Jika ada sesuatu yang berbeda dalam diri Mahesa, Lilly pasti tahu. Seperti sejak kemarin, di mata Lilly, Mahesa mulai berbeda. Ia tak lagi berangkat bersamanya ke sekolah mengendarai sepeda. Berangkat lebih awal dan pulang lebih sore Mahesa lakukan hingga hari ini. Hal itu membuat Lilly bertanya-tanya.
"Gue ada project fotografi. Makanya berangkat pagi, pulang sore, dan bawa motor." Begitu jawab Mahesa ketika ditanya Lilly yang mulai merasa heran. Lilly percaya saja apa kata sahabatnya itu. Mungkin Mahesa mengejar suasana golden hour yang terjadi pagi-pagi sekali untuk objek fotonya, dan ada pertemuan ekskul fotografi tiap sore di luar selain hari Sabtu.
Namun yang membuat semuanya terasa janggal adalah kedekatan Mahesa dan Lavina yang terlihat semakin jelas di depan mata. Tak sedikit teman-teman mereka yang mulai menjodoh-jodohkan Mahesa dengan Lavina, dan menggodai Lilly untuk cemburu. Lilly tak suka itu dan rasa cemburu yang semula hanya jadi bahan ledekan akhirnya benar-benar ada. Tanpa segan, Lilly menunjukkan ketidaksukaannya pada Lavina yang di matanya mulai menggeser posisinya sebagai satu-satunya perempuan di samping Mahesa. Lilly memang bukan siapa-siapa Mahesa, tapi ia tak terbiasa melihat Mahesa dekat dengan perempuan lain selain dirinya.
"Lil."
Panggilan Mahesa membuyarkan lamunan Lilly akan kedekatan Mahesa dan Lavina siang itu di kelas. "Apa?" tanya Lilly.
"Titip kamera, gue mau fotokopi soal latihan sebentar," pinta Mahesa.
"Iya," jawab Lilly sambil melirik tas kamera Mahesa.
Mahesa sempat mengacak-acak rambut Lilly sebelum akhirnya pergi meninggalkan kelas. Lilly tersenyum dan perasaan tenang melingkupi hatinya. Pemikiran negatif pun enyah dari dalam kepalanya.
Di jam pelajaran yang membosankan karena guru kebetulan tak bisa hadir sehingga para siswa diberikan soal latihan pengganti, Lilly membenamkan wajahnya pada lipatan tangan di atas meja kelasnya untuk tidur sebentar. Namun belum sempat ia memejamkan mata, perhatiannya mendadak tertuju pada tas kamera di sampingnya. Sesuatu dalam diri Lilly mendorongnya untuk menggapai tas kamera itu, dan membukanya.
Kok gue mendadak kepo sama hasil fotonya Mahe, ya? Lagian, dia akhir-akhir ini jarang update di Instagram, sih, batin Lilly sambil menyalakan kamera Mahesa.
Setelah kamera Mahesa menyala, Lilly langsung melihat hasil jepretan sahabatnya itu. Matanya membulat beberapa saat kemudian.
Kamera Mahesa dipenuhi oleh berbagai gambar Lavina. Mulai dari foto candid, hingga foto Lavina yang memang sengaja menjadi model amatir Mahesa. Yang membuat hati Lilly tak karuan adalah foto candid Lavina yang Mahesa ambil dari berbagai macam sudut dan dalam berbagai momen. Mulai dari event lomba cheerleaders saat Lavina menjadi kaptennya, hingga gerak-gerik gadis itu di sekolah. Entah saat ia tertawa, berjalan, mengobrol dengan teman-temannya, atau tersenyum.
Hati Lilly memanas kala melihat sebuah foto di mana Mahesa dan Lavina berada dalam frame yang sama. Mahesa menggunakan lensa widenya saat berfoto berdua dengan Lavina. Keduanya tampak bahagia, dan sepertinya foto itu diambil usai event lomba cheerleaders karena Lavina tengah mengenakan seragam cheersnya.
"Lil."
Lilly mengangkat wajahnya setelah cukup lama menatap foto yang menyesakkan dada. Di hadapannya, Mahesa berdiri sambil menatapnya dengan rasa bersalah.
