5 - Rasa dan Kenangan

95 7 2
                                        

"Ini Adrina Devana Putri?"

Diva menaikkan sebelah alisnya melihat ekspresi Dimas yang melongo. Jelek banget, sumpah.

"Apaan sih. Lebay. Gue tahu gue cakep," Diva menaik turunkan alisnya sambil cengengesan. Ia berjalan berdampingan ke mobil milik Ayah Dimas yang akan keduanya pakai untuk pergi ke acara Prom yang diadakan di sekolah.

"Apaan cakep? Gue kaget kenapa bibir lo merah banget! Itu lo abis kejedot kloset atau gimana?" balas Dimas sambil menyalakan mesin mobil. Kakinya menginjak pedal gas, sementara tangan kanannya menggerakkan persneling.

Diva yang mendengar ucapan Dimas memekik heboh. "Gue udah susah-susah dandan juga! Dasar ngeselin. Tau gitu gue nggak usah nemenin lo, deh. Cih, lelaki kardus!"

Sudut bibir Dimas berkedut melihat ekspresi Diva yang sedang mengomel. "When ur appearance don't match with ur attitude."

Diva buru-buru membetulkan posisi duduknya. "Yeh, kalo gue terlalu kalem nanti lo naksir lagi, HAHAHA."

Gue emang udah naksir, timpal Dimas dalam hati.

Diva tertawa lebar sambil menutup mulutnya. Kapan lagi ngelihat Diva jadi setengah anggun kayak gini, kan.

Ckrek.

Tawa Diva berhenti seketika. Ia menatap Dimas tajam. "Lo ngefoto gue, ya? Ya Tuhan, kalo lo ngefans sama gue dari lama kenapa nggak bilang-bilang ... kita kan udah punya foto bareng!"

Dimas bergidik. "Geer banget sih, Ya Allah. Gue barusan ngefoto jalanan di depan, mau dimasukin ke story. Ngapain amat gue ngefans sama lo!"

Diva terdiam sejenak seraya menatap Dimas menyelidik. Setelah melihat tampang Dimas yang meyakinkan, Diva menyerah.

Gue aja kali yang kegeeran dia ngefoto gue, batin Diva. Ia manggut-manggut, meyakinkan dirinya sendiri.

Melihat Diva yang berhenti mengoceh dan duduk dengan rileks, Dimas menghela nafas lega. Lampu merah di depan memungkinkan Dimas untuk mengecek hasil jepretannya.

Dimas mengeluarkan ponselnya dari dalam kantung celana.

Tampak seorang cewek dengan pipi merona dan bulu mata lentik tengah tertawa terbahak-bahak seraya menutup mulutnya--yang sebenarnya tidak terlalu menonjolkan sisi anggunnya. Lagipula, mana ada cewek anggun yang tertawa sekeras Diva? Nggak ada.

Ah, tanpa sadar Dimas tersenyum kecil dibuatnya.

Omong-omong, Dimas memang memotret Diva diam-diam. Hanya saja, ia lupa men-silent ponselnya. Untungnya Dimas jago membuat alasan dan Diva percaya.

Lampu hijau menyala. Dimas menginjak pedal gas, membelah jalanan Jakarta menuju ke sekolahnya. Hari telah petang, kalau Dimas tidak sampai ke sekolah dalam waktu 5 menit, bisa dipastikan dirinya bakalan telat.

Dimas melirik Diva diam-diam.

Ck, pantas saja sepi. Cewek itu terlelap. Dasar kebo pelor. Nempel molor.

Meski begitu....

Ng, dilihat-lihat Diva cantik juga, ya. Meski brutal dan agak anarki, sih. Mukanya waktu tidur sama bangun beda seratus tujuh puluh sembilan derajat!

Dimas tersenyum kecil sambil memfokuskan diri pada jalanan di depan.

Well, Dimas tidak menyangkal lagi mengenai perasaannya. Bahkan apabila mungkin ia harus move on lagi. Yang terpenting, Dimas meyakini bahwa perasaannya adalah sesuatu yang benar selama dirinya tidak berlebihan seperti perasaannya pada Ara.

ConscienteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang