"Even if you know what's coming,
You never prepared for how it feels."
-Nathalie Standiford.
###
ENJOY!
RUTINITAS belajar-mengajar di Antariksa seperti sebagaimana mestinya akan dimulai tepat pukul tujuh lewat lima—yang mana berarti gadis dengan mata bulat lucu berwarna cokelat itu masih mempunyai waktu sekitar dua puluh menit lagi untuk tidak terlambat. Dengan headset berwarna putih yang menyumbat kedua telinganya, gadis bernama Adena itu melangkah pelan sesuai dengai alunan lagu yang bermain.
Tak disangka, sewaktu band bernama A Rocket To The Moon sudah menyanyikan bagian refrain dari lagu berjudul Like We Used To, salah satu bagian headset yang mulanya menghambat telinganya tiba-tiba dilepas dengan paksa oleh seorang gadis potongan rambut sebahu yang kini tengah menatapnya dengan seulas senyum jahil. "Halo, Nana cantik." ledek Mikha, teman pertama Adena sewaktu dia masuk ke kelas sepuluh.
"Ih, apaan deh, Mik?" sahut Adena, agak memberengut kesal ketika Mikha melepas headsetnya disaat dia tengah menikmati alunan lagu. Terpaksa, Adena mematikan lagunya dari ponselnya yang berwarna putih sebelum dia memasukkan headsetnya pada sisi ransel.
Tepat setelah headset putih milik Adena tersimpan dalam ransel, dia mendengar suara deru knalpot motor yang kini berhenti tepat di depan mereka. Adena melirik sekilas sosok berperawakan tinggi tegap yang turun dari motor dengan seragam yang tidak dikancing, membuat semua orang dapat melihat kaos putih polos yang menampakkan tulisan what di bagian tengah. Sesaat kemudian, cowok dengan rambut berantakan seperti baru bangun tidur itu menepuk pelan pundak cowok yang mengantarnya, sambil berkata, "Kalo udah, hubungin gue."
Sang pengendara pun—yang memakai seragam SMA, hanya saja agak berbeda dengan seragam SMA Antariksa—mengacungkan jempol, lantas melarikan motornya keluar dari pelantaran Antariksa. Sesudahnya, Raffa—nama cowok itu—berjalan masuk ke dalam bangunan Antariksa. Sebelum itu, Raffa sempat melirik Adena sekilas, membuat Adena tiba-tiba salah tingkah karena ketahuan tengah menatapnya terus.
"Ekhem, ekhem," Itu suara Mikha, yang refleks saja membuat pandangan Adena tertoleh padanya. "Ada yang salting nih, pas ketahuan lagi natap doi."
"Nggak lucu, Mik," balas Adena, lantas menghela napas berat sebelum melangkah meninggalkan Mikha yang kontan saja membuat Mikha mendelik tajam ke arahnya.
"Jangan main tinggal dong," sahut gadis itu. "Ngambek lo, ya? Iya deh, maaf."
"Dih, apaan?!" ketus Adena, menepis tangan Mikha yang menyentil sikunya.
"Yaelah, Na. Cuma soal dilitian Raffa doang udah ngambek."
Adena tak mengindahkan ucapan Mikha. Malahan, dia terus melangkah tak peduli dengan suara tawa tertahankan dari Mikha yang terdengar ngeselin. Omong-omong, soal cowok tadi, Adena cukup tahu tentang siapa Raffael itu. Siapa lagi kalau bukan karena Mikha serta segenap teman di kelasnya yang selalu mengikutsertakan nama Raffa dalam gosip murahan milik mereka.
Oh, tidak. Adena sebenarnya tidak terlalu kenal dengan siapa Raffa itu. Satu hal yang dia tahu adalah, kalau si Raffa itu adalah seniornya yang selalu kemana-mana dengan tampang berandalan tapi menawan miliknya. Hng—itu yang dikatakan mereka, sih.
-000-
Rasanya, selama seminggu bersekolah di Antariksa, ada-ada saja hal yang membuat Adena sukses bersungut. Seperti hari ini, tepatnya bari Selasa, pada mata pelajaran Kimia, gadis itu lupa membawa buku cetak peminatannya. Itu merupakan satu-satunya alasan kenapa kini Adena tengah berada di lantai atas, dengan memegang tumpukkan delapan buku Kimia yang ketebalannya tidak main-main. Susah payah gadis itu menahan keseimbangan agar buku-buku itu tidak jatuh sia-sia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost And Found
Teen FictionBukan keinginan Adena untuk seperti ini; diam dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk mempertahankan hubungannya dengan Raffa. Semuanya yang ada di masa depannya masih terlihat abu-abu. Tidak pasti, sama halnya dengan hubungannya, yang terlihat semakin...