3 - Diva

299 14 21
                                    

JAM menunjukkan pukul 11 malam, tapi aku masih betah duduk berlama-lama di balkon ini. Aku menarik sebuah meja kecil di dalam kamar, dan juga sebuah kursi. Mulai sekarang, balkon adalah tempat favoritku.

Agak menyeramkan duduk berlama-lama di sini. Tapi malam ini sangat cerah. Langit biru gelap tidak berawan dihiasi bintang bertaburan dan bulan purnama yang amat cemerlang. Dingin kayak Divo, tapi nggak apa-apa.

Kok jadi bahas Divo lagi.

Kekagumanku terhadap langit malam pun mengalahkan rasa takutku terhadap hal-hal mistis yang identik dengan malam.

Omong-omong, aku sama sekali tak dapat meluapkan emosi yang ku pendam itu. Semuanya stuck di dalam pikiranku. Hanya sesak yang ku rasa, tanpa bisa ku lampiaskan.

Vo, katanya cinta itu bisa tumbuh seiring waktu. Tapi kenapa seiring perjuanganku nggak sedikit pun terbuka hatimu untukku?

Vo, katanya karma itu berlaku. Tapi kenapa kamu nggak kena karma? Ah, lagipula aku nggak tega kalau kamu kena karma. Nanti kamu sakit hati. Setelah aku ngerasain yang namanya sakit hati, aku nggak mau kamu ngerasain juga. Sebab, kalau lagi sakit hati, rasanya semuanya jadi salah di mata kita, dan itu memengaruhi pikiran banget. Rasanya sakit banget. Bukannya lebay, tapi beneran.

Divo, aku suka kamu tulus. Tanpa kamu membalas pun, aku nggak apa-apa. Tapi rasanya kali ini begitu pedih.

Ah, aku nggak bisa apa-apa. Aku bukan siapa-siapamu. Bahkan aku nggak yakin kamu sadar dengan adanya aku yang selalu ada di sebelahmu tiap kamu susah.

3 tahun terakhir ini sangat berarti untukku. Setidaknya, meski kamu tidak membalas perasaanku, aku pernah belajar perihal berjuang. Lain kali, aku tidak akan mau lagi berjuang untuk orang yang salah.

Katanya, kalau kisah cintamu tidak indah, berarti kamu salah memilih pasangan. Karena kisah cintaku ini indah—meski akhirnya kamu jadian dengan yang lain, bukan berarti aku salah, kan?

Katanya lagi, mungkin ini hanya masalah waktu dan perasaan. Karenanya, aku berusaha berbesar hati. Tak apa menangis, tak apa mengenang, asal jangan lupa jalan pulang.

Dan teruntuk kamu, semoga cepat putus ya sama Ara :) eh, salah. Semoga langgeng ya. Semoga Ara nggak nyakitin kamu. Ah, tapi dia emang cewek baik-baik. Jadi nggak mungkin nyakitin kamu.

Eh, tapi kalau cewek baik-baik nggak mungkin nikung kan, ya? EH, HEHE.

Krieettt... blam.

"SHIT!"

Aku terlonjak kaget begitu mendengar seruan umpatan seseorang dari balkon seberang yang menutup pintu balkon kasar.

Masih dengan wajah kaget, aku mengamati sosok yang ku rasa nafasnya menderu.

"Are you... okay?" tanyaku, lebih mirip seperti gumaman. Aku masih takut karena barusan dia mengumpat dengan keras. Kelihatan banget lagi ngamuk. Wajahku menjadi pucat pasi tanpa ku sadari.

Tiba-tiba cowok itu memicingkan matanya. "Lo ngapain tengah malem di luar gini? Gak takut?"

Aku terkekeh. "Nggak."

Ada yang lebih menakutkan daripada duduk di balkon sendirian tengah malam, yaitu teman yang pengkhianat.

Hmmm.

"Lo kenapa anjir tiba-tiba teriak 'shit' gitu?" tanyaku pada Dimas. Ya, cowok yang barusan mengumpat itu bernama Dimas. Dia adalah teman les sekaligus kakak kelasku di sekolah. Dan dia sekelas dengan Divo di kelas 11 IPA 2, alias sekelas dengan Natasya juga.

"Ah, nggak." Dia mengusap tengkuknya. "Oh iya, dingin lho, Div."

"Iya, kayak hatinya Divo," ceplosku. Aku menutup mulutku, keceplosan. Harusnya aku sudah tidak boleh begini, Divo sudah milik Ara. Dan aku bukan tipikal orang yang tega merusak hubungan orang.

