Before The D-Day

1.3K 80 2
                                    

[Halo, Theo. Apa kabar? Dateng ke match gue lusa ya. Thanks.]

Pesan itu belum juga Theo baca hingga hari ini, H-1 pertandingan basket persahabatan antara sekolah Lilly dan SMA Tunas Krida. Lilly pasrah, ia tak tahu harus berbuat apa lagi untuk dapat bertemu atau minimal berkomunikasi dengan Theo. Laki-laki itu seolah menghilang dari hidup Lilly sejak menggambar separuh hati di kaca jendela kelas Lilly yang beruap.

Lilly putus asa. Sambil melangkah sendirian menyusuri koridor sekolah, ia menundukkan kepala untuk menyembunyikan tangisnya yang sudah tak bisa dibendung. Ia merindukan Theo, tetapi laki-laki itu tak ada, sementara besok adalah hari penting baginya.

Ketika kekecewaan Lilly terkumpul dalam kepalan tangannya yang mengeras, kehadiran seseorang membuat sesak di dadanya melega dan kepalan tangannya melunak. Matanya menemukan sosok yang ia cari-cari selama ini. Dan kini, sosok itu sedang melangkah menuju kendaraannya di area parkir.

"THEODORE!!!"

Lilly berlari secepat mungkin karena tak ingin menyia-nyiakan sedetik pun waktunya untuk Theo. Yang dipanggil menoleh, lalu tersenyum pada Lilly yang kini sudah berdiri di hadapannya.

"Yo!" panggil Lilly sambil menahan isak tangis, tetapi air matanya terus bercucuran.

Tatapan Theo pada Lilly begitu lembut saat itu. Tanpa berkata apa-apa, disapunya tetesan air mata yang turun dari ujung-ujung mata Lilly. Air mata Lilly pun semakin tak terbendung.

"Hiks! Yo, gue—"

Telunjuk Theo yang ditaruh di bibir Lilly membuat gadis itu tak melanjutkan ucapannya. "Ssst.... udah, nggak usah nangis lagi. Semangat untuk besok. Fokus. Jangan main pakai emosi. Inget-inget apa yang udah gue ajarin, oke?" pinta Theo dengan nada suara yang terdengar begitu lembut.

"Hiks! Tapi Yo, gue pengen—"

"Good luck," ucap Theo yang segera mengecup dahi Lilly, lalu tersenyum, dan masuk ke dalam mobilnya setelah melambai sebentar.

Alhasil, sambil menatap laju mobil Theo yang mulai meninggalkan sekolah, tangis Lilly kembali tumpah. Ia tak mengerti akan apa yang Theo lakukan barusan. Begitu manis, tetapi seolah memiliki arti bahwa Theo takkan bisa hadir di hari pentingnya esok. Seolah Theo takkan bisa seperti dulu lagi. Seolah Theo takkan bisa menghabiskan waktunya yang selalu dilewati dengan tawa dan Lilly lagi.

Meski Lilly merasa rapuh saat itu, ucapan dan sesuatu yang mendarat di dahinya barusan memberinya kekuatan untuk tetap berdiri tegar dengan atau tanpa Theo.

****

Di sesi latihan terakhir sebelum pertandingan esok, Lilly benar-benar menunjukkan performa terbaiknya pada sang pelatih. Coach Dani banyak tersenyum menyaksikan peningkatan kemampuan Lilly bermain basket. Meski Lilly sudah sangat berbakat sejak dulu, kini kemampuannya dalam melakukan shooting bertambah. Coach Dani pun tahu, siapa yang telah menempa Lilly selama ini.

"Oke! Istirahat dulu sepuluh menit!" seru Coach Dani dari tepi lapangan.

Seluruh anggota tim basket putri pun menepi. Dilepaskannya dahaga masing-masing dengan air minum yang mereka bawa, dan Lilly nampak sangat kehausan waktu itu.

"Good job, Lilly!"

Coach Dani tiba-tiba hadir di samping Lilly sambil menepuk pundaknya. Lilly tersenyum sembari menutup botol minumnya. "Makasih, Coach," balas Lilly.

"Siap untuk match besok, ya?" tanya Coach Dani.

"Siap, Coach!" seru Lilly dengan penuh semangat.

"Bagus. Jaga staminamu, ya. Kamu dan teman-teman pasti bisa kasih yang terbaik untuk tim dan sekolah," ucap sang pelatih.

Lilly tersenyum dan mengangguk. Ia mendadak memiliki hasrat untuk menyampaikan sesuatu ketika sang pelatih hendak beranjak pergi.

"Coach," panggil Lilly.

Sang pelatih membalikkan badan. "Ya, Lilly?"

Semula Lilly ragu, tetapi akhirnya kalimat itu keluar begitu saja dari mulutnya. "Sorry for the last match."

Coach Dani tersenyum mendengar ucapan Lilly. Ia kembali duduk, lalu menepuk-nepuk pundak anak didiknya. "Itu bukan kesalahanmu. Jangan ingat-ingat lagi match yang sudah lewat. Buktikan kamu bisa kasih yang terbaik besok."

Semangat Lilly terbakar mendengar ucapan pelatihnya. Ia pun berjanji akan mengerahkan seluruh tenaga dan kemampuannya untuk menjadikan hari esok benar-benar hari yang berarti untuk tim dan sekolah. Semua itu demi dirinya, demi tim, demi sekolah, demi Coach Dani, dan...

demi Rafael Theodore Miller.

Date The DevilTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang