JAM menunjukkan pukul 11 malam, dan Diva masih belum bisa tidur. Cewek yang memakai piyama bergambar beruang yang didominasi warna pink itu memutuskan untuk beranjak ke balkon.
Diva tidak mengharapkan Dimas akan keluar menemuinya, lalu mereka berbaikan. Tidak sama sekali.
Maksud Diva, untuk apa mengharapkan hal-hal yang semu? Dimas sudah jelas membencinya. Dan semenjak insiden di rumah sakit itu, Divo gencar menghubunginya via telepon dan media sosial, namun Diva tidak pernah mengangkat telepon dari Divo, apalagi membalas pesannya via media sosial.
Lucu, bagaimana dulu Diva berjuang keras demi Divo, dan kini ketika Diva sudah tidak lagi melakukannya, semuanya berbalik.
Hawa dingin semakin menusuk Diva, terasa sampai ke tulang, namun cewek itu tidak peduli. Posisinya yang tadinya berdiri dengan tangan bertumpu di selusur balkon, kini merosot. Diva terduduk.
Kenapa Dimas membencinya? Maksud Diva, bukan keinginannya juga untuk menyakiti Ara. Malah, cewek itu yang menikung Diva duluan. Dan pada akhirnya, selalu Diva yang salah.
Mungkin gue emang ditakdirin buat selalu disalahin, batin Diva.
Diva menyibakkan anak rambut yang menutupi wajahnya karena menunduk.
Gue kangen lo, Mas. Kenapa sih lo pergi justru setelah gue mulai ngerasa sayang sama lo? Gue nyaman kalo lagi sama lo, gue nggak perlu jadi orang lain atau jaim kalo lagi bareng lo. Beda sama pas gue lagi sama Divo. Gue kangen lo, Dimas, batin Diva lagi.
Sesungguhnya, level terakut dari rindu adalah ketika kamu menangis karena merindukannya.
"Gue kangen sama lo, Mas..." lirih Diva.
Entah apa yang menyebabkannya menjadi teringat begini, Diva hanya, yah...
Merindukan Dimas.
Diva masuk ke dalam kamarnya, mengambil laptop kesayangannya. Ia pun kembali keluar ke balkon, kali ini ia duduk bersandar di tembok kamarnya, menghadap ke balkon rumah Dimas. Ia pun membuka Ms. Word dan mengetikkan sesuatu di sana.
Dear, Dimas.
Di waktu yang berbeda, malam kayak gini, lo ngehibur gue pas Divo dan Ara baru jadian. Kita berdua sepakat untuk move on. Pokoknya harus move on.
Tapi apa?
Lo masih sayang sama Ara.
Oke, di sini gue yang salah. Kenapa gue bisa sayang sama lo sampe segitunya? Rasa kayak gini bahkan lebih menyiksa daripada pas Divo ngacangin gue. Seenggaknya, Divo meminta gue move on secara baik-baik meski itu bikin gue nyesek juga.
Tapi lo tahu?
Lebih nyesek itu pas orang yang disukain benci sama lo. Dan lo benci sama gue.
Ada banyak waktu yang kita habisin bersama. Gue bahkan nggak bisa nyeritain semuanya tentang kita di cerita gue di wattpad--yang inspirasinya dari lo.
Makasih udah jadi temen les yang baik.
Makasih udah ngasih solusi move on dan 3 faktor keberhasilannya.
Makasih udah jadi orang yang tetep ada di samping gue ketika semua orang nganggep gue freak. Ketika Dave ngedeketin gue, lo ngelarang abis-abisan.
Gue bilang makasih sebanyak-banyaknya.
Dan lagi-lagi, gue harus move on.
Gue nggak bisa ngedapetin Divo kayak yang jadi harapan gue selama ini.
Gue juga nggak bisa ngedapetin lo.
Kalian berdua itu nggak terjangkau.
Mas, gue kangen sama lo. Mungkin menurut lo semua yang kita lakuin selama ini emang nggak ada apa-apanya, nggak berarti. Gue emang nggak semanis Anggun atau sesempurna Ara. Gue emang nggak ada apa-apanya kalo dibandingin sama mereka.
Tapi gue mohon lo ngerti kalo perasaan itu bukan kita manusia yang menentukan. Cuándo te das cuenta de mis sentimientos?
Gue pernah ngelewatin siklus ini. Dimana gue ngerasa perasaan gue ke Divo nggak akan pernah pudar dan gue tetep merjuangin dia.
Tapi kemudian gue sadar kalo perjuangan itu nggak selalu tentang maju dan menyerang. Tapi juga tentang diam dan bertahan.
Dan ada kalanya, yang bertahan juga bakal lelah kalau terus-terusan diabaikan.
Jadi, mulai saat ini gue bakal nutup buku lama. Gue bakal coba ngelupain semuanya. Gue bakal coba buka buku yang baru, mulai semuanya lagi.
Oh iya, satu hal lagi. Gue bingung gimana nge-akhirin cerita di wattpad kalo cerita kita udah selesai? Maksud gue, lo udah benci gue karena Ara ngelukain dirinya karena jealous Divo mulai ngejar gue.
Gue harus apa?
Seenggaknya, kita coba selesaiin dulu kisah kita. Gue nggak mau semuanya berakhir gitu aja.
Haha, konyol. Gue nulis semuanya di sini, sedangkan lo bahkan nggak sadar gue punya perasaan lebih ke lo.
Diva menyeka air matanya yang tanpa sadar turun deras begitu saja. Keyboard laptopnya sampai basah karenanya.
Kadang, Diva suka teringat kenangan yang lama. Jadinya gini, deh.
Diva terisak. Setelah sekian lama ia tak bisa meluapkan emosinya dengan menangis, akhirnya ia menangis lagi. Dan penyebabnya adalah Dimas.
"Gue kangen sama lo. Kenapa lo pergi pas gue udah terbiasa?"
Lagi-lagi Diva menyeka air matanya. Dadanya sampai sesak karena menangis. Kemudian, setelah menyimpan teks yang ia buat, Diva pun masuk ke dalam kamarnya lagi. Ia akan segera mengedit teks tersebut untuk dimasukkan ke dalam ceritanya di wattpad.
Nggak apa-apalah nggak jelas, daripada digantungin? Diva juga udah mumet banget.
Tanpa Diva sadari, seseorang mengintip Diva, mengetahui semua yang Diva lakukan sedari tadi. Mengamati dari balik pintu balkon yang tertutup rapat dan tertutup tirai.
"Kenapa lo nangis, Div?" gumam cowok itu tanpa berani keluar menghampiri Diva.
***
11/01/17
Alo, guys! Update pertama di 2017. Happy new year (telat 11 hari😂) semoga tahun ini semua wish kalian--pembaca--tercapai. Semoga juga cerita ini makin sedikit sidernya, dan kalian semakin aktif kasih vote/comment, hehe. Semoga suka chapter ini, ya. Maaf pendek:")
KAMU SEDANG MEMBACA
Consciente
Teen FictionIni kisah tentang Diva dan Divo yang saling menarik ulur meskipun Divo sudah memiliki pacar. Tentang Dimas dan eksistensinya yang serupa cokelat hangat di musim hujan dan es krim pasca patah hati. Tentang Dave yang menjatuhkan hatinya pada Diva yang...