GUE meninggalkan cinema. Sementara itu Anggun memutuskan untuk pulang sendiri. Maksud gue, dia dijemput oleh supirnya.
Jujur saja, sebenarnya sejak 2 bulan terakhir, gue mulai tertarik sama Anggun. Gue juga udah memersiapkan mental jika suatu saat Ara jadian dengan orang lain.
Garis bawahi kata mulai tertarik. Ini berbeda dengan rasa suka. Gue bisa membedakan rasa kagum, suka, tertarik dan berterima kasih, kok.
Oh ya, ternyata benar. Ara jadian dengan kembaran si brengsek Dave. Maksud gue, Divo.
Tunggu, kenapa gue merasa kayak ada yang kurang, ya?
Gue menautkan kedua alis sambil mengetuk-ngetukkan ujung sepatu kanan gue di atas lantai mall. Memerhatikan sekitar, kebanyakan yang menjual makanan, serta orang-orang yang sedang menikmati makanannya dari piring dan mangkuk masing-masing. Gue bersedekap.
Ada sepasang cowok dan cewek yang berjalan berdampingan tanpa berpegangan tangan. Cewek itu menabok lengan cowok itu dengan wajah cemberut. Tunggu, sepertinya cewek itu mengingatkan gue sama seseorang.
Dan seketika itu juga gue langsung membulatkan mata sambil menjentikkan jari, mengingat sesuatu.
DIVA!
***
Sudah 30 menit berkeliling, tapi gue tak kunjung menemukan Diva. Apa sebaiknya gue pergi ke ruang informasi untuk mengumumkan hilangnya Diva? Ah, nggak. Itu lebay banget. Lagipula gue masih sanggup berkeliling mencarinya lagi.
Jangan-jangan Diva sudah pulang duluan?
Eh, tapi kan cewek Perusuh itu nggak hafal jalan. Dia buta arah pula. Darimana gue tahu? Dari binar matanya saat kami berdua tengah berada di dalam taksi. Ayah nggak ngizinin gue naik motor karena insiden waktu itu, alhasil, gue terpaksa naik angkutan umum kemana-mana.
Oh iya, mungkin cara untuk menemukan Diva adalah dengan meneleponnya. Ya, benar!
Eh, tapi gue kan nggak punya nomor teleponnya. Ah, merepotkan aja. Eh, tapi kan gue duluan yang mengajaknya jalan ke sini? Eh, sudah berapa kali gue mengucapkan kata 'eh' dalam hati? Huh, entahlah.
Gue menghela nafas panjang. Ah, sudahlah.
Gue pun memutuskan untuk berkeliling lagi. Kali ini bukan mencari Diva, tapi mencari makanan. Perut gue butuh asupan. Dasar cewek Perusuh tukang ngerepotin orang, gara-gara dia gue jadi laper. Masih untung gue cariin.
Gue membuka pintu kaca yang bertempelkan logo McDonald. Gue hendak memesan sebuah burger. Kebetulan pagi menjelang siang ini suasana McD nggak ramai-ramai amat. Hanya ada satu orang di depan gue yang lagi menunggu pesanannya. Jadi, perut gue terselamatkan.
Tak lama kemudian, pesanan orang di depan gue pun datang. Dia mengambil nampan tersebut hati-hati, dan berbalik.
Sontak, gue membulatkan mata. Dave. Itu si brengsek Dave.
"Eh, lo." Dave tersenyum miring, songong.
"Bah," cibir gue memutuskan untuk nggak adu mulut dengannya. Gue pengin memesan, tapi Dave nggak kunjung memberi jalan buat gue. "Misi, Jing."
"Ekhem. Sebelumnya gue mau bilang, ternyata bukan gue doang yang ninggalin cewek sendiri pas lagi jalan. Ternyata lo juga, hahaha."
Gue tercekat. Maksudnya apaan coba?
"Gak jelas. Minggir lo." Gue 'menyingkirkan' Dave agar memberi jalan untuk gue. Sementara si mbak-mbak yang melayani hanya mengamati kami dengan wajah bingung.

KAMU SEDANG MEMBACA
Consciente
Teen FictionIni kisah tentang Diva dan Divo yang saling menarik ulur meskipun Divo sudah memiliki pacar. Tentang Dimas dan eksistensinya yang serupa cokelat hangat di musim hujan dan es krim pasca patah hati. Tentang Dave yang menjatuhkan hatinya pada Diva yang...