A/n: maaf kalo ada typo, ini nggak dibaca ulang, hehe. Enjoy!
***
DIVA menghela nafas panjang sambil menatap layar laptopnya yang menunjukkan lembar kerja yang kosong. Ini sudah ke sekian kalinya ia tidak mendapatkan inspirasi sama sekali. Diva memijat pelipisnya. Ia tidak ingin menelantarkan para pembacanya di tengah-tengah cerita, apalagi membiarkan cerita tersebut terbengkalai. Para pembacanya di wattpad--aplikasi untuk membaca dan menulis cerita--pantas mendapatkan ending yang memuaskan.
Tapi mau bagaimana lagi? Biasanya ada Dimas di balkon sebelah untuk bertukar ide atau hanya mengobrol biasanya. Dan candaan Dimas adalah sumber inspirasi yang paling utama bagi Diva karena entah kenapa ia sering mendapat inspirasi dari obrolannya dengan Dimas, rasanya seakan-akan ide di otaknya mengalir deras dan bisa dengan mudah ia utarakan melalui kalimat-kalimat dalam cerita.
Akhir-akhir ini, mungkin sudah beberapa hari atau mungkin beberapa minggu, Dimas jarang berada di rumah kecuali untuk tidur. Diva tahu, karena Dimas biasa sampai di rumah jam 9 atau jam 10 kurang. Diva juga tahu apa yang cowok itu lakukan hingga pulang selarut itu.
Cowok itu menjaga Ara.
Entah kenapa, rasanya dada Diva sesak menyadari fakta bahwa Dimas belum menepati janjinya--atau mungkin kesepekatan mereka berdua saat itu--kesepakatan bahwa mereka berdua akan sama-sama move on.
Coba katakan, siapa cowok yang langsung menepati kesepakatan atau janjinya? Tolong sisain 1 yang kayak gitu buat Diva!
Diva berjalan mengendap-endap menuju pintu kaca balkonnya yang tertutup, entah apa alasannya mengendap-endap, padahal ia sedang berada di kamarnya sendiri.
Oh ya, cewek itu hendak mengintip apakah pintu balkon Dimas terbuka atau tertutup. Yah, sudah terhitung lebih dari 5 kali Diva mengintip dengan tujuan yang sama. Tampaknya, kali ini dirinya sedang beruntung. Terbukti dengan pintu balkon kamar Dimas yang terbuka.
Sontak Diva keluar dari kamarnya ke balkon, kemudian berseru keras ke kamar Dimas, "Diiiimaaas!"
Krik. Krik.
Tidak ada sahutan ataupun balasan dari dalam kamar Dimas, hanya terdengar suara tembakan bersusulan yang berasal dari LCD kamar Dimas yang sepertinya sedang digunakan untuk main x-box. Diva tahu benar Dimas ada di dalam dan mendengar suaranya, karenanya ia heran kenapa Dimas tidak membalas sahutannya?
"DIMAS!" Kali ini Diva berseru sambil melempar batu kerikil yang sudah ia siapkan di dalam kamar--untuk situasi seperti ini. "Keluar, dong!"
Suara dari LCD yang ada di dalam kamar Dimas terhenti. Diva mengerling senang karena Dimas akan keluar sebentar lagi.
Benar saja, tampak Dimas berjalan ke pintu balkon kamarnya dengan wajah datar. Diva cengengesan menyambutnya.
Brak!
Diva tersentak. Ini di luar dugaannya! Kenapa Dimas malah menutup pintu balkonnya? Dengan kasar pula!
"DIMAS!" seru Diva memanggil Dimas dengan kesal. Kenapa cowok itu mengabaikannya?
"Dimas, lo kenapa sih? Jelasin ke gue! Gue salah apa sampai lo ngacangin gue? KACANG ITU GURIH, TAPI DIKACANGIN ITU PERIH, MAS! Lo sendiri yang pernah bilang gitu!" seru Diva dari balkonnya sendiri diakhiri dengan kalimat yang pernah Dimas ucapkan padanya saat Diva sedang bad mood dan ngacangin Dimas.
Pintu balkon Dimas terbuka. Diva harap Dimas akan keluar dan berkata 'April Mop!' pada Diva.
"Apaan, sih?" balas Dimas ketus. Cowok itu menatap Diva tajam sambil bersedekap.
"Lo kok marah gitu, sih? Kenapa?" tanya Diva.
Dimas memutar bola mata sambil mendengus keras sebagai balasan.
"Jelasin, Mas. Kali aja gue bisa bantu kalo lo ada masalah," lanjut Diva, "atau kalau lo kesel sama gue, lo jujur aja. Kalo dipendem yang ada lo malah nyesek, Mas."
Dimas menatap Diva tajam. Kalau tatapan bisa membunuh, mungkin Diva sudah mati sekarang.
"Lo tahu? Lo adalah alasan Ara nyakitin dirinya sendiri. Dan gue selalu benci orang yang nyakitin Ara."
Deg.
Rasanya seperti ada sebuah anak panah yang menancap di hati Diva. Seketika, ia merasa seperti sesuatu meremas hatinya, menyisakan sesak yang amat nyata.
"Kok gue? gue nggak ngerti maksud lo apa."
Dimas berdecak kesal. "Pikir aja sendiri. Oh ya, kalo lo mau bantu gue kayak yang lo bilang tadi. Tolong jauhin gue, Ara dan Divo."
Dimas pun berbalik, masuk ke dalam kamarnya. Ia menutup pintu balkon kamarnya, kemudian menutup kaca di pintu balkon dengan tirai.
Sementara itu, Diva masih bergeming di tempatnya. Ia menatap kepergian Dimas, menatap pintu balkon kamar Dimas dengan tatapan kosong.
Gue nyakitin Ara? Gue ngapain? batin Diva.
Tanpa sadar, Diva menitikkan air matanya. Ia benar-benar tidak mengerti tentang apa yang terjadi.
Kenapa selalu gue yang disalahin? Padahal dulu Ara yang nikung gue. Padahal gue jengukin dia baik-baik karena gue takut dia kenapa-napa. Tapi... kenapa gue tiba-tiba disalahin? Gue salah apa? Apa jangan-jangan Ara mikir Divo suka sama gue karena dia tiba-tiba baik ke gue? batin Diva sambil menyeka air matanya.
Gue kuat. Gue nggak boleh nangis. Gue udah biasa disakitin, kok. Gue udah biasa jadi kambing hitam buat orang-orang, batin Diva lagi.
Ia menarik nafas dalam, kemudian menghembuskannya perlahan, menghilangkan sesak dalam dadanya. Ia pun masuk ke dalam kamarnya, menutup pintu balkonnya perlahan dan menguncinya.
Setelah itu, Diva buru-buru menarik loker meja belajarnya dan menemukan benda yang ia butuhkan saat ini.
Cutter.
***
07/12/16
a/n: nah loh... Divanya malah ngambil gituan. Doain aja dia nggak kaya Ara ya:( btw, maafkan late-update lagi😢 Semoga cerita ini bisa menemani "Sabtu Malam" kalian!

KAMU SEDANG MEMBACA
Consciente
Подростковая литератураIni kisah tentang Diva dan Divo yang saling menarik ulur meskipun Divo sudah memiliki pacar. Tentang Dimas dan eksistensinya yang serupa cokelat hangat di musim hujan dan es krim pasca patah hati. Tentang Dave yang menjatuhkan hatinya pada Diva yang...