8 - Dimas

198 12 5
                                    

PAGI-pagi sekali gue sudah siap berangkat ke sekolah. Masih jam setengah 6 pagi, padahal jarak dari sini ke sekolah nggak jauh-jauh amat.

"Dimas berangkat sekolah dulu, ya, Yah." Gue menyium tangan Ayah yang sedang menikmati secangkir kopi sambil membaca koran di ruang keluarga. Kayaknya kopinya enak, dah.

"Iya, belajar yang bener di sekolah ya, Mas," ucap Ayah, lalu menyesap kopi dari cangkirnya.

Gue mengangguk. "Dah, Yah. Assalamu'alaikum."

"Wa'alaikum salam," sahut Ayah sambil kembali menekuni koran paginya.

Gue berlari ke depan pagar rumah, lalu menutup pagar kembali setelah berada di luarnya.

Gue menoleh ke sebelah kanan. Seorang cewek sedang menutup pagar rumahnya juga. Eh, si Boneka Santet. Entah kenapa, dalam beberapa hari aja gampang banget menemukan nama panggilan untuk Diva. Abisnya, anaknya memang ngeselin, jadi gampang menemukan nama panggilan untuknya.

"Eh, boneka santet," sapa gue membuat cewek yang berambut pony tail itu menoleh. Seketika wajahnya berubah galak.

"Apa lo?" sahutnya. Widih, galak bener. Kayak ibu-ibu kosan yang nagih bayaran kos. Serem.

"Santai dong, Mbak," balas gue.

Diva memutar bola matanya sambil berdecak kesal. "Kalo mau bilang muka gue unyu kayak Barbara Palvin jujur aja, lah, Mas. Nggak usah jaim gitu, dong."

Apaan nih cewek, pede banget!

"Barbara Palvin? Dijah Yellow iya!" sahut gue sambil tertawa sadis. Barbara Palvin? Kayaknya muka Diva bakal mirip sama Barbara Palvin pas lebaran monyet, deh. Wajah cewek itu semakin masam.

"Ngeselin banget ya, lo. Sumpah!" Satu tabokan mendarat di lengan gue.

"Anjir!" umpat gue. Anjir, ini cewek atau kuli proyek, sih? Tenaganya gede amat. Gue nggak yakin dia bener-bener cewek. Diajakin futsal sih kayaknya dia juga bakal mau-mau aja.

"Ya elah, kalo mau modus mah bilang, Div," goda gue. Entah kenapa gue suka melihat wajah Diva saat sedang ngambek. Lucu. Apalagi kalau sedang mengomel panjang lebar. Ya, hebat aja gitu bisa ngomong sepanjang itu dalam satu tarikan napas. Gue aja nggak bisa. Soalnya gue punya peny--

"Amit-amit! Mending gue modusin Mang Ujang!" Diva mengangkat tangan kanannya, hendak menabok lengan gue lagi. Untungnya gue punya refleks yang bagus. Gue segera mundur selangkah, berhasil menghindar dari tabokan Diva.

"Gak kena." Gue menyeringai bangga.

Diva memutar bola matanya kemudian berjalan mendahului gue . Mudah menyamakan langkah dengan langkah Diva. Gue lebih tinggi daripada Diva, yang artinya kaki gue pun lebih panjang dan langkah gue pastinya lebih lebar.

***

"Dimas!" seru Natasya begitu gue memasuki pintu kelas. Dia bergegas menghampiri gue dengan langkah tergesa-gesa dan grasak-grusuk dengan sebuah buku tulis bersampul coklat di tangan kirinya. Ternyata, dia sama grasak-grusuknya kayak sahabatnya, Diva.

Iya, dia sahabatan sama adek kelas, soalnya mereka tetanggaan, yang artinya Natasya juga tetangga gue.

"Apaan?" tanya gue datar.

Natasya nyengir. "Udah ngerjain PR fisika belum?"

Pasti mau nyontek.

"Gue nyontek dong kalo lo udah ngerjain!"

Tuh, kan.

