Sambil mengayuh sepedanya menyusuri jalanan area perumahan tempat sekolahnya berada, Lilly melamun. Terkadang ia tersenyum-senyum sendiri mengingat tingkahnya yang berubah drastis pada Theo. Ia merasa sangat konyol karena bisa-bisanya termakan prasangkanya sendiri pada waktu itu, sehingga memilih untuk tak mendengar apa yang Theo ucapkan kemudian. Padahal jika Lilly memilih untuk tinggal sejenak dan mendengar apa yang Theo ucapkan selanjutnya, ia jadi tak perlu bersikap ketus saat Theo tak sengaja berpelukan dengannya sehabis berhasil melakukan three point.
"KRING KRING!"
Seseorang membunyikan klakson sepeda di dekat Lilly. Otomatis, gadis itu menoleh pada sumber suara.
"Pagi, Lilly," sapa sang penngendara sepeda.
Dahi Lilly mengerut, tetapi kemudian ia tersenyum. "Theo? Mobil lo ke mana?" tanya Lilly heran.
"Tidur, di rumah, hehe."
"Hahaha nggak capek emang lo biasa naik mobil jadi naik sepeda?"
"Capek, sih, cuma... masa gue kalah sama cewek mungil kayak lo?"
Keduanya tertawa dan mulai melambatkan kayuhan sepeda masing-masing agar bisa berada di jalan lebih lama demi menikmati suasana. Sesekali Lilly memperhatikan Theo yang nampak terengah-engah dan bajunya basah karena keringat.
Keren, puji Lilly dalam hati.
"Lil," panggil Theo sambil menoleh dan mata mereka jadi harus bertemu, sebab Lilly belum sempat mengalihkan pandangannya. Gadis itu dibuat gelagapan.
"Hah? Eh, iya?"
"Kemarin lo kenapa waktu kita berdua refleks pelukan beres lo berhasil three point?"
Lilly bingung menjawab pertanyaan Theo, sebab ia tak mungkin berkata jujur bahwa dirinya sempat berniat menjaga jarak karena cemburu pada Lavina.
"Gue ngeselin lo lagi, ya? Maaf, ya. Gue masih berusaha buat nggak nyebelin lagi sama lo, kok."
"Eh eh nggak, Yo! Gue kemaren lagi... PMS. Hehehe," ujar Lilly bohong.
"Oooh pantesan."
Alasan cerdik yang melintas di benaknya membuat Lilly bernafas lega. Lilly berpikir semua laki-laki pasti percaya jika perempuan memakai alasan "PMS" ketika emosi mereka naik.
"Jangan marah-marah lagi ya, Lil. Gue nggak mau betenya elo ngerusak suasana perjalanan kita berdua pagi ini."
Mendengar ucapan Theo, ingin rasanya Lilly tak mengayuh sepedanya menuju sekolah, tetapi menuju matahari yang baru terbit di ujung jalan sebelah timur. Meski mustahil, meski jaraknya sangat jauh, asalkan bersama Theo, Lilly merasa sanggup. Yang jelas, Lilly ingin menikmati suasana perjalanan bersama Theo lebih lama.
"Kalo aja kita bisa sepedahan sampe matahari itu," ucap Theo tiba-tiba sambil menunjuk ke arah mentari yang baru terbit. "Gue mau. Asalkan, sepedahannya sama elo."
Mata Lilly membulat mendengarnya. Dipandangnya matahari yang sejak tadi memang jadi objek perhatianya. Kemudian ia menoleh pada Theo yang rupanya sedang tersenyum penuh arti padanya. Satu pemikiran dengan Theo dan senyum laki-laki itu membuatnya yakin akan sesuatu.
****
"Lil?"
Mahesa dan Lavina yang tengah asyik mengobrol di teras sejak sore, kaget mendapati Lilly yang masih berseragam basket tiba-tiba hadir di depan rumah Lavina bersama sepedanya. Gadis mungil itu bermandi peluh dan nampak terengah-engah.
"Hosh... Hosh... Hai, Vin, He," sapa Lilly yang terlihat kelelahan.
"Astaga, Lil! Lo balik latihan intensif langsung ngebut ke sini?! Pake sepeda, lagi! Ada apa?" tanya Mahesa heran.
"Sini sini masuk dulu, Lil," ucap Lavina sambil membukakan pintu pagar dan mempersilahkan Lilly serta sepedanya masuk.
"Ada apa, Bocah?" tanya Mahesa.
"Gue mau minta tolong... sama kalian berdua. Hosh," jawab Lilly sambil terengah.
"Oke oke, atur dulu nafasnya, Lil. Mau minta tolong apa?" tanya Lavina.
"Gue mau bikin project buat hari Senin. Jadi gini..."
KAMU SEDANG MEMBACA
Date The Devil
RomanceLILLY Bertubuh mungil, punya tinggi satu setengah meter. Rambutnya tak pernah diurai, selalu dikucir kuda. Lincah, selalu jadi bintang lapangan turnamen basket putri antar sekolah. Kekanakan, tak bisa bersikap anggun layaknya perempuan. Usianya enam...