Epilog

120 8 4
                                    

  
 
 
Setelah berperang dengan bertumpuk-tumpuk buku dan begadang sampai tak bisa merasakan betapa beratnya mata lagi, Diva akhirnya lulus SBMPTN sampai titik darah penghabisan. Cewek itu sempat kelabakan karena tak diterima di UNPAD, padahal jurusannya Antropologi. Jurusannya anak IPS. Jurusan yang kayaknya anak IPA nggak bakal kepikiran masuk sana.  Tapi ternyata, Diva justru masuk UB. Jurusan Sastra Inggris!

Diva ingat, waktu SBM kemarin ia berusaha tak melewatkan soal-soal Bahasa Inggris mulai dari yang bobotnya ringan sampai yang bobotnya membuat Diva ingin guling-guling di lantai sambil jambak-jambak kepala karena pusing memikirkan jawabannya apa. Tapi yang membuatnya lebih pusing tujuh keliling sebenarnya soal-soal Tata Negara dan Matematika.

"BUNDAAAA, SASTRA INGGRIS DI UB BUNDAAA!"

Diva jingkrak-jingkrakan di atas sofa ruang televisi. Bunda tak lagi memikirkan tentang sofa yang bakal rusak karena jadi alas Diva lompat-lompat, soalnya, Bunda ikut jingkrak-jingkrak kesenangan juga.

"ALHAMDULILLAH DOA BUNDA TERKABUL!" Bunda sujud syukur.

Diva turun dari sofa dan ikutan sujud syukur. Ia dan Bunda berpelukan. Bunda tampak terharu memeluk putri semata wayangnya. Bunda tahu betapa keras Diva belajar. Sampai-sampai kantung mata Diva menghitam. Jerih payahnya terbayar sekarang.

"Kamu mau hadiah apa? Jalan-jalan ke Jepang?" tanya Bunda excited.

Diva menggeleng. "Nggak usah mahal-mahal, Bunda. Yang penting Bunda nggak lupa kasih uang jajan bulanan rutin ya, Bun. Diva nggak mau jadi mahasiswi kere yang akhir bulan makannya indomie."

Bunda tertawa, lalu mengacungkan jempol. "Siap, bisa diatur!"

"Bun, ke Malang kapan, nih?" Diva cengar-cengir bangga sambil menaik turunkan kedua alisnya.

Bunda mengguncang-guncang pundak Diva. "Diva, ini baru awal musim perang yang baru. Nanti kamu jadi maba, mahasiswi semester 1 masih bisa santai. Kalo nanti udah ketemu yang namanya Morphology! Itu pohon-pohon gitu—percuma Bunda jelasin sekarang, otak kamu gak bakal nyampe. Pokoknya sastra Inggris nggak sesantai itu, oke?"

Diva manggut-manggut sok menyimak. "Santai dulu kenapa, Bun? Masuk aja belom udah ngomongin Morphology? Gimana kalo jalan-jalan ke Malang aja daripada Jepang?"
 
 
 

***
   

 
Langit berwarna biru cerah. Awan-awan bagai permen kapas yang melayang di langit. Suasana taman yang dekat dengan beberapa lembaga pendidikan ini sedang tak begitu ramai. Hijau sejauh mata memandang, sejuk dan udaranya segar. Diva bisa membayangkan bagaimana hawanya pagi-pagi di sini.

"Bunda mau makan, Diva mau ikut?" tanya Bunda menunjuk salah satu pedagang di pinggir jalan.

Omong-omong, Diva berada di Malang sekarang. Dan di sekitar taman tempatnya berdiri sekarang ada banyak kuliner-kuliner dengan aroma yang menggoda.

Cewek yang rambutnya dikucir ala pony tail itu menggeleng. "Diva di sini aja, mau guling-guling di rumput."

Bunda tertawa. "Ada-ada aja kamu, deh. Beneran nggak ikut?"

"Nggak, Bundooo. Udah, Bunda makan aja, oke? Diva di taman ini pokoknya. Telepon Diva aja kalo mau Diva samperin ke sana." Cewek yang mengenakan blus biru muda yang dipadukan dengan legging hitam dan sneakers itu mendorong-dorong Bundanya ke arah pedagang yang menjual bakso itu.

Bunda terkekeh. Wanita paruh baya yang mengenakan blus baige dan kulot hitam itu melepaskan tangan putrinya yang mendorong-dorongnya. "Iya, iya. Jangan nyesel ya nggak makan bakso Malang?"

ConscienteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang