"Assalamu'alaikum." Gue membuka pintu rumah dengan kunci rumah yang gue bawa. Seperti biasa, rumah masih kosong saat gue pulang sekolah. Ayah masih bekerja, mungkin sedang meeting di kantor. Dan gue tidak keberatan.
Jangan tanya tentang Nyokap gue. Ayah dan Ibu gue cerai saat umur gue 12 tahun, yang artinya 4 tahun lalu.
Oh ya, jangan berpikir macam-macam tentang gue. Misalnya seperti; gue adalah seorang cowok broken home, berandalan dan playboy. Stop, buang jauh-jauh hal-hal itu dari pikiran lo. Gue sama sekali berbeda. Pertama, gue baik-baik saja dan menghargai keputusan kedua orang tua gue. Kedua, gue nggak berandalan, cuma suka cabut pelajaran. Ketiga, gue nggak playboy. Gue nggak setega itu, lagi pula nggak ada juga yang mau pacaran sama gue.
Gue berjalan menaiki tangga ke lantai 2, ke kamarku. Begitu menemukan sebuah pintu berwarna coklat dengan stiker bertuliskan, "di sini dengan Dimas, ucapkan password untuk bisa masuk."
Nggak penting. Password itu sebenarnya cuma supaya Ayah atau siapa pun nggak sembarangan masuk ke kamar gue. Jadi, mereka harus ucapin password dulu sebelum masuk. Lo kepo nggak sama password-nya? Kalo kepo, gue kasih tahu.
Password-nya, minum makanan bergizi.
Udah, udah. Gue ngasih tahu doang. Jangan diperpanjang masalah ke-absurd-an password kamar gue itu.
Gue membuka pintu kamar. Kamar dengan nuansa biru laut memenuhi indra penglihatan. Gue menghempaskan tas dengan asal ke sembarang arah. Kemudian membersihkan diri di kamar mandi.
***
Jam menunjukkan pukul 11 malam. Gue mematikan x-box yang gue mainkan sejak 3 jam lalu karena bosan. Menang melulu, sih.
Gue menarik nafas panjang, kemudian menghembuskannya berat. Ingatan gue melayang pada kejadian tadi pagi, saat Divo dan Ara berpelukan. Tepatnya, jadian.
Orang-orang akan melihat gue sebagai cowok songong dan cuek. Tapi sebenarnya diam-diam gue pengamat yang baik.
Gue suka Ara dan rambut kecoklatannya yang sepinggang. Suka tawa Ara saat sedang bahagia. Suka bagaimana Ara bicara. Suka suara Ara yang sedang bersenandung. Bahkan wajahnya seaat sedang menangis tetap terlihat cantik. Gue suka semuanya tentang Ara.
Maksud gue—hey, 4 tahun bukan waktu yang singkat, man.
Gue membuka pintu kaca yang mengarah ke balkon yang berseberangan dengan balkon rumah tetangga.
Omong-omong, sejak pindah rumah ke sini 5 tahun lalu. Sejak itu juga gue suka membiarkan pintu balkon terbuka saat sedang main x-box tanpa mengenakan pakaian. Berakhir masuk angin, tapi tetap gue ulangi.
Pintu balkon itu berderit saat ku buka.
Krieettt... blam.
Gue menghela nafas. "SHIT!" umpatku keras-keras. Tidak peduli bakal ada tetangga yang bangun karena suara umpatan gue.
Gue mendesah berat sambil mengacak-acak rambut gue sendiri. Frustasi memikirkan Ara. Entah apa yang dilakukannya pada gue hingga dia selalu memenuhi pikiran gue.
"Are you... okay?"
Gue menghentikan pergerakan gue. Memicingkan mata ke balkon seberang yang tumben ada penghuninya. Karena biasanya balkon itu tidak pernah terbuka. Mungkin pernah, tapi saat gue sedang tidak membuka pintu balkon gue. Eh, bukannya itu Diva? Diva yang terkenal centil pada Divo?
KAMU SEDANG MEMBACA
Consciente
Teen FictionIni kisah tentang Diva dan Divo yang saling menarik ulur meskipun Divo sudah memiliki pacar. Tentang Dimas dan eksistensinya yang serupa cokelat hangat di musim hujan dan es krim pasca patah hati. Tentang Dave yang menjatuhkan hatinya pada Diva yang...