Dimas tertawa. "Dia pacaran sama Ara, kan?"

Oh, no.

Dimas berhenti tertawa tiba-tiba. "Maaf, gue gak bermaksud—"

"Ah gak papa, lagipula perasaan gak bisa dipaksain. Kalo emang Divo sukanya sama Ara, mau diapain lagi?" potongku segera. Aku nggak mau Dimas merasa nggak enak, padahal nggak ada hal yang salah.

Keheningan menyelimuti kami berdua selama beberapa saat hingga Dimas berdehem. "Kalo lo mau curhat ke gue gak papa, gue dengerin."

Aku menautkan kedua alisku. Serius nih barusan Dimas yang ngomong? Biasanya kan dia suka sekali meledekku tentang Divo. Udah gitu biasanya meledeknya nyelekit pula.

"Gue gak maksa, kalo lo butuh aja," lanjut Dimas sambil menggaruk kepalanya.

Aku tersenyum hangat. Dimas tidak seburuk yang aku pikirkan. Aku kira dia cuma spesies cowok songong yang nggak tahu diri dan senioritas. Iya, dia songong banget sama adik kelas di sekolah.

Tapi ternyata, agak hello kitty juga. Hehehe.

"Makasih, Mas."

Dimas mengangguk. "Lo gak curhat apa-apa dan gue gak ngasih solusi apa-apa lo udah bilang makasih aja."

Aku tergelak. "Oke, gue mau curhat. Tapi lo jangan nyebar, ok?"

Dimas mengangguk. "Gue cowok kali, bukan tante ghibah."

Aku terkekeh. Dan aku mulai bercerita. Sementara Dimas menyimak dengan baik sambil sesekali memberi komentar.

"Gue suka sama Divo sejak kelas 8. Dan sekarang gue udah kelas 10. Sebenarnya gue hitung-hitung, gue suka sama dia hampir 3 tahun. Gue awalnya suka sama dia diem-diem aja. Tapi ternyata dia sadar. Dia mulai jauhin gue. Gue tetep deketin dia, bagaimana pun caranya, semampu gue.

"Gue tahu dia nggak gampang suka sama cewek, jadi kalo dia suka sama Ara berarti Ara emang cewek yang pantas. Dan gue gak bisa ngapa-ngapain. Toh, itu hati dia. Perasaan dia. Gak bisa dipaksain.

Gue sadar Divo nggak menganggap gue ada. Tapi karena itu gue juga semakin gencar nge-chat dia. Gue selalu nungguin dia selesai basket tiap hari Sabtu. Harusnya besok jadwal gue nungguin dia selesai basket, tapi..."

Aku menarik nafas, jeda sesaat. Tapi Dimas menyambung omonganku.

"Tapi Ara pasti udah gantiin posisi lo besok, dan lo berpikir gak ada gunanya lo merjuangin perasaan lo lagi? Semuanya sia-sia?"

Aku mengangguk. Dadaku mulai sesak. Bahkan aku tidak lagi berpikir untuk menahan tangisku. Jika sudah di ambang batasnya, aku sudah tidak tahan lagi.

"I love him with every broken pieces of my heart." Aku menyeka air mataku. Aku sesenggukan.

"Mending lo move on aja," ucap Dimas. Aku juga tahu aku harus move on, tapi masalahnya 'bagaimana melupakan Divo?' Susah, bego!

"Jangan mikirin caranya ngelupain cowok itu. Karena kalo move on, yang harus lo lupain itu bukan orangnya, tapi perasaannya."

Aku tercenung mendengar kata-kata Dimas.

"Iya, lo bener. Tapi gue gak bisa."

"Kenapa nggak bisa? Dia udah nyakitin lo, kalo lo bertahan, ntar dia nyakitin lo lagi."

Aku menggeleng.

"Gue gak tahu mau pergi aja, atau tetap bertahan."

Dimas tampak tercekat. Aku menunduk, menghela nafas berat. Aku menyeka air mataku.

Sungguh, ada yang lebih menyedihkan daripada saat cintamu bertepuk sebelah tangan. Yaitu, bingung untuk memilih di antara pergi atau bertahan.

Air mataku mengalir deras. Aku menangis bukan karena Divo jadian dengan Ara. Tapi karena perjuanganku selama 3 tahun terakhir ini tidak menghasilkan apa-apa, sia-sia.

***

Author note /setelah editing/

Ini cerita gue tulis pas kelas 7 dan ... ternyata alay banget, ya. Mohon dimaafkeun, hatur nuhun.

ConscienteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang