Jam menunjukkan pukul setengah 9 malam, suasana acara Prom mulai sepi karena acara hampir berakhir. Yang artinya Dimas juga hampir 2 jam meninggalkan Diva.
Sebenarnya Dimas ingin mengajak Diva bergabung di antara teman-temannya yang lain, tetapi Dimas ragu-ragu. Apalagi saat ini ia tak lagi mengobrol bersama teman-temannya melainkan seorang cewek yang mengenakan dress berwarna pink pastel yang dibalut blazer berwarna putih gading.
Dimas duduk di atas kursi terdekat sambil sesekali menyeruput soda dari dalam gelasnya. "Lo mau ngomong apa?"
Ara menunduk. "I know about the feeling that you keep, and I'm sorry. Maaf gue malah mengabaikan lo."
Dimas terkekeh. "Ya elah, Ra. Gue kira apaan muka lo serius banget, haha. Santuy aja sama gue mah."
Ara tersenyum tipis. Ia masih merasa bersalah.
"Lagipula gue udah nggak punya perasaan khusus ke lo," lanjut Dimas terang-terangan sambil tersenyum senang, "gue ketemu orang yang nerima gue apa adanya dan nggak pergi meski gue pernah bikin dia nangis."
Ara ikut tersenyum lebar. Hatinya lega. "Siapa?"
Dimas membuka mulutnya, hendak memberitahu. Namun mendadak ia tertawa melihat ekspresi penasaran Ara yang lucu.
Well, Dimas memang masih menganggap Ara lucu. Tetapi ini hanya sekedar anggapan biasa saja. Dimas bukanlah lagi seorang anak umur 17 tahun yang labil. Oke, mungkin masih agak labil. Namun setidaknya Dimas sedang meyakinkan hatinya. Bagi Dimas, itu adalah hal yang harus dilakukannya meski tidak mudah.
"Rahasia," ucapan yang terlontar dari mulut Dimas sontak membuat Ara mengerang kecewa. Dimas ikut tertawa.
Kalau Ara adalah Diva, mungkin yang terjadi adalah cewek itu sudah menabok lengan Dimas sambil mengomel, "ih tai dah, gue kepo tahu!"
Ha. Ha. Ha.
Tapi ini Ara, bukan Diva. Ara sangat feminim dan manja, berbeda dengan Diva. Tidam perlu kenal dekat, jika melihat Ara dan Diva disandingkan, sudah terlihat jelas yang mana yang lebih 'cewek'.
Meski begitu, sikap Diva sama sekali tidak mengurangi perasaan Dimas pada Diva. Dimas pikir, ia begitu menyukai Diva yang apa adanya. Omelan Diva, suara tawanya yang tidak pernah bisa pelan--ah, terlalu banyak hal yang harus disebutkan jika Dimas menjabarkan alasannya jatuh cinta pada Diva.
"Mas, lo kan udah nggak suka sama gue. Gue boleh cerita curhat sesuatu, kan?"
Dimas mengangguk. "Boleh, lah."
Hari ini Dimas bersikap lebih ramah pada siapa saja, karena Dimas tahu bahwa dirinya tidak akan bertemu dengan orang-orang itu lagi dalam waktu dekat--dan Dimas pasti merindukan masa putih abu-abunya.
"Lo tahu kan gue putus sama Divo udah sejak lama?"
Dimas mengangguk tanpa berkomentar.
"Nah, gue sekarang udah nggak nyesel lagi. Karena akhirnya gue bisa deket sama Dave. Bahkan yang ngajak gue ke sini itu Dave."
Dimas melongo sesaat, kemudian ia buru-buru menghapus ekspresi bodohnya itu. Jadi Dave dan Ara sedang dekat? Wow, apa saja hal yang Ara lalui demi bisa dekat dengan Dave yang nyebelin banget itu? Duh, Dimas jadi bingung. Cewek tuh suka aneh, ya. Yang judes dan cool malah dibilang gemas. Cowok nyebelin juga malah disukai. Ya udahlah ya, semerdeka cewek aja. Kata orang sih, cewek selalu benar.
"Tapi gue tahu sebuah hal tentang Dave yang orang-orang nggak tahu. Dan gue mau kasih tahu hal ini ke lo, karena gue nggak mau lo atau pun gue nyesel di kemudian hari."
KAMU SEDANG MEMBACA
Consciente
Fiksi RemajaIni kisah tentang Diva dan Divo yang saling menarik ulur meskipun Divo sudah memiliki pacar. Tentang Dimas dan eksistensinya yang serupa cokelat hangat di musim hujan dan es krim pasca patah hati. Tentang Dave yang menjatuhkan hatinya pada Diva yang...