Lilly masuk dengan setengah berlari ke dalam toilet, lalu bersandar di belakang pintunya ketika ruangan itu sudah tertutup. Ia benar-benar salah tingkah akan perlakuan Theo barusan dan tak bisa berhenti tersenyum di sepanjang langkahnya menuju toilet. Untung dirinya segera memberontak ketika Theo mendekatkan wajahnya, jika tidak, mungkin Theo akan menjadi ciuman pertama Lilly.
Ketika Lilly mendekati wastafel, ia tak sengaja bertemu dengan Dalina yang baru saja keluar dari WC dengan mata yang sembap. Lilly kaget dan penasaran.
"Kak Dalin kenapa?" tanya Lilly dengan khawatir sambil menaruh tangannya di pundak Dalina.
Dalina menepisnya dengan kasar dan malah mendorong Lilly hingga menempel ke tembok. "Nggak usah sok perhatian kamu! Kamu juga pasti tahu aku kenapa!" bentak Dalina.
Dahi Lilly mengerut karena benar-benar tak mengerti apa yang terjadi pada kakak kelasnya itu. Lilly hanya bisa menggeleng cepat dengan tatapan ngeri. Dalina memukul tembok yang ada di atas kepala Lilly. "Kamu tuh sumber masalah, Lil!"
Lilly semakin tak mengerti akan apa yang diucapkan oleh Dalina. Ia hanya mengerutkan dahi dan masih menatap Dalina heran.
"PIALA TURNAMEN PROVINSI NGGAK ADA LAGI DI SEKOLAH KITA GARA-GARA SIAPA?! HAH?!"
Ucapan Dalina memberikan tamparan keras bagi Lilly. Luka akan kegagalannya pada turnamen itu, yang akhir-akhir ini mulai mengering, serasa disayat ulang dan memperparah luka yang telah ada. Perih terasa karena momen di final pertandingan tersebut berkelebatan di kepalanya.
"Jangan sok jago kalo emang nggak bisa shooting! Kamu udah bikin kecewa semua anak! Terlebih Coach Dani!" lanjut Dalina.
Mata Lilly mengembun mendengar nama Coach Dani disebut. Beliau adalah laki-laki yang menjadi panutannya dan orang yang telah memberinya kepercayaan lebih untuk berprestasi dan mengharumkan nama sekolah melalui basket. Pilu jika mengingat kembali kekecewaan pelatihnya akan kekalahan timnya.
Tetapi yang menjadi pertanyaan Lilly adalah, sebegitu memilikinyakah Dalina pada tim basket sekolahnya, sehingga ia harus menangis seorang diri di toilet hanya karena tiba-tiba ingat kekalahan tim sekolah? Sambil menahan luka, hati Lilly bertanya-tanya.
"Aku lihat latihan kamu juga nggak pernah bener! Mesra-mesraan terus sama Theo! Ada hubungan apa sih, kalian berdua?!"
Mendengar nama Theo disebut, tanda tanya di kepala Lilly mulai menemukan jawaban. Ia mencoba menyambungkan pertanyaan Dalina dengan pernyataan salah seorang teman Theo tentang keinginan Dalina untuk kembali pada laki-laki itu. Lilly semakin yakin bahwa Dalina adalah mantan kekasih Theo yang berusaha untuk mengejar Theo kembali.
"Jawab!" bentak Dalina.
"Ki... kita cuma temen!" seru Lilly yang emosinya mulai terpancing.
"Temen nggak cium-ciuman di tempat umum!" teriak Dalina.
Mulut Lilly menganga. Dalina pasti melihat saat Theo mendekatkan wajahnya ke wajah Lilly barusan. Sayangnya, perempuan itu terlanjur pergi ketika Lilly memberontak dan adegan itu sebenarnya tidak pernah terjadi.
"Kita nggak ciuman!"
"Kamu tuh murah ya ternyata, Lil! Udah peluk-pelukan sama cowok lain, malah cium-ciuman sama Theo! Murahan!"
Luka yang tercipta di hati Lilly terasa lebih perih lagi mendengar umpatan Dalina. Lilly tak ingin menangis, tetapi sakit hatinya memaksa air mata memburamkan pandangannya yang sedang berani membalas tatapan Dalina saat itu.
"Pantesan aja tim basket kita kalah! Latihan kamu tuh nggak pernah bener dari dulu! Fokus kamu pasti cuma sama cowok! Apalagi sejak Theo pulang dari Amerika! Kamu sekarang ngincer dia, kan?!"
"BRAK!"
"Apa-apaan, nih?!"
Pintu toilet terbuka dan Theo berdiri di ambangnya dengan tatapan garang seolah siap menerjang lawan gulat. Ia terkejut mendapati tangan Dalina sedang mencengkram kerah baju Lilly yang sedang disudutkan di tembok.
"Lepas, Lin!" seru Theo sambil melepas paksa tangan Dalina pada kerah baju Lilly. "Kamu apain Lilly, hah?!"
Theo menarik Lilly ke dalam pelukannya dan ia bisa merasakan tubuh gadis itu gemetaran. Maka meledaklah amarah Theo. "Gila! Dia gemeteran! Kamu apain, Lin?! KAMU APAIN?!" bentak Theo. Dalam pelukan Theo, tangis Lilly tumpah karena tak kuasa menahan segala perasaan sakit di hatinya. Semua ucapan Dalina membuatnya terluka.
"Dia itu sumber masalah, Yo! Dia bikin sekolah kita gagal pertahanin piala!" Dalina mencoba membela dirinya sendiri.
"Kalah menang dalam pertandingan itu biasa, Lin! Cuma pecundang yang nggak mau terima kekalahannya!"
"Tapi di menit-menit terakhir dia ngelakuin kesalahan yang fatal!"
"Kalau pun waktu itu Lilly dengerin apa kata Coach Dani dengan operin bola ke Tiara, nggak menjamin Tiara bakal cetak angka dan sekolah kita tetep juara! Waktu itu sekolah kita udah ketinggalan skor!"
"Dan itu semua gara-gara Lilly!"
"KAMU NGGAK BISA NYALAHIN LILLY TERUS KARENA KAMU NGGAK BISA DEKET LAGI SAMA AKU!"
Dalina bungkam mendengar teriakan Theo. Tangis Lilly di dalam pelukan laki-laki itu semakin menjadi karena ingatannya tentang pertandingan lalu semakin kuat. Maka dipeluknya Lilly oleh Theo semakin erat.
"Kamu pikir aku nggak tahu modus kamu selama ini? Kamu pikir aku nggak lihat kamu sengaja bersikap buruk sama Lilly karena cemburu?!" bentak Theo. Dalina masih diam, matanya mulai berkaca-kaca. "Tolong, Lin. Cerita kita berdua udah selesai dan kamu sendiri yang bikin itu semua selesai."
Air mata Dalina meleleh bersamaan dengan ucapan terakhir Theo. Ia menunduk, lalu terisak. Setelah beberapa detik menguatkan diri, Dalina mengangkat kepalanya. "Tapi aku mau minta maaf dan minta kes—"
"Dulu aku emang sayang banget sama kamu, Lin. Beneran sayang, nggak seperti ke beberapa perempuan sebelumnya yang selalu aku bikin sakit hati. Tapi Tuhan Maha Adil. Dia dengerin doa perempuan-perempuan yang udah aku kecewain dan akhirnya giliran aku yang dikecewain sama kamu. Sejak saat itu, aku yakin, aku harus berhenti bikin kecewa perempuan dan berhenti jatuh cinta sama orang yang salah," kata Theo yang terpaksa harus mengingat kejadian kelam saat Dalina menyakiti hatinya dengan menduakan cintanya. "Tapi aku berterima kasih sama kamu karena udah bikin aku ngerti arti dari rasa sakit," lanjut Theo.
"Aku harap kamu mau ngerti, kalo aku udah nggak mau balik lagi ke masa lalu. Masa lalu kita," tutup Theo.
Tangis Dalina makin menjadi meski tanpa suara. Disentuhnya dengan lembut lengan Theo yang tengah melingkar di punggung Lilly. "Apa ini semua karena kamu udah jatuh cinta sama—"
"Kalaupun aku jatuh cinta sama perempuan yang sekarang ada di pelukan aku, aku rasa itu bukan urusan kamu," potong Theo.
Dalina melepaskan sentuhannya sambil terisak. Sementara Lilly yang masih ada dalam pelukan Theo terkejut mendengar ucapan itu. Meski Theo menyisipkan kata kalau di depan pernyataannya, sesuatu yang keluar dari mulut Theo itu berartikan sesuatu untuk Lilly.
"Tolong, berhenti ganggu Lilly. Dia nggak ada sangkut paut sama masa lalu kita," pinta Theo. Dalina menggeleng sambil masih menangis. "Kalau pun dia punya sangkut paut, mungkin sama masa depan aku." Theo mengakhiri ucapannya dengan membawa Lilly keluar dari kamar mandi, meninggalkan Dalina sendirian.
Seperti yang Theo bilang, Tuhan Maha Adil. Setelah dulu hati Theo terluka karena cintanya pada Dalina, kini giliran Dalina yang merasakan luka itu karena cintanya pada Theo.
Karena beberapa cinta yang tulus biasanya hadir setelah sesal datang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Date The Devil
RomanceLILLY Bertubuh mungil, punya tinggi satu setengah meter. Rambutnya tak pernah diurai, selalu dikucir kuda. Lincah, selalu jadi bintang lapangan turnamen basket putri antar sekolah. Kekanakan, tak bisa bersikap anggun layaknya perempuan. Usianya enam...