6 - Modus

139 11 2
                                    

"TUMBEN lo ngajakin pulang bareng," ucap Natasya yang berada di boncengan motor Dimas. Cewek itu mengerling senang karena akhirnya cowok itu mengajaknya pulang bersama. Setelah penantian panjangnya, akhirnya harapannya terkabul.

"Emang kenapa? Rumah lo sama gue kan deket, cuma dibatesin rumah 'cewek itu' doang. Wajar gue ngajak lo pulang bareng," jawab Dimas sambil menghentikan motornya perlahan karena saat ini lampu merah. Beberapa kendaraan lain ikut menghentikan lajunya masing-masing.

Deru mesin motor dan klakson ramai di jalan raya. Keadaan kota Jakarta yang macet sudah jadi makanan sehari-hari bagi penduduknya.

"Maksud lo 'cewek itu' Diva?" tanya Natasya. Ia menyium 'bau-bau aneh' karena Dimas tidak menyebut nama Diva dengan nama melainkan 'cewek itu'. Padahal setahu dirinya, sahabatnya--yang sudah nggak dekat lagi--itu dekat dengan Dimas. Masalah apa yang terjadi sampai Dimas enggan menyebutkan namanya?

"Ah, siapa lah itu. Gue lupa namanya," balas Dimas pura-pura lupa. Rasa bencinya pada Diva dan Divo kembalu berkecamuk dalam dadanya.

Natasya tersenyum miring, sesaat kemudian ia merubah ekspresinya menjadi sepolos mungkin. "Kok lo gak nyebut namanya aja? Emang kenapa? Lagi ada masalah?"

Dimas menoleh. "Kepo lu, Kutil Badak."

Natasya sontak memukul punggung Dimas yang ada di hadapannya. "Enak aja! Lo kalo mau muji gue jujur aja, kenapa? Gak usah gengsi gitu, HAHA."

Dimas memutar bola matanya. Natasya dan sahabatnya, Di—eh, cewek itu sama saja.

Dimas pun memacu motornya lagi karena lampu lalu lintas sudah menunjukkan warna hijau. Natasya hampir jatuh kalau ia tidak punya keseimbangan yang bagus. Bagaimana tidak jatuh kalau Dimas memacu motornya dengan cepat tiba-tiba?

"Tai, lo kalo mau mati jangan ngajak-ngajak! Gue belum pacaran sama doi gue, nih!" omel Natasya.

Dimas tertawa. "Siapa yang ngajak lo mati? Bukannya lo yang pengen sendiri?"

"IH, ENGGAK YA, MAS!" Natasya menoyor helm Dimas dari belakang menyebabkan pandangan Dimas tidak fokus.

"Lo jangan rusuh napa, jir! Nyesel gue nganter lo balik. Lo kan yang bikin kita hampir mati. Coba aja gue nggak handal naik motor, udah nabrak tadi, Nat!"

Natasya cengengesan.

***

"Makasih, ya, Mas," ucap Natasya sambil mengembalikan helm yang ia pakai. Meski setahu Natasya Dimas selalu membawa 1 helm, entah darimana Dimas mendapat 1 helm lagi untuknya.

Oh, atau jangan-jangan dia memang sudah berencana mengantar Natasya pulang? Natasya senyum-senyum sendiri memikirkannya.

"Iya." Dimas mengambil helm yang Natasya sodorkan, "oh iya, omong-omong emang doi lo yang tadi lo bilang di motor siapa?"

Natasya terdiam. Ia menimbang-nimbang, lebih baik dia jujur atau tidak? Mengingat curhatan Diva yang akhir-akhir ini kebanyakan membicarakan Dimas, dirinya tahu kalau Diva sebenarnya mulai menyukai Dimas--hanya saja cewek itu memang terlalu naif untuk menyadari perasaan yang dia punya.

Dan Natasya sudah lelah berpura-pura di depan adik kelasnya yang tolol karena menganggapnya sahabat itu.

"Doi gue? Orang yang gue suka? Lo."

Dimas menatap dalam ke manik mata Natasya, bergeming sesaat setelah mendengar ucapan Natasya--yang diucapkan cewek itu dengan mudahnya seakan-akan itu hal yang amat sepele. "Lucu lo. Gue balik dulu, ya."

ConscienteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang