PAGI ini, setelah selesai merapikan kamar, meskipun sebenarnya tetap saja masih terlihat berantakan, aku menyantap sarapan buatan Bunda—yang sudah berangkat kerja pagi-pagi buta—di balkon.
Tidak peduli dengan sinar matahari yang terik, aku menyantap sarapanku lahap. I love eat, especially free food.
Mungkin ini karena semalam aku dan Dimas sempat mengobrol. Kami berdua membuat kesepakatan, oke, aku menyebutnya sebagai kesepakatan. Kesepakatan bahwa kami berdua akan sama-sama belajar move on.
Aku meneguk susu cokelat dari gelas. Masih memikirkan kejadian semalam. Tentang bagaimana Dimas bisa langsung membuatku tersenyum setelah aku menangis.
Dia tidak seburuk yang ku pikirkan, di samping tampangnya yang nggak cakep-cakep amat tentunya. Menurutku nggak cakep-cakep amat, tapi kenapa dia banyak yang suka, ya?
"Enak banget sarapannya?"
Aku menoleh cepat ke arah balkon sebelah, balkonnya Dimas.
"Eh, Dimas," sapaku begitu melihatnya dengan keadaan sudah segar. Rambutnya yang masih basah terlihat klimis—ralat, lepek.
Ya ampun, nih orang nggak berpikiran untuk bikin rambutnya terlihat lebih ... good looking begitua? Ternyata rumor bahwa dia cowok yang cuek dan songong 50% ada benarnya.
"Gimana, udah lega belum?" tanya Dimas.
Aku mengangguk riang sambil tersenyum lebar. "Lega banget."
Nggak juga, sih. Gapapa, biar cepat aja.
"Bagus deh kalo gitu." Dimas ikut mengangguk sambil tersenyum.
Aku berdehem. "Lo gimana? Kan lo suka sama Ara," tanyaku hati-hati. Takut membuatnya sedih juga. Yah, meskipun dia cowok yang cuek, dia kan tetap manusia; punya perasaan dan punya hati. Buktinya, dia suka Ara. Berarti dia tetap manusia normal, dong.
Omong-omong, aku sudah tahu kalau dia menyukai Ara jauh-jauh hari sebelum tadi malam karena aku punya bakat terselebung, yaitu stalking orang. Sebenarnya aku meng-stalk Ara karena sudah sempat curiga padanya, tapi aku jadi tahu sebuah fakta miris tentang hubungan Ara-Dimas.
Intinya, posisiku dan Dimas sama. Yah, mencintai tapi tidak dicintai itu melelahkan, ya.
"Gue mah gapapa." Dimas nyengir bangga sambil menepuk-nepuk dada sebelah kirinya. Yang kalau ku terjemahkan seakan dia bicara, gue mah kuat, gitu.
"Oh iya, Nyokap lo mana? Kok sarapan di situ?" tanya Dimas, kali ini dia menyandarkan tangannya di selusur balkon.
Aku tersenyum tipis. "Bunda kerja."
"Oh, emang Bokap lo kemana?" tanya Dimas lagi.
Aku bergeming. Ayah.
"Ayah gue udah pulang," jawabku singkat, lalu menghabiskan sisa susu cokelat di gelasku. Mencoba terlihat cuek dan biasa saja.
"Maksudnya? Lah, emang rumah Bokap lo dimana lagi?" tanya Dimas, untuk ke sekian kalinya. Mungkin pagi ini ia sedang mood untuk kepo.
Aku menghela nafas sabar menghadapi Dimas, kemudian tersenyum tipis. "Ayah gue udah tenang di sana."
Aku dapat melihat perubahan ekspresi Dimas secepat kilat. Dia pasti merasa tidak enak.
"Gue—"
"Gapapa kok, Mas. Sans aja," potongku cepat sambil nyengir. Aku menyuapkan sesendok nasi di sela-sela ucapanku.
Aku nggak apa-apa. Seriously. Aku sudah ikhlas.
"Sorry, gue gak tahu," ucap Dimas sambil mengusap tengkuknya, merasa tidak enak.

KAMU SEDANG MEMBACA
Consciente
Teen FictionIni kisah tentang Diva dan Divo yang saling menarik ulur meskipun Divo sudah memiliki pacar. Tentang Dimas dan eksistensinya yang serupa cokelat hangat di musim hujan dan es krim pasca patah hati. Tentang Dave yang menjatuhkan hatinya pada Diva yang...