AKU menyapukan pandangan ke seluruh penjuru lapangan parkir. Siswa-siswi berseragam batik hilir mudik, sendiri mau pun berkelompok. Ada yang sibuk dengan ponselnya lantaran menunggu ojek online, ada juga yang bercanda ria dengan teman-temannya.
Aku sendiri sedang bersandar pada sebuah motor besar berwarna hitam. Menunggu pemiliknya datang. Kalau perhitunganku benar, seharusnya pemilik motor ini bakal datang dalam waktu kurang dari 5 menit.
Tak lama kemudian, seorang cowok bertubuh jangkung dengan garis rahang yang tegas berjalan ke arahku. Ralat, berjalan ke motornya yang menjadi tempatku bersandar. Kedua alis tebalnya yang hitam pekat bertautan, matanya menatapku tajam.
Aku cengar-cengir ditatap begitu oleh Divo.
Iya, namanya Divo. Tidak lain dan tidak bukan merupakan kapten basket sekolah yang tentu saja tenar di kalangan teman sebaya mau pun angkatan lain.
Aku tersenyum lebar. Senyum yang belum pernah berubah sejak pertama kali aku menyukainya. Persisnya saat aku duduk di bangku kelas 8.
Tentu saja pada saat itu dia masih belum setenar sekarang. Lagi pula aku menyukainya bukan karena dia ganteng atau apa (meski tentu saja ganteng menjadi nilai plus). Aku hanya ... menyukainya.
Heran juga kenapa aku bisa menyukai cowok sejutek Divo. Terkadang sikapnya memang membuatku lelah dan ingin menyerah, namun aku selalu memumpuk harapan dan bertahan sampai saat ini.
Anyway, aku Diva. Lengkapnya Adrina Devana Putri—dan naksir berat pada Adrian Devano Putra alias Divo. Nah, bahkan nama kami terdengar senada.
"Minggir."
Ah, Vo. Kadang-kadang aku iri sama teman-teman cewek kamu yang bisa ngobrol sama kamu dengan mudahnya. Karena bisa ngobrol sama kamu aja rasanya udah kayak mukjizat di duniaku yang kelam.
Nah, jadi curhat, kan.
"Halo." Aku melambai kecil. Sudah 2 tahun dan perasaan ini nggak memudar sama sekali. Ya Tuhan, kenapa cowok berjambul, berhidung mancung dan beralis tebal itu ganteng banget? AAAH.
Mataku menatap tiap pergerakannya. Caranya menancapkan kunci motor dan mengambil helm. Serius, dia terlihat sangat pacarable.
"Kamu basket kan besok?" tanyaku sambil nyengir lebar. Aku selalu nyengir saat bersama Divo. Meski dia benar-benar jutek, aku tetap suka.
Lagian juteknya dia itu benar-benar membuatku gemas. Coba deh, siapa yang nggak bakal gemas dan geregetan saat bertemu Divo? Ganteng tapi jutek. Tapi lucu juga dalam waktu bersamaan. Hehe, gemesin, kan?
Divo mengangguk cepat.
"Kak Divo!"
Aku menoleh mendengar suara seseorang yang berseru memanggil Divo. Meski Divo yang dipanggil, aku ikut menoleh. Aku kenal suara itu.
Dalam sekali lihat aku langsung mengenali pemilik suara yang memanggil Divo. Itu Ara, cewek blasteran Indonesia-Prancis yang berambut brunette dan sangat cantik. Tentu saja dia juga terkenal karena kecantikannya. Minggu lalu dia baru saja menawarkan bantuan padaku untuk jadian dengan Divo.
Pandanganku beralih pada Divo yang tak kusangka-sangka tersenyum manis. Ya Tuhan, itu senyum terindah di abad ini. Dan ... oh ya! Itu lesungnya sampai kelihatan! Aku tahu kalau Divo punya lesung pipi, tapi jarang melihatnya karena dia jatang tersenyum. Dan rasanya aku bisa meleleh detik ini juga.

KAMU SEDANG MEMBACA
Consciente
Dla nastolatkówIni kisah tentang Diva dan Divo yang saling menarik ulur meskipun Divo sudah memiliki pacar. Tentang Dimas dan eksistensinya yang serupa cokelat hangat di musim hujan dan es krim pasca patah hati. Tentang Dave yang menjatuhkan hatinya pada Diva yang...