"Apaan sih, ler," ujar gue sambil berjalan ke tempat duduk gue di pojok kiri depan kelas, tepatnya di depan meja guru.

"Ya elah, pelit amat lo, Ler." Natasya masih mengekori gue. Sekarang ia justru duduk di bangku sebelah gue. "Ayolah, lo tahu kan Bu Andini galak banget ke murid yang gak ngerjain PR."

"Itu sih DL*," ucap gue sambil tertawa jahat. (*Derita Lo).

"Aaaah, Dimaaaas." Natasya menarik-narik tangan gue, memaksa gue memberikan buku PR gue untuk disalin olehnya.

"Ck." Gue berdecak sebal. Dan akhirnya, dengan berat hati mengeluarkan buku tulis Fisika. Natasya pun nyengir lebar, berterima kasih, lalu menyalin jawaban gue dengan cepat.

Dasar nggak modal.

***

Siang ini, seperti biasanya, murid-murid kelas 11 lebih berminat menghabiskan waktunya di kantin daripada di kelas. Tentu saja. Gue juga tahu betapa membosankannya berada di dalam kelas.

Tapi siang ini gue lagi pengin di kelas. Pikiran gue kembali melayang pada Ara.

Lagi apa dia? Apa jangan-jangan dia dan Divo lagi ngehabisin waktu di pojok kantin sambil makan baso Mang Tole berduaan kayak di sinetron?

Hus, kenapa gue jadi mikirin mereka. Mendingan, gue mikirin yang lain aja. Kayak nggak ada yang lebih penting aja daripada mikirin mereka.

"Dimas!" seseorang menyoba mengagetkan gue. Sayangnya, gue nggak kaget. Sudah hafal dengan kebiasaannya yang suka heboh.

Dari suaranya gue nggak mungkin salah. Ini Natasya.

"Mas, tumben gak ke kantin?" tanya Natasya sambil duduk di atas meja gue.

Gue yang duduk di atas kursi mendengus. "Turun."

"Waelah, lagi PMS ya? Galak aned sih anak mamih," goda Natasya. Dia malah terkekeh. "Omong-omong tadi gue lihat si Diva lagi makan baso Mang Tole bareng Dave di pojok kantin. Gue kira Diva lagi deketnya sama lo, soalnya beberapa hari ini gue selalu ngelihat kalian deketan gitu. Ledek-ledekan mulu."

Bukan Ara dan Divo yang makan baso di pojok kantin, ternyata malah Diva dan Dave.

Gue mengernyit. Gue? Diva? Dekat? Darimananya? HAH. Tapi... Diva bareng Dave?

"Ngapain amat," akhirnya gue berucap, setelah bingung mau ngomong apa. "Mereka bener-bener berduaan? Nggak ada temennya satupun gitu?"

Natasya mengangguk. Kemudian mengeluarkan seringai menggoda andalannya. Gue tahu apa yang bakal terjadi.

"Jangan-jangan lo mulai naksir sama Diva karena Ara jadian sama Divo, ya? Ngaku lo! Ngaku! Ah jahat lo, gak boleh gitu. Cewek punya hati juga kali, sakit lho cuma dijadiin pelarian," cerocos Natasya panjang lebar.

Gue berdecak sebal. "Amit-amit, Nat. Gak bakalan gue naksir sama Diva."

Senyum Natasya mengembang. "Ooh, bagus deh!"

Gue mengernyit bingung.

Natasya tersentak, lalu tiba-tiba menutup mulutnya. "Ups."

"Udah-udah, lupain aja."

"Gak jelas, lo," cibir gue kesal.

Natasya cengengesan. Kemudian kembali duduk ke bangkunya sendiri dan mengambil kotak bekal dari laci mejanya, lalu memakannya lahap.

Eh, kalo rasa nggak suka pas 'dia' deket sama orang lain itu bukan berarti cemburu, kan?

***

19/09/16

AN: tumben kan gue update hri Selasa? Hehehe😂 pr nya lagi ga banyak, jadi bisa update, HEHEHE😁😁

ConscienteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang