"Gutten Morgen."
Diva hampir jantungan melihat sosok cowok yang mengenakan celemek pink baru saja meletakkan 2 piring nasi goreng dengan tambahan rempah spesial (re: daun mengkudu) ditambah telur mata sapi.
"Kaget, anjir," gerutu Diva, mengusap dadanya.
Dimas terkekeh. "Alay ah," balasnya. "Sarapan dulu, nih."
Diva menarik kursi di meja makan, begitu juga dengan Dimas yang duduk di hadapannya. Keduanya mulai melahap nasi goreng buatan Dimas di ruang makan rumah Diva. Tak ada siapa pun selain mereka berdua.
"MAS!" seru Diva tiba-tiba seraya menggebrak meja makan yang terbuat dari keramik.
Dimas tersentak kaget. "Apaan?"
"GILA LO. GILA!" seru Diva heboh. Membuat Dimas bingung karenanya.
Jangan-jangan masakan gue nggak enak? tapi gue udah ikutin resep yang Bunda kasih, kok, pikir Dimas.
"Kenapa, sih? Calm. Kalem aja kalem. Lo tuh ya--kemaren udah cakep-cakep gitu kan, sedikit kalem. Sedikit banget. Eh, gak taunya hari ini lo malah meledak-ledak paginya," gerutu Dimas, "bentar gue ambil obat dulu."
Diva merengut mendengar ucapan Dimas yang terakhir. "Serius, Dimas. Serius. Ini super enak! Lo tahu darimana gue suka banget nasi goreng ini?"
Dimas menghela nafas lega. Syukurlah ternyata Diva menyukai nasi goreng buatannya. Ia pikir Diva tidak suka. Duh, reaksinya barusan kayak orang yang mau protes karena nasi gorengnya nggak enak.
Cowok yang telah melepaskan celemek yang tadi ia kenakan itu menyugar rambut seraya menyeringai bangga. "Gue gitu, lho."
Diva mengunyah makanannya sambil berkata, "gue udah lama banget nggak makan ini."
Dimas manggut-manggut. "Ya udah sih itu telan dulu makanannya, kalo lo keselek gue--"
"Uhuk! Uhuk!"
"Baru aja dibilangin!" Dimas menyodorkan segelas air mineral dengan sigap. Namun sesaat kemudian, ia tertawa. "Muka lo anjir!"
Diva meneguk air itu hingga tersisa setengah gelas. "Gue keselek malah ketawa. Jahat ya lo. Kalo gue masuk ICU gara-gara keselek gimana?"
Tawa cowok yang mengenakan kaos berwarna navy itu mereda. "Lah alay. Jangan salahin gue. Muka lo tuh muka-muka yang digimanain juga bakal tetap kocak."
"Oh, gue lucu? Makasih. Gue emang lucu." Diva mesem-mesem membuat Dimas lagi-lagi nyaris tertawa.
"Lucu kayak boneka--"
"Bukan boneka santet yang pasti. Iya, gue tahu lo mau ngomong apa. Udah lah ya, gue lucunya udah overload, sampe lo susah deskripsiinnya, kan?" lanjur Diva bangga. Cewek itu mengibaskan rambutnya seraya cengengesan.
Dimas geleng-geleng kepala.
Gimana coba nih cewek kalo udah gue tinggal nanti, batin Dimas.
Dimas memikirkan 1001 kemungkinan yang dapat terjadi selagi ia pergi.
Dimas tidak takut kalau ada yang jatuh cinta pada Diva. Diva memang sangat pantas untuk dicintai. Siapa pun bisa jatuh cinta pada Diva.
Namun Dimas takut kalau-kalau suatu saat nanti Diva jatuh cinta pada orang selain Dimas. Dimas takut.
Ah, tapi apalah yang harus ditakutkan dari hal yang belum pasti terjadi? Yah, Dimas harus berpikir positif.
Tak lama kemudian keduanya melenyelesaikan sarapan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Consciente
Teen FictionIni kisah tentang Diva dan Divo yang saling menarik ulur meskipun Divo sudah memiliki pacar. Tentang Dimas dan eksistensinya yang serupa cokelat hangat di musim hujan dan es krim pasca patah hati. Tentang Dave yang menjatuhkan hatinya pada Diva yang...