• Tak Bisa Mencintaimu, Sammy Simorangkir.
•••
"Jangan biarkan aku berdiam disini; sendiri dan menangiskan penyesalanku."
###
Kedua langkah kaki Raffa langsung saja membawanya menyusuri lorong rumah sakit dengan tergesa-gesa. Seperti ada sesuatu pada kakinya yang membuatnya tidak mau menghentikan langkahnya meskipun hanya sedetik.
Ruang ICU kini berada di hadapannya. Tepat di depan ruang itu, ada beberapa orang yang berdiri dengan raut cemas yang tak kalah dengannya. Dengan berani, Raffa melangkah mendekat ke tempat dimana Dean berdiri. Meskipun dia berdiri di samping Dean, namun matanya berkeliaran; pertama menatap Erna yang sedang terisak ditemani oleh seorang perempuan dengan rambut ikal di sisinya yang sepertinya sedang berbincang dengan seorang dokter. Dan terakhir menatap pintu besar bertuliskan ICU yang menjadi penghalang baginya untuk bertemu dengan Adena.
Samar Raffa dapat mendengar perbincangan antara Erna dan dokter itu. "Banyak yang salah dengan Adena. Detak jantungnya masih belum stabil. Dan juga ... Ada yang salah dengan tulang kakinya."
"Maksud dokter apa?" Tanya perempuan itu.
"Kemungkinan Adena akan sulit untuk menggunakan kakinya lagi."
Tepat saat ucapan dokter itu selesai, Raffa langsung mengambil langkah mendekatinya dan berkata dengan intonasi tinggi. "Maksud dokter apa ngomong kayak gitu?"
Dean langsung saja bersikap waspada saat melihat beribu emosi yang terpancar di wajah Raffa.
Namun, sebelum dokter itu menjawab pertanyaan Raffa, cowok itu dengan cepat mendekati pintu ICU hendak berniat untuk masuk. Namun dengan cepat dihalangi oleh dokter itu.
"Maaf, Anda tidak bisa masuk ke dalam sekarang." Kata dokter itu dengan rasa hormat.
Suara Raffa bergema di sepanjang lorong hanya untuk menanggapi ucapan sang dokter. "Apa?" Tanyanya kasar.
Dengan lemah lembut dan penuh kesabaran sang dokter menjelaskan pada Raffa kalau ini bukan saat yang tepat untuk berkunjung. Lagipula, kunjungan di ruang ICU hanya dikhususkan oleh keluarga saja.
"Raf, lo sebaiknya dengerin kata dokter. Dia bisa jagain Adena." Kata Dean mencoba sehalus mungkin.
"Omong kosong!" Raffa berteriak. Kontan semua tatapan terarah pada laki-laki itu, menatapnya dengan rasa cemas.
Sebelum Raffa benar-benar memberontak, tangan Dean dengan cepat langsung menahan badannya. "Lo harus bisa kontrol diri lo, Raffa! Jangan bertingkah seenak lo!" Teriak Dean sambil menenangkan diri Raffa. "Sifat lo yang kayak gini yang bikin suasana makin sulit!"
Raffa mengempas tangan Dean dengan kasar. Sesaat kemudian, ia melarikan tangannya ke puncak kepalanya, mengusapnya frustasi. "Adena ada di dalam, Dean. Gue harus liat dia." Balas Raffa. Dia kedengaran letih, terlalu letih untuk memaksa dirinya sendiri.
"Enggak, Raf. Enggak sampai dia dipindahin ke ruangan pasien." balas Dean cepat. "Dia pasti ditangani dengan baik sama mereka."
Raffa mengembuskan napasnya lalu menyingkir dari situ, dan kemudian jejaknya menghilang di ujung lorong.
****
Dia masih disini.
Di sisi lain rumah sakit, duduk termangu di salah satu kursi dengan kantung mata yang kentara. Di depannya berkeliaran banyak perawat dan dokter yang sepertinya tak bisa mendapat waktu istirahat sedikit. Terbukti dari kantung mata mereka yang juga sudah menghitam karena kelelahan mendengar macam-macam keluhan pasien.
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost And Found
Teen FictionBukan keinginan Adena untuk seperti ini; diam dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk mempertahankan hubungannya dengan Raffa. Semuanya yang ada di masa depannya masih terlihat abu-abu. Tidak pasti, sama halnya dengan hubungannya, yang terlihat semakin...