Usai menyantap makan malam bakso yang amat nikmat karena dimakan oleh 2 orang cowok most wanted di SMA lamanya (mungkin di kampus barunya juga), Diva bergegas mencuci mangkuk dan membuang sampah bungkus bakso tersebut ke dalam tong sampah khusus plastik.
"Rajin banget sih lo, Div."
Diva yang baru saja membilas mangkuk terakhirnya di bawah aliran keran itu menoleh ke arah Dave yang nyelonong masuk ke dalam dapur Diva yang tampak begitu rapi karena Bunda memang tak pernah tahan melihat sesuatu yang berantakan. Dave berdiri di sebelah Diva yang sedang mengeringkan tangannya menggunakan handuk tangan. "Handuk itu baru diganti, Div? Handuk tuh kan banyak banget kumannya, Div. Harus rajin diganti, ya."
Diva terkekeh. "Siap, Pak Dokter."
Dave, kembaran Divo yang lumayan berkebalikan dengan kembarannya itu memang mengambil jurusan kedokteran. Tepatnya kedokteran gigi. Diva juga heran bagaimana bisa Dave—cowok banyak gerak dan bawel yang tampak tak pernah belajar—diterima di kedokteran gigi salah satu universitas ternama di Jakarta. Kembarannya yang kalem (yang sebenarnya lebih cocok masuk kedokteran) justru nyasar di jurusan sospol. Diva tidak mengerti lagi, deh.
"Omong-omong Dimas mana? Kan dia lagi pulang. Lo nggak ketemu dia?" tanya Dave, meremukkan mood Diva seketika. Dave yang bertanya hanya memasang tampang innocent.
Diva menatap Dave serius, lalu berlalu keluar dari dapur. Berjalan menuju ruang tamu, tempat di mana Divo menunggu. "Udah kok tadi."
"Udah? Dia ngomong apa aja, Div?"
Diva berusaha tampak baik-baik saja. "Ada, deh."
Hening sesaat menyelimuti 3 orang muda-mudi yang bersandar di sofa empuk ruang tamu.
"Serius, Div. Lo bisa cerita apa pun. Kita bakal ada buat lo."
Diva melirik Divo yang barusan berucap. Diva diam, ia membetulkan posisi duduknya. Tak lagi bersandar di sofa. Tiba-tiba saja air matanya mengalir, membuat Divo dan Dave saling berpandangan kaget.
"E-eh? Kenapa?"
Diva menangkupkan kedua belah tangannya di wajahnya, berusaha tak terlalu memperlihatkan air matanya. Ia tak berniat menangis atau mengemis kasihan, tapi sungguh—ini meluncur begitu saja. Seiring dadanya yang terasa sesak.
Dave duduk di sebelah Diva, menarik gadis itu ke dalam rangkulannya, setengah memeluknya. Ia mengisyaratkan pada kembarannya untuk mengambil air dingin di dapur, di dalam kulkas tanpa bersuara sedikit pun. Divo menurut, sedangkan Dave mengusap punggung Diva perlahan.
"Dimas?" tebak Dave yang tak ia sangka membuat tangis Diva semakin sesenggukan.
"Eh? Ng, lo bisa cerita kalo itu bisa bikin lo lebih lega. Tapi kalo lo nggak sanggup juga nggak apa-apa. Gue nggak maksa," ucap Dave dengan suaranya yang berat dan menenangkan.
Diva menyeka air matanya. "Gue kesel banget tahu nggak sih sama Dimas. Masa dia bilang kenapa gue nggak nyambut dia padahal dia baru datang—padahal yang judes duluan itu dia! Dia yang bikin gue kesel! Masa dia malah ngobrol sama si cewek hipster itu daripada gue? Emang sih dia lebih cewek dan pakai baju yang udelnya kelihatan. Terus kenapa? Emangnya gue kurang apa gitu? Gue kurang baik apa nungguin dia? Emangnya gue harus jadi hipster biar dia mau ngobrol sama gue? Gue ya gue, gue kan nggak bisa jadi kayak cewek itu. Gue tuh rasanya mau musnahin dia aja sekalian sama si doraemon yang dia kasih." Diva menyerocos panjang lebar. Semua uneg-unegnya menyembur keluar.
Dave merasa iba, namun payahnya cara Diva ngambek sekarang justru terlihat lucu dan menggemaskan di matanya.
"Hahaha."
KAMU SEDANG MEMBACA
Consciente
Teen FictionIni kisah tentang Diva dan Divo yang saling menarik ulur meskipun Divo sudah memiliki pacar. Tentang Dimas dan eksistensinya yang serupa cokelat hangat di musim hujan dan es krim pasca patah hati. Tentang Dave yang menjatuhkan hatinya pada Diva yang...