Hasil foto yang Diva upload bersama Dimas menghasilkan banyak like dan komentar. Kebanyakan sih teman-teman seangkatan dan kakak kelas yang kepo. Beberapa contohnya seperti,
Anindiraaa08 pacaran?
Anindiraaa08 kemaren Divo, terus Dave, sekarang Dimas? wkwkwj
Cindycandy langgeng💘
Tam_ara cieee @dimasstywn
Divaadr typo tuh mb, hehe:) @anindiraaa08Dan komentar-komentar lainnya. Biasa, kebanyakan orang yang suka sirik tuh yang komentar hwhw.
Omong-omong, Diva mencibirkan bibirnya begitu membaca komentar Ara. Sok cie, ah. Bilang aja mau caper, ucap Diva dalam hati.
Jujur, ia masih suka kesal kalau Ara kayak gini. Bukan apa-apa, Diva masih kesal kalau mengingat Ara menikungnya waktu itu. Yah, meskipun Diva sudah tidak menyukai Divo, sih.
"Diva!"
Diva menoleh ke asal suara, senyumnya mengembang begitu melihat Dave yang menghampirinya sambil setengah berlari. Diva menepuk-nepuk tempat di sebelahnya. Kebetulan, ia sedang duduk sendirian di salah satu bangku panjang yang ada di koridor sekolah.
"Halo," sapa Diva sambil tersenyum kecil.
Ini Diva mode kalem.
Mode jaim.
"Lo sendirian aja. Nggak takut diculik—"
"Nggak, yang nyulik bakal gue tabok duluan," potong Diva memasang wajah sok gahar. Sedetik kemudian, Diva cengengesan.
Oke, misi jaim dan kalem: fail.
Dave tertawa. "Eh, lo jadian sama Dimas, ya?"
Diva menautkan kedua alisnya dengan wajah bingung. "Hah? Nggak, kok."
"Post lo di instagram?" Dave melirik ke layar hape Diva yang sedang menyala. "Eh, atau friendzone? Hehehe."
Sialnya, layar tersebut sedang menunjukkan hasil photobooth-nya bersama Dimas.
Diva gelagapan. Ia menggeleng. "Nggak, sumpah. Gue sama dia ... ya—sahabatan."
Dave menaikkan sebelah alis dengan wajah tak yakin.
Ya emang sahabatan, kan? Emangnya gue ngapain lagi sama dia, batin Diva sambil membuang pandangannya ke lain arah.
"Hmmm, ya udah. Padahal gue baru mau minta pajak jadian, hehe." Dave nyengir sambil menengadahkan tangannya di depan Diva.
Diva mencebik. "Kere," ucapnya, kemudian tergelak. "Bercanda."
Dave terkekeh. "Gue mau ngomong sesuatu."
"Itu lo udah ngomong."
"Hehe, iya. Gue mau bilang ...," raut wajah Dave berubah menjadi serius, dan tiba-tiba perasaan Diva menjadi ... entahlah.
"Gece, gue mau balik," ujar Diva. Tapi bohong, Diva betah kok duduk lama-lama bareng cogan, hehe. Iyalah, please, nggak usah sok jaim sok jual mahal, deh. Lo juga kalo misalnya duduk sama cogan kayak gini juga pasti betah, kan? Hehe.
"Gue udah lama tertarik sama lo. Tapi, lo pasti inget kalo dulu lo tergila-gila sama kembaran gue, kan?" Dave tersenyum tipis. Ia menatap Diva.
Atmosfer di antara Diva dan Dave berubah.
Canggung.
Diva yang ditatap oleh Dave dengan tatapan seperti itu lantas segera memalingkan wajahnya.
Aneh.
Seharusnya, Diva deg-degan karena dia selalu merasa nyaman saat bersama Dave. Terlebih lagi, cowok itu sering kali melakukan hal-hal manis yang membuatnya senyum-senyum sendiri.
Tapi serius, Diva nggak merasakan sensasi apapun saat ini.
Diva biasa saja.
Mungkinkah rasa nyaman yang selama ini ia rasakan hanyalah sebatas rasa nyaman biasa tanpa embel-embel kalau dia menyukai cowok itu?
Melihat reaksi Diva yang memalingkan wajah dan diam saja, Dave segera berkata, "gue cuma bilang doang kok, Div. Kalo lo nggak suka sama gue juga nggak apa-apa. Yang penting lo tahu gue suka sama lo. Kalo lo suka sama cowo lain juga gapapa. Santai aja."
Diva menatap Dave dengan tatapan yang tidak Dave pahami maksudnya.
"Gue nggak tahu harus ngomong apa." Diva menunduk.
Tiba-tiba, Diva merasakan sebuah tangan yang mengelus kepalanya. Ia menengadahkan wajahnya, menatap Dave yang sedang nyengir.
"Lo deg-degan, gak?"
Diva menggeleng.
"Bagus, soalnya gue cuman bercanda. Gue mau ngeudahin semuanya."
Deg.
Diva menaikkan sebelah alis. Ia menatap Dave nanar. "Maksud lo?"
Dave tersenyum tipis. "Sori, Div. Kayaknya gue cuma numpang lewat aja di hidup lo. Gue taruhan sama temen gue."
Selama beberapa menit, Diva tidak juga mencerna kata-kata Dave.
Dave menghela nafas, menatap Diva dengan ekspresi datar. "Gue deket sama lo karena taruhan."
Seketika, ada rasa sesak yang menghimpit dada Diva. "Lo ... tega ya," ucap Diva sambil tersenyum getir. "Emang dari awal gue salah ngebolehin lo masuk ke hidup gue."
Meskipun Diva tidak menyukai Dave, tapi tetap saja rasanya menyakitkan. Kedekatan mereka selama ini ternyata hanya karena suatu keterpaksaan.
Kalau Diva tahu sejak awal Dave seperti ini, Diva pasti sudah mendepak cowok itu dari hidupnya, tidak membiarkannya masuk. Tanpa ba-bi-bu, Diva bangkit dari posisi duduknya, ia berjalan meninggalkan koridor dengan tergesa-gesa.
Tangisan Diva pecah.
"Tai, kenapa gue sebego ini, anjir." Diva menyeka air matanya dengan kasar.
Diva malu.
Diva malu karena Dave tahu kalau ia menyukai segala perhatian yang Dave berikan. Diva malu karena Dave pasti menganggapnya sebagai cewek yang gampang menyukai orang.
"Gue benci sama lo!" desis Diva.
Tanpa Diva sadari, Dave mengikutinya. Dave mendengar apa yang ia ucapkan. Dave tahu.
Dan tanpa Diva ketahui, segala kedekatan mereka bukan rekayasa ataupun kepura-puraan. Dave berbohong, semua ini terpaksa Dave lakukan karena suatu alasan.
Dave benar-benar menyukai Diva, dan Dave terpaksa berbohong karena suatu alasan.
"Maaf ya, Div. Gue emang terlalu pengecut untuk ngakuin semuanya."
***
19/03/17
Dave emang tai, ya. Hwhw.
KAMU SEDANG MEMBACA
Consciente
Teen FictionIni kisah tentang Diva dan Divo yang saling menarik ulur meskipun Divo sudah memiliki pacar. Tentang Dimas dan eksistensinya yang serupa cokelat hangat di musim hujan dan es krim pasca patah hati. Tentang Dave yang menjatuhkan hatinya pada Diva yang...