. "Hahaha iya iya iya. Sori sori. Oke, hubungan gue sama Lavina baik-baik aja. Emang kenapa sih, Lil?" Rasa penasaran Mahesa akan maksud Lilly mempertanyakan keadaan hubungannya timbul.

"Ya bagus kalo gitu. Jagain Lavina yang bener, ya. Kalo nggak, nanti pihak luar negeri bisa ngerusak stabilitas hubungan dalam negeri lo berdua. Hehe," ucap Lilly yang mencoba membungkus kalimatnya dengan istilah-istilah yang banyak didengarnya di berita atau buku Sejarah.

"Hahahaha kata-kata lo bikin gue ngakak, Lil! Gila! Siapa nih, pihak luar negerinya? Yang mau sama Lavina emang banyak, wajar kalo banyak yang nggak suka sama hubungan kami."

"Kalo pihak luar negerinya itu orang dari masa lalu Lavina gimana? Yang sekarang dateng lagi ke hidupnya dia, terus nyoba buat geser posisi lo? Bukan pihak-pihak luar negeri yang gagal dapetin Lavina maksud gue."

Ucapan terakhir Lilly membuat Mahesa mendadak was was. Kini perhatian Mahesa sepenuhnya tertuju pada Lilly. "Mantan Lavina? Emang lo tau siapa mantannya? Mantan yang mana?" Nada suara Mahesa terdengar panik.

Lilly menjadi ikut panik dan merasa bersalah melihat ekspresi wajah Mahesa yang terlihat khawatir. Jika setelah Lilly bercerita hubungan Mahesa dan Lavina usai, maka secara tak langsung, ia telah menjadi faktor putusnya hubungan mereka berdua.

Nggak! Ini gara-gara Theo! Bukan gara-gara gue! elak Lilly ketika berpikir dirinya akan jadi faktor berakhirnya hubungan Mahesa dan Lavina.

"Ada. Yang masih sayang sama Lavina sampai sekarang," lanjutnya yang sudah terlanjur membuat Mahesa penasaran.

"Hah? Siapa, Lil?"

"Gue mergokin mereka ngobrol berdua dan dia ngungkapin perasaannya sama Lavina kemaren di depan kelas sepuluh."

"Hah? Ngobrol berdua—"

"Theo, He, Theo! Dia itu mantannya Lavina dan masih sayang sama Lavina!"

Mendengar ucapan Lilly, Mahesa malah kembali tertawa. Tawanya yang sekarang pun terdengar lebih renyah dan lebih puas dari sebelumnya. Dahi Lilly mengerut melihat reaksi sahabatnya itu.

"Lo kok malah ketawa? Gue serius!" tegur Lilly.

"Hahahaha bentar bentar! Gue mau ketawa dulu! Hahahaha! Lo pasti jealous banget mergokin Theo sama Lavina ngobrol berdua. Soalnya, hahahahahaha, sikap lo sama Lavina jadi kayak dulu lagi, waktu lo masih suka sama gue. Hahahaha!" kata Mahesa sambil terus tertawa.

Semakin lama, tawa Mahesa membuat Lilly semakin kesal dan penasaran. "Ih! Lo kenapa, sih? Kesambet, ya? Udahan dong, ketawanya! Emang kenapa, sih?"

"Hahahaha! Dear Lilly yang baru beneran jatuh cinta, apa yang lo liat kemarin, nggak seperti apa yang lu pikir," ucap Mahesa yang sudah mulai bisa mengendalikan tawanya.

"Maksud lo?"

"Pasti ucapan Theo yang lo denger cuma sepotong?"

"Nggak, ah! Dia bilang 'Meskipun kamu mantanku, Vin, aku masih sayang sama kamu.'."

"Hahahahaha! Kalo itu ibarat lagu, lo cuma dengerin bait pertama reff-nya aja. Lo nggak dengerin intronya dan nggak nyimak sampe lagunya beres! Ah bocah!"

Lilly bingung sekaligus penasaran. Ia menggaruk-garuk kepala meski tak gatal. "Nah terus, sebenernya Theo ngomong apa? Dan lo tahu dari mana? Kan lo nggak ada di tempat waktu itu."

"Lavina yang cerita sama gue, Lil. Jadi gini...."

****

"Sebenernya waktu itu, aku kaget banget bisa ketemu kamu lagi. Kita memang udah lama putus, dan... waktu itu, ini waktu itu, ya, meskipun kamu mantanku, Vin, aku masih sayang kamu. Mungkin, karena waktu itu aku yang masih bocah belum bisa ikhlasin kamu. Tapi sekarang, seiring berjalannya waktu, aku sadar, kalo aku mestinya gantungin harapan di masa depan, bukan di masa lalu."

Mendengar ucapan Theo, Lavina tersenyum. "Nah, itu kamu ngerti. Aku pun minta maaf, dulu pernah lukain perasaan kamu. Karena waktu itu, aku pun masih bocah banget, Yo. Tapi sekarang, aku harap kita berdua udah sama-sama cukup dewasa buat nggak nginget-nginget lagi kesalahan itu dan mulai berteman baik."

Theo mengangguk. "Iya, aku nggak mau lagi nginget-nginget yang udah lewat. Aku udah siap ngejar apa yang ada di masa depan, bukan yang udah berlalu sama masa lalu."

Mata Lavina memicing mendengar ucapan Theo. "Masa depan kamu itu artinya pendidikan, basket, dan—"

"Dan siapa, Vin?"

"Cieeee! Nanyanya 'dan siapa', lagi! Berarti seseorang, dong? Nggak usah sok-sokan nanya, deh! Kamu juga tahu kok, siapa yang aku maksud."

"Hahahaha sial!"

****

Mahesa mencubit keras kedua pipi Lilly yang bersemu merah. "Heuuuu gue klarifikasi aja, seneng lagi, lo! Makanya jangan bocah dong, jadi cewek! Kalo denger apa-apa jangan sepotong dan langsung ditelen mentah-mentah! Main kabur aja sih, lo!"

"Aaaa aaaa! Sakit!" rintih Lilly seraya melepas kedua tangan Mahesa dari pipinya. "Ya kan, gue nggak tahu!"

"Ya kan, gue nggak tahu!" ulang Mahesa dengan nada bicara meledek. "Lo emang nggak akan tahu kalo begitu jealous main kabur gitu aja!" lanjutnya.

"Hehehehe, maaf," ucap Lilly sambil tersipu malu.

"Hmm... seneng?" tanya Mahesa.

Tanpa harus menjawab pertanyaan Mahesa pun, Lilly yakin, sahabatnya itu tahu seperti apa perasaannya sekarang.

Date The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang