Mobil bak terbuka itu sudah mengitari komplek beberapa kali dan Theo belum bisa menemukan letak rumah Lilly. Sebuah alamat yang diberikan salah satu anak basket dan petunjuk yang Theo lihat di aplikasi maps tidak juga membuatnya sampai.
"Gila, jauh juga ternyata tuh bocah naik sepeda. Pantesan badannya nggak gede-gede. Di mana sih, rumahnya?" keluh Theo.
Setelah tadi siang berdiri di bawah hujan cukup lama sambil menatap sepeda Lilly yang ditinggalkan pemiliknya begitu saja, akhirnya Theo memutuskan untuk menelpon karyawan sang ayah yang kemudian datang dengan mengendarai mobil bak terbuka dan mengangkut sepeda Lilly ke bengkel.
Begitu ban sepeda Lilly telah diganti, Theo berniat mengembalikannya malam harinya. Ia berusaha mendapatkan alamat rumah Lilly dengan bertanya pada anak-anak basket teman-teman Lilly, dan akhirnya alamat itu ada di tangannya. Namun sampai sekarang, ia yang tengah mengendarai mobil bak terbuka milik karyawan ayahnya seorang diri itu masih belum bisa menemukan rumah Lilly.
"Wait, nomor lima belas, yang itu bukan, ya?" tanya Theo ketika mendapati sebuah rumah bercat putih dengan mobil CRV yang terparkir di car port berkanopi cokelat. Nama jalan serta nomor rumah itu sama seperti yang ada pada alamat di tangannya. Berhentilah mobil yang dikendarai Theo tepat di depan rumah itu.
Kok gue deg-degan ya datengin rumah si Liliput? tanya Theo dalam hati begitu turun dari mobil dan menutup kepala dengan hoodie sweater biru gelapnya.
Pagar yang hanya sebatas dada Theo itu tak terkunci. Dengan hati-hati, ia membukanya karena tak terdapat bel rumah pula di sana. Begitu sampai di depan pintu rumah, ia mengetuknya.
"TUK! TUK! TUK!"
"Permisi," ucap Theo.
Tak ada jawaban dari dalam rumah, maka Theo mengetuk pintu lagi. "TUK! TUK! TUK!"
Pintu di hadapannya pun terbuka, dan jantung Theo berdegup makin kencang. Dari dalam rumah, muncul seorang laki-laki bergaris wajah tegas dengan tinggi yang sejajar dengannya. Mata Theo membulat karena terkejut.
Sial! Abangnya lagi yang bukain pintu! Mana keliatannya galak banget, lagi! Kalo gue digebukin gara-gara rusakin sepeda adenya, gimana? Mati gue! batin Theo dengan badan yang tiba-tiba gemetar.
"Cari siapa, ya?" tanya laki-laki di hadapannya.
"Ng... Lillynya ada?" ucap Theo dengan gugup.
Tatapan laki-laki itu melunak. "Oh, temennya Kak Lilly, ya."
Mata Theo membulat dan mulutnya setengah menganga mendengar sebuah sebutan Kak yang disebut sebelum nama Lilly keluar dari mulut laki-laki di depannya.
"Leooo itu di depan ada siapa????" Teriakan seorang perempuan yang sudah tak asing lagi di telinga Theo terdengar dari dalam rumah.
"Ini ada temen Kakak nyariin!" jawab laki-laki yang ternyata bernama Leo itu.
Keheranan Theo bertambah mendengar Leo menyebut kata Kakak lagi. Belum habis rasa penasaran Theo, gadis mungil yang dicarinya sudah ada di hadapannya dan menatapnya kaget.
"Halo, Lilly," sapa Theo dengan gugup.
"Ngapain lo ke sini?" tanya Lilly kaget.
"Gue—"
"Temennya suruh masuk aja, Kak," ujar Leo.
"Nggak usah," balas Lilly ketus.
"Kakak."
Kini giliran suara seorang wanita yang sepertinya sudah cukup berumur terdengar dari dalam rumah. Theo menjulurkan kepala dan melihat seseorang yang sepertinya adalah ibunda Lilly hadir di ruang tamu sambil tersenyum padanya. "Temennya suruh masuk dong, Kak. Leo, bilangin Bibi suruh bikin minum buat temennya Kakak, ya," lanjut Mama Lilly.
"Malam, Tante," sapa Theo sambil mencium punggung telapak tangan Mama Lilly ketika wanita itu keluar menghampiri Theo dan Lilly. Lilly melipat tangannya di dada dan memutar bola mata seolah jijik melihat pemandangan di hadapannya.
"Malam. Temannya Lilly, ya? Ayo masuk. Kakak, temannya jangan dibiarin di teras, dong," pinta Mama.
Lilly memutar bola matanya lagi. Jika bukan karena Mama yang muncul tiba-tiba dan memintanya menyuruh Theo masuk, ia pasti sudah membiarkan laki-laki itu mati kedinginan di teras rumahnya malam ini.
"Masuk!"
****
Theo menyesap teh hangat yang baru saja dihidangkan oleh asisten rumah tangga Lilly, sementara gadis itu duduk di seberangnya sambil melipat tangan di dada dan menatapnya dengan ketus. Setelah minuman hangat itu mengisi kerongkongan dan menghangatkan dadanya, Theo menghembuskan nafas lega.
"Jadi, Leo itu ade lo?" tanya Theo yang hendak membuka pembicaraan.
"Iya," jawab Lilly singkat.
"Gue kira kakak lo, soalnya—"
"Gue awet muda kayak bokap, muka dia boros kayak nyokap. Gue pendek karena gen keluarga nyokap, dia tinggi karena gen keluarga bokap. Gue sama Leo cuma beda setahun." Pertanyaan-pertanyaan yang berseliweran di kepala Theo terjawab oleh penjelasan singkat Lilly yang hanya satu tarikan napas.
Bagi Lilly, Theo adalah orang kesekian juta yang menanyakan soal dirinya yang terlihat lebih muda dan mungil dibanding adiknya. Oleh karena itu, Lilly sudah muak menjelaskan hal itu berulang kali pada orang-orang yang berbeda.
Tatapan Lilly beralih pada sebuah objek asing yang terpakir di depan rumahnya. Ia mempertanyakan kemana perginya CRZ putih Theo. "Apa maksud kedatangan lo ada hubungannya sama CRZ lu yang berubah jadi mobil kol buntung?"
"Oh iya, yuk ikut gue," ajak Theo yang segera berdiri dari tempatnya dan menarik tangan Lilly untuk membawanya ke luar rumah.
****
Lilly tertegun melihat sesuatu pada sepedanya ketika berjongkok. Sepasang ban baru kini menggantikan ban lamanya yang telah pecah dan mulai aus. Ia tahu, ban baru sepedanya itu adalah ban mahal yang hendak ia pakai suatu hari jika ban lamanya benar-benar sudah harus diganti.
"Gue ganti dua-duanya, soalnya kata orang bengkel bannya udah jelek," ujar Theo.
Perhatian Lilly masih tertuju pada kedua ban baru sepedanya. Kedua orang tua Lilly bukan orang yang tak mampu sehingga tak sanggup membelikannya ban baru. Hanya saja Lilly sudah berjanji pada orang tua dan dirinya sendiri, bahwa ia akan merawat sepeda itu sendiri setelah bersusah payah dan merengek minta dibelikan sepeda baru. Orang tua Lilly sempat tak mengizinkannya, karena takut sepeda itu akhirnya hanya akan jadi rongsokan jika Lilly bosan dan memilih untuk naik angkutan online atau berangkat bersama Papa ke sekolah. Nyatanya, dugaan mereka salah.
"And, Lil..." kata-kata Theo menggantung di udara saat Lilly berdiri dan memandangnya dengan tatapan yang mulai melunak. "...so sorry for this afternoon," lanjut Theo.
Lilly mengalihkan matanya yang bertemu dengan mata Theo. Sambil memalingkan wajah, Lilly mengangguk. Theo mengembangkan senyumnya dengan tulus selagi Lilly tak melihatnya. Ketika pandangan gadis itu kembali padanya, senyum itu buru-buru ia lenyapkan.
Jadi dia bela-belain minjem kol buntung karyawan bokapnya dan nyupir malem-malem ke rumah gue cuma buat ini? tanya Lilly dalam hati.
"Gue balik, ya. Thanks buat jamuannya," ucap Theo yang kemudian melambai dengan malas lalu membalikkan badan.
Baru saja Theo melangkah untuk keluar pagar.
"Theodore," panggil Lilly.
Theo membalikkan badan.
"Thanks," ucap Lilly sambil memalingkan wajah.
Senyum Theo mengembang lagi, malah lebih lebar dibanding senyumnya yang tadi. Ia tertawa kecil tanpa suara, dan saat Lilly memandangnya, ia mengangguk.
Deru mobil bak terbuka terdengar kala Theo menyalakannya. Ia sempat melambai pada Lilly sebelum mobil yang dikendarainya pergi. Lilly membalas lambaian itu ketika Theo sudah tak melihat lagi ke arahnya.
Sementara Theo sudah menghilang sejak beberapa menit yang lalu dari depan rumahnya, Lilly masih tertegun menatap sepasang ban baru sepedanya yang siap ia kendarai esok pagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Date The Devil
RomanceLILLY Bertubuh mungil, punya tinggi satu setengah meter. Rambutnya tak pernah diurai, selalu dikucir kuda. Lincah, selalu jadi bintang lapangan turnamen basket putri antar sekolah. Kekanakan, tak bisa bersikap anggun layaknya perempuan. Usianya enam...