Melted Ice Wall

1.6K 105 3
                                    

Theo tersenyum mendapati Lilly tengah makan sendirian di kantin saat jam istirahat pagi itu. Namun pertanyaan mengenai di mana keberadaan sahabat Lilly yang selalu bersamanya tiba-tiba muncul di benaknya. Mungkinkah ketidakhadiran laki-laki itu akhir-akhir ini yang menjadi penyebab perubahan sikap Lilly?

Daripada gue penasaran, mending gue samperin aja si Liliput, ujar Theo dalam hati. Ketika ia baru melangkah, hatinya mendadak bertanya, Eh ngapain gue samperin dia? Emang gue temennnya?

"BRAK!"

Lilly tiba-tiba menggebrak meja makannya sendiri dan menarik perhatian beberapa orang di sekitarnya karena pukulannya tak terlalu kencang. Theo yang ada di dekatnya pun ikut melihat dan merasa heran.

Gadis itu melihat sebuah pemandangan yang akhirnya ikut Theo lihat. Beberapa meter dari tempat duduk Lilly, Mahesa dan Lavina duduk bersama sambil mengobrol dengan akrab. Dilihatnya kedua tangan Lilly terkepal dan ia terlihat gemas akan apa yang terjadi di depannya.

Hati Theo pun ikut merasa tak enak melihat keakraban yang mengejutkan itu. Mengerti sudah Theo mengapa Lilly berubah akhir-akhir ini. Ia pasti cemburu pada Mahesa, yang diam-diam disukainya, tengah dekat dengan Lavina. Theo bisa melihat kecemburuan itu dari bahasa tubuh Lilly.

Ketika Mahesa dan Lavina akhirnya menyadari kehadiran Lilly, mereka menghentikan percakapannya lalu menatap gadis itu dengan canggung. Lilly yang sudah merasa sangat tak nyaman memilih untuk tidak menghabiskan makanannya dan beranjak pergi.

Theo berdiri tepat di jalan yang hendak Lilly lewati untuk meninggalkan kantin. Ia sama sekali tak tersenyum atau menyapa Lilly, karena Lilly tak melihat ke arahnya. Namun sebuah insiden tiba-tiba terjadi ketika Lilly melewati Theo.

"BRUK!"

"HAHAHAHAHAHA!"

Lilly jatuh di depan umum karena kakinya tak sengaja tersandung kaki Theo. Seisi kantin pun menertawakannya, sementara Theo hanya tertegun menatap Lilly sambil merasa bersalah.

"Lil."

Theo mencoba menggapai tangan Lilly untuk membantunya berdiri, tetapi Lilly menepisnya. Ia berdiri sendiri dan berlari pergi sambil menatap sinis Theo dan beberapa orang yang menertawakannya.

Setelah Lilly menghilang di balik tikungan koridor sekolah, Theo mengalihkan pandangannya lagi pada Mahesa dan Lavina. Dari tempat mereka duduk, Mahesa menatapnya sambil tersenyum ramah. Sementara Lavina melambai ke arahnya dan mengisyaratkannya untuk bergabung.

Theo memilih untuk pergi.

****

Lilly melamun sendirian sambil menontoni teman-teman satu ekskulnya menghabiskan waktu istirahat dengan bermain basket. Pemandangan yang menyesakkan dadanya masih sulit untuk ia lupakan. Kala Lavina dan Mahesa mengobrol dengan akrab sambil bercanda, kemudian beberapa teman yang tak sengaja melintas di hadapan mereka menggodai dengan menjodoh-jodohkan keduanya.

"Ergh!" Rasa kesal membuat dada Lilly memanas.

Sebuah ice cream cone strawberry yang tengah digenggam oleh tangan seseorang tiba-tiba muncul beberapa senti di depan wajah Lilly. "So sorry buat insiden di kantin tadi," ucap Theo yang kemudian duduk di lapangan beton di samping Lilly.

Ditatapnya Theo dengan ketus. "Lo sengaja mau bikin gue malu, ya?"

Theo menggeleng cepat. "Demi Tuhan gue nggak sengaja. Sumpah, Lil."

Lilly memalingkan wajahnya dari Theo. Ia sama sekali tak menerima es krim yang sebenarnya jadi favoritnya itu. "Sejak kapan lo jadi sok baik sama gue? Semalem lo bela-belain anterin sepeda ke rumah gue. Sekarang lo ngasih gue es krim. Mau ngerjain gue, ya?"

"Kalo semalem, gue emang nyesel dan niat minta maaf sama elo. Kalo yang sekarang... sebenernya gue baru dapet bonus es krim dari ibu kantin karena rajin jajan di sana. Ya udah bonusnya gue kasih ke elo aja," jawab Theo yang memilih untuk berbohong karena gengsi.

"Temen lo banyak kali yang bisa lo kasih es krim. Kenapa harus gue?" tanya Lilly yang kini mengalihkan pandangannya pada Theo.

Theo salah tingkah. "Ng... karena elo temen gue yang paling bocah," jawab Theo sekenanya.

"What? Temen? Sejak kapan?" tanya Lilly heran.

Kesal karena Lilly tak kunjung mengambil es krim di tangannya, dibukanya telapak tangan Lilly dengan paksa dan ditempatkannya sang krim cone itu di sana. "Sejak gue kasih es krim ini ke elo," jawab Theo yang kini fokus pada es krim cone lain dengan rasa cokelat di tangannya. Ia membuka bungkus es krim miliknya itu.

"Elo ngajak damai?" tanya Lilly yang semakin heran.

Theo mulai melahap es krimnya. "Anggap aja gitu. Soalnya lo terlalu lemah buat jadi musuh gue."

Lilly memalingkan wajahnya, lalu ikut membuka bungkus es krimnya. "By the way, thanks. Tapi lo tetep nyebelin di mata gue, dan gue tetep anggap lo raja iblis."

"Emang gue nggak anggap lo nyebelin? Lo tetep ratu iblis di mata gue."

Keduanya diam karena mulai menikmati es krimnya masing-masing. Sadar sesuatu mulai berubah dalam hubungan mereka berdua, mereka saling lirik dengan mulut penuh noda es krim.

"Kayak badut di film IT lo!" ledek Lilly saat melihat banyak noda es krim di mulut Theo.

"Iya, gue bakal culik lo sebentar lagi," balas Theo.

"Coba aja kalo berani," ucap Lilly.

Es krim yang mulai meleleh itu sudah masuk ke kerongkongan mereka berdua dan mendinginkan kedua hati yang sempat memanas tadi. Lelehan es krim itu pun serupa dengan lelehan gunung es yang selama ini menjadi sekat kedekatan antara Theo dan Lilly.

Sementara keakraban keduanya mulai terjalin, sebuah tatapan tak suka milik seorang perempuan dari seberang lapangan mengarah pada mereka. Perempuan yang merasa seharusnya dirinyalah yang berada di posisi Lilly.

Date The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang