2 - Switch

186 13 24
                                    

AKHIR-akhir ini sepertinya sedang musim hujan. Hampir setiap pulang sekolah atau sedang belajar di sekolah, hujan pasti selalu turun dengan deras. Karenanya terkadang ekstrakulikuler futsal harus meminjam lapangan basket Indoor sekolah.

Diva celingukan, kepalanya menyembul sedikit dari balik pintu kamar mandi perempuan, memastikan suasana sekolah sudah sepi dan tidak ada makhluk astral macam Dave berkeliaran.

Tekadnya untuk move on sudah bulat. Meski masih sering teringat, setidaknya rasa yang menggebu-gebu sebelumnya sudah hilang.

Nah, ternyata sudah sepi. Diva keluar dari toilet, jalannya perlahan tidak menimbulkan bunyi sedikit pun.

"Ngapain lo jalan kayak gitu?"

Mampus, ini suaranya Dave. Diva menepuk dahinya, merutuki kesialannya karena bertemu Dave meskipun sudah berusaha sekuat tenaga menghindar. Rasanya Diva kepengin melipir kabur, tapi sayangnya itu tidak mungkin. Diva tidak mungkin bertindak bodoh dan memalukan seperti itu, kan?

Meski rasanya kalau dipikir-pikir, perlakuannya pada Divo selama ini lebih malu-maluin.

"Ada semut lagi tidur, ntar dia kebangun denger langkah kaki gue," jawab Diva konyol. Alasan yang tak masuk akal memang, tapi mau bagaimana? Hanya kalimat itu yang melintas di otak Diva.

Diva menoleh, mengamati wajah Dave baik-baik. Fitur-fitur wajahnya yang sempurna.

"Apa lo lihat-lihat?"

Dari nada bicaranya, Diva kembali mengamati Dave baik-baik. Cara bicara Dave berbeda.

Astaga, ini Divo. Bukan Dave!

Diva menepuk dahinya, merutuki kebodohannya. Kenapa dia bisa tidak sadar? Biasanya ia bisa langsung membedakan antara Dave dan Divo.

Aduh feses, kenapa harus ketemu, sih? Pake muncul segala! Ngapain sih punya muka ganteng, gitu? Udah tahu gue mau move on! gerutu Diva dalam hati.

Divo mendengus. "Idiot, lo."

"Lo lebih idiot," kalimat itu menyeplos begitu saja, keliar dari mulut Diva. "Eh, sorry! Gue bercanda."

"Iya gue tahu, kok," sahut Divo masih dengan wajah datar. "Ngapain lo belum pulang? Udah jam segini."

Diva bergeming di tempat. Serius ini Divo?

Diva mengulurkan tangannya ke dahi Divo, menempelkannya. Diva agak berjinjit karena Divo lebih tinggi daripada dia. Setelah beberapa saat membolak-balikkan punggung tangannya di jidat Divo, Diva melepaskannya. Diva mengernyit. "Aneh. Lo sehat, kan?"

Kali ini Divo yang mengernyit. "Sehat, lah!" tukasnya sewot.

"Oh," kata Diva datar.

"Lo belum jawab pertanyaan gue," lanjut Divo.

"Oh iya, gue--ya gapapa, gue mood pulang jam segini aja," jawab Diva terbata-bata. Dia gak mungkin bilang kalau alasannya adalah menghindari kembarannya Divo, kan?

"Pulang sama siapa?" tanya Divo. Mereka berdua berjalan beriringan menuju lapangan parkir.

"Sendiri," jawab Diva sambil menunduk. Ia takut jantungnya akan terasa seperti sedang marathon jika ia mengobrol sambil menatap wajah Divo.

"Ya udah, gue anter ya."

Diva tercekat. Tadinya ia ingin menghentikan langkahnya sambil menatap Divo dengan wajah shock untuk menambah kesan dramatis, tapi Diva sadar, ini bukan sinetron yang biasa Bunda tonton.

"Gak mau," ceplos Diva. Tekadnya untuk move on sudah bulat.

Divo menoleh ke arah Diva yang lebih pendek daripada dirinya. "Pokoknya gue mau nganterin lo."

ConscienteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang