"I just want to tell her that i want to steal her heart like she stole mine."
--R
###
HARI Minggu bagi Adena merupakan surga dunia. Dikarenakan sekolah libur saat hari itu, jadi Adena masih bisa tidur lebih lama lagi. Meski begitu, khusus hari ini, Adena memutuskan untuk bangun lebih awal dan berencana untuk olahraga sedikit alias putar-putar komplek, mengingat ucapan Mika yang mengatakan kalau Adena semakin gendutan.
Berkat ucapan Mika itu, Adena harus menghabiskan hampir setengah jam hanya untuk menatap dirinya di depan cermin. Memperhatikan seberapa banyak memangnya lemak yang bertambah pada setiap tubuhnya. Adena menghela nafas. Menurutnya, badannya gitu-gitu aja.
Setelah menguncir rambutnya layaknya kunciran kuda, Adena lantas menuruni tangan dan langsung mengarah ke pintu depan. Dia tahu kalau weekend seperti ini, ibunya masih belum bangun. Jadi dia memutuskan untuk langsung keluar tanpa pamit.
Saat membuka pintu rumah, ekspresi Adena langsung berubah total. Dari riang gembira menjadi takjub dan melongo bersamaan. Seorang cowok dengan baju putih yang dilapisi oleh kameja bergaris itu sedang asyik terlelap di atas kursi depan rumahnya. Meski wajahnya tertutup dengan tangan, tapi Adena yakin itu pasti Raffa.
"R-Raf?" Adena menyentuh lengan Raffa yang menutupi wajahnya. Masih tidak ada pergerakan, sehingga Adena memutuskan untuk mengulang, "Raffa?"
Perlahan, Raffa membuka matanya. Sosok Adena yang masih sedikit kabur pun langsung menjadi objek pertama yang ia lihat. "Eh," Raffa bangun dan mengucek matanya beberapa kali untuk menyesuaikan dengan cahaya pagi itu.
"Raffa, muka lo kenapa?" di balik suara Adena pagi itu, terselip rasa khawatir yang wajar. Bagaimana tidak, pagi itu, dengan mata kepala Adena sendiri, dia melihat kondisi wajah Raffa yang babak belur. Adena meraih dagu Raffa saat cowok itu memalingkan wajahnya dan berkata kalau dia baik-baik saja. "Astaga, lo berantem? Sampe luka-luka gitu."
Raffa menahan tangan Adena. Dengan gerakan cepat dia memutar matanya, menatap sepasang iris milik Adena yang diselimuti dengan kegetiran yang sangat kentara. "Gue nggak apa-apa, Adena," balas Raffa, terdengar halus namun penuh penekanan. "Masalah kayak gini itu bagi gue udah biasa. Jadi lo nggak usah khawatir."
Meski Raffa bilang kalau dia baik-baik saja, Adena tahu kalau kenyataan sebenarnya saling berbanding terbalik. Adena memejamkan wajahnya sekilas sembari menikmati deru nafas Raffa yang menerpa wajahnya. "Kalo gitu masuk dulu, biar gue obatin lukanya."
Raffa mengangguk. Dia menuruti tawaran Adena dan langsung mengekor Adena dari belakang. Kediaman keluarga Wijaya pagi itu memang sangat sepi. Tak ada suara lain selain kicauan Bobo, burung kesayangan Papanya Adena.
Adena pun membawa Raffa ke dalam kamarnya. Tak ada pilihan lain lagi, karena dia juga tetap tak mungkin membiarkan Raffa diam di ruang tamu hingga Erna bisa melihat kondisi cowok itu. Adena hanya tidak mau kalau Erna berubah pikiran dan langsung tidak merestui kedekatannya dengan Raffa.
"Raf, masuk," ujar Adena saat Raffa hanya sekedar mengintip dari luar sedangkan Adena sudah berada di dalam. "Duduk sini," Adena menunjuk tempat tidur miliknya yang bermotif daun-daunan.
Bukannya mengikuti arahan Adena, Raffa malah memutuskan untuk berjelajah sekilas dan melihat ada barang apa saja yang ada di kamar Adena. "Ini kamar lo buku semua," ucap Raffa--nampak kagum karena hampir di setiap sudut Raffa menemukan buku. "Gue berasa kayak lagi terjebak di labirin perpustakaan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Lost And Found
Teen FictionBukan keinginan Adena untuk seperti ini; diam dan tidak bisa berbuat apa-apa untuk mempertahankan hubungannya dengan Raffa. Semuanya yang ada di masa depannya masih terlihat abu-abu. Tidak pasti, sama halnya dengan hubungannya, yang terlihat semakin...