Mangkuk yang terisi penuh oleh bakso dan mie yang masih utuh itu telah cukup lama dibiarkan sendirian di atas meja, karena sang pemilik masih antri membeli minuman di kantin lain. Sejak tadi, ditatapnya mangkuk bakso yang menarik perhatian Theo itu terus menerus. Sebuah niat jahil terlintas di benaknya, karena ia sudah lama tak melihat Lilly bereaksi atas kejahilannya.
Theo melesat mendekati mangkuk bakso Lilly, lalu menuangkan banyak cuka serta sambal ke dalam sana. Ia aduk pelan-pelan hingga cuka dan sambalnya benar-benar tercampur dengan kuah bakso, lalu berlari pergi menuju tempat duduknya kembali.
Tak lama kemudian, Lilly kembali ke meja tempatnya makan dengan wajah lesu. Ia nampak kelelahan telah mengantri sekaligus berdesakan, dicampur perasaannya yang masih tak karuan sejak pisah bangku dan menjaga jarak dengan Mahesa. Mengingat sahabatnya yang kini lebih dekat dengan Lavina, Lilly mendadak emosi dan terbakar cemburu. Dimasukkannya dengan kasar sesendok bakso dan mie ke mulutnya.
"UHUK! UHUK! UHUK!"
Lilly terbatuk karena sensasi terbakar memenuhi kerongkongannya. Saat itu Theo muncul di dekatnya sambil tertawa puas.
"Hahahahaha! Selamat makan, Ratu Iblis!" seru Theo.
Theo tak mendapatkan apa yang ia inginkan dari Lilly. Gadis itu malah menatapnya dengan garang sambil terus terbatuk di tempat duduknya. Tawa Theo mengencang untuk memancing emosi Lilly. Namun tetap, gadis itu tak bereaksi.
Batuk Lilly tak kunjung berhenti, dan wajah gadis itu mulai memerah. Sesekali mulutnya terbuka dengan mata terpejam seolah ia mual dan ingin muntah. Rasa khawatir pun mengecilkan volume tawa Theo, dan ia mulai merasa bersalah.
Apa gue kebanyakan ngasih cuka sama sambelnya, sampe-sampe Lilly kayak gitu? Perasaan, kemaren-kemaren gue nggak sampe segitunya, deh, pikir Theo.
"UHUK! UHUK! HUEK! UHUK!"
Kondisi Lilly makin mengkhawatirkan, dan Theo semakin merasa bersalah. Takut sesuatu terjadi pada Lilly, ia segera melangkah untuk membawa Lilly menuju UKS. Namun ia kalah cepat dari seseorang.
"Lilly! Astaga, kamu kenapa?"
Mahesa menaruh tangannya di pundak Lilly, lalu menatap gadis itu dengan penuh rasa khawatir. Lilly balas menatapnya, kemudian menepis tangan Mahesa yang hendak membantunya itu. Theo tertegun melihat pemandangan di hadapannya.
"Hey, sini biar aku bantu," ucap Lavina yang semakin khawatir akan kondisi Lilly.
Lilly menggeleng kuat sambil terus menepis tangan Lavina dan Mahesa yang masih berusaha mengulurkan tangan untuk membantunya. Dengan payah, Lilly berdiri dan melangkah pergi meninggalkan Lavina dan Mahesa. Sebelum benar-benar keluar dari area kantin, ia melirik Theo sebentar, kemudian pergi.
Pandangan Theo mengikuti arah langkah Lilly yang mulai menjauh dari kantin. Ia semakin heran akan perubahan sikap Lilly. Biasanya gadis itu akan bereaksi jika diganggu olehnya. Rasa penasaran Theo akan hal itu pun semakin besar. Sebuah ide yang lebih gila lagi terlintas di kepalanya.
****
Di luar dari dugaan Theo sebelumnya, hujan turun deras hari itu. Ia sudah memikirkan rencana itu semalaman dan turunnya hujan membuat ide itu akan semakin gila lagi menurutnya. Maka ketika jam pelajaran sekolah usai, ia menjadi orang yang paling dulu ke luar kelas dan berlari menuju area parkir.
Setelah menemukan sebuah sepeda yang sudah tak asing lagi di matanya dan beberapa waktu yang lalu sempat sengaja ia serempet, Theo berjongkok di dekat ban sepeda Lilly itu. Rambut dan seluruh pakaiannya basah kuyup karena hujan, tetapi ia tak peduli dan tetap menjalankan rencananya demi bisa melihat Lilly kembali seperti semula.
Ya. Tanpa dirinya sendiri sadari, Theo rindu Lilly yang jahil dan gampang marah.
Ban belakang sepeda yang kini ada di hadapannya dirobeknya menggunakan sebuah pisau lipat yang dipinjamnya dari penjaga sekolah. Alhasil, ban tersebut kempes dan Lilly takkan bisa menggunakan sepedanya sebagai kendaraan pulang. Theo menduga, Lilly pasti akan marah besar karena harus pulang jalan kaki sambil menenteng sepeda di tengah hujan.
Selesai melakukan aksinya, Theo bersembunyi di dalam mobilnya sendiri yang terparkir di dekat area parkir sepeda. Di sana, ia menunggu kedatangan Lilly.
Beberapa menit kemudian, seorang gadis mungil yang Theo tunggu-tunggu datang. Lilly muncul dengan jas hujan berwarna kuning neon, dan langkahnya masih lesu seperti kemarin-kemarin. Theo tertawa melihat Lilly yang nampak lucu dengan jas yang kebesaran di tubuhnya itu.
"Hahaha gila! Lucu banget tuh bocah! Pengen gua cubit abis-abisan!" seru Theo sambil tertawa dan geleng-geleng kepala melihat Lilly. Tunggu, kenapa gue jadi gemes sama dia? Theo tiba-tiba bertanya dalam hati karena merasa aneh pada pernyataannya sendiri. Ia menggeleng cepat untuk mengenyahkan pikiran itu.
Dilihatnya Lilly tengah berjongkok menatap sesuatu yang terjadi pada ban belakang sepedanya. Setelah gadis itu kaget, Lilly berdiri sambil geleng-geleng kepala. Pecahlah tawa Theo yang segera keluar dari dalam mobilnya.
"Hahaha pecah ya bannya, Neng? Lain kali ganti ban sepedanya sama ban kereta api, ya! Hahahaha." Theo tertawa puas di samping mobilnya meski harus basah kuyup karena hujan deras.
Lilly menatap Theo dengan tatapan sinis, tetapi masih tetap berdiri di tempatnya tanpa reaksi. Lagi-lagi Theo mengencangkan volume tawanya agar Lilly terpancing emosi, tetapi gadis itu masih diam sambil menatap Theo.
"Nggak mau balas dendam atau ngajak gue berantem nih, Liliput? Gue janji deh, nggak akan ngelakuin perlawanan," pancing Theo.
Tanpa menggubris perkataan Theo, Lilly segera mengeluarkan sesuatu dari tasnya yang terlapisi plastik pelindung. Sesuatu itu adalah sebuah payung yang segera ia buka untuk melindungi tubuhnya meski telah berjas hujan. Saat itu juga Lilly melangkah pergi dengan sepeda yang sengaja ia tinggal di area parkir sekolah.
Mulut Theo menganga melihat kepergian Lilly. Spontan, ia berlari di tengah hujan untuk mengejar gadis itu. Dihadangnya Lilly saat langkah perempuan itu sudah hampir mencapai gerbang keluar sekolah.
"Lu kenapa sih jadi diem aja gue giniin?" tanya Theo yang tiba-tiba meremas pundak Lilly dan menggoyang-goyangkannya.
Lilly melepaskan dirinya dengan kasar dan mundur beberapa langkah. "Sejak kapan lu jadi kepo soal gue? Addict amat lu buat berantem sama gue. Bukan urusan lu," jawab Lilly. "Minggir! Gue mau pulang!" bentak Lilly.
"Sepeda lu gimana?!" bentak Theo sambil menunjuk ke arah sepeda Lilly.
"Buat lu aja sana. Terserah deh mau lu loakin atau lu buang. Sekarang gue mau pulang, menyingkir dari jalan gue!" seru Lilly yang akhirnya mendorong Theo dengan kasar lalu kembali melanjutkan langkahnya.
Theo menatap kepergian gadis mungil berjas hujan kuning dengan payung berwarna jingga itu. Ia belum menyerah untuk membuat Lilly marah. "FINE! GUE BUANG SEPEDA LU!"
Tetapi Lilly masih terus melangkah di bawah hujan tanpa menghiraukan teriakan Theo atau barang menoleh sebentar saja. Perasaannya sudah berantakan, dan ia tak ingin membuatnya makin berantakan dengan bertengkar dengan orang yang hanya akan membuat mood-nya buruk saja.
Lu kenapa sih, jadi pendiem gitu, Lil?
Lu kenapa sih, jadi sok care gitu, Yo?
KAMU SEDANG MEMBACA
Date The Devil
RomanceLILLY Bertubuh mungil, punya tinggi satu setengah meter. Rambutnya tak pernah diurai, selalu dikucir kuda. Lincah, selalu jadi bintang lapangan turnamen basket putri antar sekolah. Kekanakan, tak bisa bersikap anggun layaknya perempuan. Usianya enam...