"Bagus fotonya, He," puji Lilly dengan pipi yang memanas. Mahesa diam. "Jadi karena ini, lo beda sama gue sekarang. Nggak mau berangkat bareng naik sepeda lagi, dan lebih milih naik motor buat jemput Lavina," lanjut Lilly.
Mahesa menggeleng. "Sebenernya bukan gue nggak mau atau gim—"
"Gue emang bukan siapa-siapa lo, tapi gue itu sahabat lo yang udah terbiasa jadi tempat lo cerita. Gue kecewa lo jual nama ekskul fotografi segala buat bohongin gue."
"Gini Lil, gue ngeras—"
"Gue tahu kalo lo dan banyak orang sebenernya tahu soal perasaan gue ke lo kayak gimana. Tapi bukan gini caranya lo say no ke gue karena lo juga nggak mau kehilangan gue," ujar Lilly sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.
"Lo mau kemana, Lil?" tanya Mahesa yang heran melihat Lilly mulai menggendong ranselnya.
"Males gue sahabatan sama pembohong," jawab Lilly sambil melangkah menuju bangku kelas yang berada paling belakang. Pemandangan itu menjadi pusat perhatian seisi kelas, meski tak ada satu pun dari mereka yang tahu penyebab sepasang sahabat itu pisah bangku karena suasana kelas yang gaduh.
"Tam, gue duduk sama lo, ya. Angga sorry banget, lu duduk sama Mahesa agak depanan nggak apa-apa?" pinta Lilly pada dua orang teman sekelasnya yang duduk di bangku paling belakang.
"Lo kenapa emang sama Esa? Berantem, ya? Hahahaha," goda Angga.
"Please, gue pengin duduk di sini sama Tama. Lo duduk sama Mahe, ya," pinta Lilly setengah memaksa.
"Iya iya." Akhirnya Angga mengalah dengan mengepak buku-bukunya dan pergi menempati kursi di samping Mahesa.
Sementara Lilly memasang wajah masam dan mulai diberondong pertanyaan oleh Tama, Mahesa menatapnya dengan penuh rasa bersalah. Ia menyesal telah membuat sahabatnya yang ceria itu murung, dan berharap persahabatan mereka tetap bisa terselamatkan meski ia sudah menghancurkan kepercayaannya.
****
Lilly melangkah lesu menyusuri koridor sekolah. Ia tahu, hari ini adalah siang kedua di mana ia akan pulang sendirian dengan sepedanya tanpa Mahesa. Mood-nya hancur berantakan dan ia malas untuk melakukan apa pun. Padahal ketika kegiatan belajar mengajar selesai tadi, beberapa teman ekskul basketnya mengajaknya untuk 3 on 3.
"Siang, Liliput! Udah siap gue bully lagi belum?"
Seseorang tiba-tiba menarik rambut kucir kuda Lilly, dan membuat gadis itu sulit melangkah. Tarikan tangan Theo pada rambut Lilly membuat gadis itu mundur beberapa langkah. Anehnya, tak ada perlawanan apapun dari Lilly.
"Wah, ratu jahat kecil ini kok diem aja, ya? Pasrah ya, mau gue kerjain?" tanya Theo sembari mendekatkan wajahnya ke telinga Lilly.
Lilly tengah tak bergairah untuk bertarung dengan Theo siang itu. Maka yang ia lakukan hanya membalikkan badan, memelototi Theo, dan menginjak kaki laki-laki itu sekeras-kerasnya.
"AW!" erang Theo saat kaki mungil Lilly mendarat di atas kakinya. Genggaman tangan Theo pada rambut kucir kuda Lilly pun terlepas, dan akhirnya Lilly bisa melanjutkan langkahnya untuk pulang.
Sambil meringis kesakitan, Theo menatap kepergian Lilly. Ia heran, mengapa gadis menyebalkan itu diam seribu bahasa selama ia menahannya tadi. Biasanya, Lilly akan cerewet dan membuat telinga Theo sakit oleh suara cemprengnya. Namun barusan, seolah bukan seorang Lilly yang sedang Theo hadapi.
Theo semakin gatal untuk membuat Lilly bereaksi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Date The Devil
RomanceLILLY Bertubuh mungil, punya tinggi satu setengah meter. Rambutnya tak pernah diurai, selalu dikucir kuda. Lincah, selalu jadi bintang lapangan turnamen basket putri antar sekolah. Kekanakan, tak bisa bersikap anggun layaknya perempuan. Usianya enam...