Don't act like it's a bad thing to fall in love with me
You may f*ck around and find that dreams come true with me
Spend all your time and your money just to find out that my love was free
So don't act like it's a bad thing to fall in love with me
Lagu Justin Timberlake berjudul Not A Bad Thing itu mengalun dari ponsel dengan earphone yang terpasang di telinga Theo. Sudah sekian puluh kali lagu tersebut diputar ulang olehnya pagi ini. Mulai dari sarapan pagi, mengemudi, hingga kini saat dirinya sudah sampai di sekolah dan tengah melangkah menuju kelas.
Lagu itu mengingatkan Theo pada kejadian kemarin, saat ia mendapati Lilly tengah menggambar setengah hatinya yang semula ia kira adalah telinga kiri seseorang. Kemudian saat Lilly terlelap, sesuatu dalam diri Theo mendorongnya untuk melengkapi gambar setengah hati Lilly dengan gambar setengah hatinya. Mengingatnya, Theo tersenyum lalu geleng-geleng kepala. Ia merasa dirinya konyol. Namun ia tahu, jatuh cinta memang membuat seseorang konyol.
Kepakan sayap kupu-kupu seolah memenuhi perut Theo saat tak sengaja mendapati seorang gadis mungil tengah bercanda dengan laki-laki yang merupakan sahabat sang gadis. Segaris senyum terbentuk di wajahnya ketika kemudian sang gadis melihat ke arahnya dan mata gadis itu membulat. Dengan malu-malu dan dalam gerakan lambat, Theo mengangkat tangan kanannya, bermaksud untuk melambai pada si gadis.
Lilly membalas lambaian Theo dengan malu-malu sambil sesekali menunduk atau mengalihkan pandangan. Mahesa yang berdiri di samping Lilly menyenggolnya beberapa kali untuk menggodanya. Terlihat sama salah tingkahnya dengan Theo, Lilly malah balas menyenggol Mahesa untuk menutupi rasa gugupnya.
Dari jauh, Theo melihat adegan itu sambil tertawa dan geleng-geleng kepala. Sebenarnya, ia ingin tetap berdiri di koridor dan bertatapan dengan Lilly meski terpisah jarak beberapa meter. Namun rupanya bel masuk tidak bisa memahami perasaan dua orang siswa yang sedang jatuh cinta.
****
Lilly menyukai pelajaran Sejarah, tetapi untuk pertama kalinya, ia tak menaruh perhatiannya pada pelajaran yang tengah mengisi jam belajarnya tersebut. Pikirannya kini melayang pada momen di hidupnya yang baru saja jadi sejarah yang tengah senang ia kenang.
Hujan. Uap kaca. Gambar hati. Theo.
Empat hal yang jika dirangkai akan membentuk sebuah cerita itu tak hentinya membuat Lilly tersenyum sendiri. Ia lebih senang mengingat momen itu dibanding menghafal tanggal-tanggal penting serta teori Sejarah yang kini sedang gurunya jelaskan. Lilly tahu, sekeras apapun ia berusaha dan senyata apapun sebuah kenangan terbayang di benaknya, ia takkan pernah bisa kembali ke masa yang telah jadi sejarah itu. Namun kenangan kecil itu seolah punya kekuatan besar untuk mengambil alih seluruh isi kepalanya.
Hanya Theo dan gambar hati di uap kaca mobilnya yang kini ada di kepala Lilly.
"Baik Lilly, tolong beri tahu teman-temannya, siapa pencetus Revolusi Hijau," pinta Bu Rika, Guru Sejarah.
Dengan tatapan kosong yang tertuju pada papan tulis, Lilly tersenyum-senyum sendiri. Ucapan Bu Rika tak digubrisnya karena fokusnya tak berada di sana. Maka Lilly yang tengah jadi pusat perhatian teman-temannya pun dicolek oleh Bu Rika.
"Lilly? Tolong sebutkan, siapa pencetus Revolusi Hijau yang merupakan seorang ilmuwan Amerika," ulang Bu Rika.
Lilly menoleh dengan guncangan badan karena kaget. "Hah? Eh? Amerika? Rafael Theodore Miller, Bu!" seru Lilly dengan lantang.
"CIEEEEEEE!" seisi kelas meledek Lilly.
Sadar jawabannya ngelantur, Lilly segera membekap mulutnya sendiri. Sambil tertawa puas, Tama yang masih menjadi teman sebangku Lilly – karena kini Mahesa duduk dengan Lavina dan teman sebangku Lavina pun duduk dengan Angga – menyenggol-nyenggol gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Date The Devil
RomanceLILLY Bertubuh mungil, punya tinggi satu setengah meter. Rambutnya tak pernah diurai, selalu dikucir kuda. Lincah, selalu jadi bintang lapangan turnamen basket putri antar sekolah. Kekanakan, tak bisa bersikap anggun layaknya perempuan. Usianya enam...