30. Perpisahan Atau Perjumpaan?

5.5K 336 26
                                    

• Aku Bertahan, Rio Febrian

•••

"Sesungguhnya perihnya perpisahan itu tidak seberapa dibanding bahagianya pertemuan. Apalagi pertemuan baru setelah perpisahan itu."

###

   DESAU angin membuat kegetiran di hatinya ikut tersapu oleh angin. Ada sekelabat rasa ganjal yang menyusup ke dadanya, sebuah rasa ketakutan yang amat teramat dahsyat terus saja membayanginya. Sebuah pesan kini terpampang nyata di layar ponselnya. Raffa menepikan mobilnya kala selesai membaca isi pesan dari Dean itu. Stir mobil ia gunakan sebagai penopang, matanya terpejam, merasakan sakit demi sakit yang bergantian terasa.

   Sepanjang kehidupan Raffa, ia tidak pernah merasakan hal ini sebelumnya. Bayang-bayang perpisahan yang harus mengancam setiap kali ia mengingat semua tentang gadis itu. Dibiarkannya lampu sennya menyala, sedangkan dia tetap berada di dalam, ditemani sebuah alunan lagu yang bermain di radionya.

****

   Raffa melirik sekilas pintu kamar gadis itu yang terbuka sedikit. Matanya menyipit kala melihat kalau di dalam sana, sudah banyak orang yang menangani Adena. Tangannya terkepal, rasanya ia tidak bisa membiarkan Adena ditangani oleh orang yang tidak dikenalnya. Raffa takut kalau sudah memberikan kepercayaan yang salah. Namun di satu sisi dia menyesali dirinya sendiri. Merutuki dirinya yang lebih parahnya tidak dapat melakukan apa-apa untuk menyelamatkan Adena.

   "Tekanan darah pasien menurun drastis!" Salah seorang perawat berteriak, membuat Raffa mengintip, mencari celah untuk melirik Adena yang dihalangi oleh orang-orang berseragam putih itu.

   Tak lama seorang dokter dengan wajah letih langsung saja meraih slat kejut jantung saat layar monitor menunjukkan kalau detak jantung Adena mulai menurun. Dengan harapan alat pacu jantung ini dapat memulihkan dan menstabilkan ritme jantung normal. Dengan sangat teliti dan terlatih, sang dokter mulai menyuntikkan obat ke infus Adena. Matanya lalu menyipit melihat kondisi gadis itu yang tak merespon apa-apa dari obat yang ia berikan.

   Sang dokter pun melepas masker yang ia gunakan. Menyeka keringatnya dengan tissue sambil menatap tubuh Adena yang terbaring dengan nanar. Raffa dapat melihat kalau dokter itu mengatakan sesuatu pada perawat yang ada dihadapannya. Hanya saja, Raffa tak dapat mendengar dengan jelas.

   Sebuah tepukan pelan di pundak Raffa kontan membuat dahi Raffa yang berkerut kembali seperti sediakala. Cowok itu berhasil keluar dari lamunan kecilnya yang membayangkan kemungkinan apa saja yang dapat terjadi kedepannya.

   "Gue rasa dia butuh support dari lo." Kali ini Dean muncul tiba-tiba, entah dari mana. "Dia sama sekali gak ngerespon obat yang udah dikasi dokter. Kondisinya... Gak berubah."

   Saat itu juga, ingin sekali rasanya Raffa membentur kepalanya di dinding sambil berteriak kencang. Urat pada lehernya mulai terlihat, wajahnya memerah. Lidahnya terasa kelu untuk membalas perkataan Dean.

   "Lo nggak bisa cuma diam disini dan menyesali perbuatan bodoh lo terus!" Suara Dean meninggi, terdengar serupa dengan gertakan. "Karena itu sama sekali nggak ada mengubah keadaan. Lo cuma buang-buang waktu lo doang, Raf. Waktu yang seharusnya lo pergunakan buat nyemangatin dia. Sekarang mungkin lo gak tau, tapi gue yakin kalo dia lagi nunggu lo."

Lost And FoundTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang