EMPAT

29.9K 1.9K 21
                                    

"Jika takdir sudah berbicara kita bisa apa?"

••••

Lea Pov

Setelah memasukan buku dan alat tulis kedalam tas, gue langsung berdiri dari bangku dan siap untuk pulang. "Gue pulang dulu ya? Kalian masih ada rapat 'kan?" Zelia dan Grace juga sibuk membereskan buku mereka masing-masing. "Lo gak ikut kita rapat aja?"

Gue langsung jalan untuk keluar dari dalam kelas. "Abang gue udah terlanjur jemput, sekarang dia udah di parkiran. Jadi gue pulang dulu ya, bye." Gue melambaikan tangan kearah Grace dan Zelia. "Yaudah hati-hati." Zelia melambaikan tangan di ikuti Grace, setelah itu saat ini gue sudah berada di luar kelas.

Banyak murid yang berjalan tergesa-gesa, menggosip, dan berteriak saling memanggil satu sama lain. Termasuk gue saat ini yang berjalan cepat untuk menuju parkiran karena ponsel gue terus bergetar menandakan kak Eno yang sudah tidak sabar.

Kak Eno.
Cepet princess gue mau ada meeting!

"Untung kakak gue, kalau bukan udah gue... Ah, sudahlah!" gue melanjutkan berjalan dengan sedikit berlari agar kak Eno tidak semakin bawel.

Gue terus berjalan tanpa melihat ke depan, karena sibuk dengan ponsel yang berada di tangan. Alhasil kalian tau 'kan apa yang selanjutnya terjadi? Ala-ala adegan di sinetron. Gue bertabrakan dengan seseorang dan orang itu marah-marah. "Astaga!"

Bug!

"Aduh!" Seketika ponsel yang gue pegang ikut terjatuh ke lantai. Astaga padahal itu ponsel belum ada satu minggu di berikan kak Eno, sekarang harus mencium lantai bersama gue. "Lo kalau jalan itu lihatnya ke depan jangan ke ponsel." Gue langsung berdiri dengan susah payah karena bokong yang sedikit nyeri dan mengambil ponsel gue yang tergeletak di lantai. Terus siapa cowok yang tidak tau diri itu, padahal dia juga menabrak. Kenapa dia juga marah-marah?

"Eh! Lo juga salah!" dan, jrengg. Ternyata cowok yang tadi di keluarkan dari kelas. Kenapa baru tadi pagi gue bilang kalau tidak ingin bertemu atau bahkan berkenalan, sekarang malah sebaliknya. Sekarang gue baru ingat kalau ucapan adalah doa. "Ya, tuhan!"

Are menaikan sebelah alisnya, dengan menatap gue dengan wajah tanpa dosa. Apa memang dia selalu begini kalau salah. Tidak pernah merasa bersalah. "Yaudah sama-sama salah gak usah marah." Gue mengelus dada dan menarik nafas pelan. "Sabar Lea, sabar. Karena lo juga salah sih emang."

Karena lelah akhirnya gue memilih untuk mengalah dengan mahluk bernama Are. "Astaga mahluk? Dia juga manusia kali!" aduh kenapa otak gue mulai mikir yang tidak-tidak sih. Gue akhirnya memilih meninggalkan Are dari pada harus berdebat dengan dia. Saat akan melangkah tiba-tiba tangan Are memegang pergelangan tangan gue. "Lo mau kemana?" gue langsung memutar badan menghadap Are. "Pulang!"

"Wuish! Galak banget." Ucap Are dengan tertawa kecil. Astaga gue sampai lupa kalau kak Eno sudah nungguin gue di parkiran. "Sekarang lepasin tangan gue!"

Gue baru menyadari jika lorong sekolah masih ramai dengan para murid yang di dominasi para cewek dan perdebatan ini menjadi perhatian mereka tapi kali ini semua mata tertuju pada Are. Mata biru, alis tebal, hidung mancung, tatapan tajam dan berbadan atletis itulah penilaian gue, saat pertama kali melihat Are. Pasti semua cewek normal akan bilang dia cool. Tapi, hello! Gue juga normal, hanya saja gue biasa aja melihat Are. "Awas jatuh cinta kalau di lihatin terus." Tanpa sadar mata gue terus menatap Are. "Ge-er banget lo! Lepasin tangan gue!" Gue terus coba melepaskann genggaman Are dari tangan gue. Entah kenapa tangan Are semakin erat memegang pergelangan tangan gue.

"Ada syaratnya!" Ucap Are dengan menaikan sebelah alisnya. Gue benci kalau cowok sudah menaikan sebelah alisnya dengan senyum bagaikan iblis, pasti yang di minta aneh-aneh. "Apaan, syarat-syarat segala!" gue langsung mengeluarkan jurus ketus yang biasa gue lakukan.

"Yaudah, terserah lo aja." Ucap Are dengan semakin mengeratkan genggamannya di pergelangan tangan gue. "Kak, tolong adek lo yang paling cantik ini. Lagi di tahan cowok gila!"

Akhirnya gue mengalah untuk kesekian kalianya. Entah kenapa hari ini gue terlalu banyak mengalah dengan cowok resek ini. "Iya-iya apa syaratnya?"

Are menunjuk pipinya dan itu membuat gue bingung. Ada apa dengan pipinya? "Apaan! Yang jelas!" gue yang sudah lelah semakin jutek secara alamiah tanpa di buat-buat. "Cium!" Gue langsung memukul lengan Are dan terdengar jelas teriakan para cewek yang masih berkumpul di lorong sekolah. Ada apa dengan cewek-cewek itu. "Gue gak ada waktu buat nanggepin cowok gila kayak lo!"

"Yaudah, penuhi syaratnya." Ucap Are dengan tersenyum. Dan senyum Are menimbulkan ide cemerlang di otak gue. Tiba-tiba terlintas ide gila di kepala yang lewat begitu saja. "Tutup mata lo!" Are mengerutkan keningnya dengan menatap wajah gue. Gue paling gak suka di tatap seperti itu. "Lo jangan kebanyakan nonton sinetron, masa mau cium aja harus pakai nutup mata."

"Yaudah terserah!" gue sekarang tidak akan mengalah dengan Are. "Oke-oke." Akhirnya Are yang mengalah. Dan memang begitulah harusnya cowok ngalah dengan cewek.

Setelah Are menutup matanya, tangan gue langsung melepas sepatu sebalah kiri dengan menggunakan tangan yang bebas dari genggaman Are. "Lepasin tangan gue dulu." Gue tersenyum kecil antara geli dan lucu. "Jangan kabur!"

"Enggak!" ucap gue dengan tawa tertahan setelah Are melapaskan genggamannya.

Tanpa banyak bicara gue langsung menempelkan sepatu yang tadi gue lepas tepat di pipi Are. "Rasain tuh di cium sepatu!" gue langsung berlari secepat yang gue bisa menuju ke lapangan parkir meninggalkan Are, yang entah dia malu atau marah. Itu urusan nanti 'lah.

Parkiran sekolah.

Setelah melihat kak Eno yang berdiri di depan mobil hitam miliknya, dengan wajah masam gue jadi merasa bersalah.

"Huff!" gue coba mengatur nafas, karena berlari dari lorong sekolah ke parkiran cukup membuat capek. Kak Eno menatap gue dengan menaikan sebelah alisnya. "Sepatu lo kenapa, cuma lo pakai sebelah?"

"Gak papa kak." Ucap gue dengan membuka pintu mobil. "Yaudah cepet masuk mobil." Ucap kak Eno dengan memutari mobilnya. "Iya kak."

Mobil kak Eno mulai membelah kemacetan kota jakarta. Panas, haus dan lapar jadi satu, karena berlari ternyata sangat menguras tenaga. Jadi ketahuan 'kan kalau gue jarang olahraga.

"Lo tadi beneran gak papa?" tanya kak Eno dengan menaikan sebalah alisnya. Dan gue heran kenapa cowok suka sekali menaikan satu alisnya, sih!

"Iya kak, beneran." Ucap gue dengan mengambil roti milik kak Eno, yang ada di dalam box di atas dasboard mobil. "Tapi kenapa lo lari-lari?"

"Habis ngerjain cowok gila!" ucap gue dengan mulut penuh roti coklat. "Lah? Baru juga masuk, masih satu hari udah ngerjain anak orang." Ucap kak Eno dengan tertawa. "Itu cowok habisnya nyebelin, bodo amatlah!" kak Eno langsung mengacak-ngacak rambut gue. "Iya-iya, itu awas keselek makan rotinya pelan-pelan. Gak ada air minum."

Gue hanya mengangguk-anggukan kepala dengan terus melahap roti coklat yang hanya tinggal setengah, setelah setengahnya sudah habis gue makan.

TBC

AREZA & QALEA (COMPLETED/RE-POST/NEW VERSION)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang