Belum pernah Diva merasa selega pagi ini.
Cewek yang mengenakan piyama berwarna soft green itu meregangkan kedua ototnya, beranjak dari atas kasur. Sebentar lagi masa kelas 11-nya akan segera berakhir. Terbukti dengan diadakannya prom night semalam.
Omong-omong soal prom night semalam, ada nggak sih yang penasaran apa-apa saja yang terjadi sehingga membuat Diva merasa lega? Jauh lebih lega daripada biasanya?
***
"Gue seneng banget loh, kita akhirnya bisa ngobrol berdua lagi tanpa rasa canggung," ujar Dave, membuka percakapan kembali setelah keduanya terjebak dalam keheningan selama beberapa menit.
Malam itu, meskipun langit cerah tak berawan, bintang-bintang tetap tak terlihat. Mungkin polusi cahaya. Namun tetap saja, Diva selalu senang memandangnya.
"Ah, lo. Biasa aja kali. Lagian kalo gue inget-inget ya ... anjir. Malu banget dah gue. Sumpah. Dulu tuh apa ya, drama banget! Gila, gue pengin muntahin usus gue aja rasanya kalo inget dulu," balas Diva dengan wajah yang menunjukkan bahwa dirinya benar-benar seriusan mual dengan masa lalunya.
Dave terbahak. "Iya, sih. Lagian gue konyol juga. Gue dulu sepengecut itu, Div. Gue nggak berani ngungkapin perasaan gue secara gamblang. Gue takut lo menjauh kalo gue ungkapin. Ternyata, saat itu lo bener-bener ngejauh. Bego banget nggak, gue?"
Diva terdiam. Mencerna setiap kata yang Dave lontarkan.
Tunggu.
Jadi ... waktu itu Dave sungguhan mengungkapkan perasaannya?
Diva menepuk dahinya sendiri, merutuki kebodohan terhakiki pada masa ajaran 2016/2017. Rasanya Diva ingin memaki-maki dirinya sendiri.
Selamat Diva, kamu sudah menyia-nyiakan cowok seganteng dan se-friendly Dave. Dasar bodoh.
Diva menghela nafas panjang. "Nggak. Kita berdua sama-sama bego. Sama-sama dibutain sama ego masing-masing. Gue terlalu buta untuk menyadari kalo lo beneran, sementara lo terlalu buta untuk menyadari kalo saat itu gue punya rasa yang sama kayak lo."
Dave melongo. "Sumpah? Sumpah demi apa?"
Diva manggut-manggut seraya menaik turunkan kedua alisnya.
Dave mesem-mesem seketika. "Yah. Nyesel banget nih gue. Gue baru tahu pas mau otw lulus. Gue nggak ngerti kenapa alur hidup gue harus gini ... anjir."
Diva terbahak. "Lo ngenes amat, sih. Ya udah lah, yang lalu biarkan berlalu aja. Let it flow. Lagipula gue yakin, di kampus nanti lo bakal nemu yang jauh lebih baik daripada gue. Ya, kan?"
Diva mengacungkan kedua jempolnya pada Dave yang tersenyum tipis.
Yah, andai Diva tahu bahwa Dave masih mengharapkan Diva.
"Gue masih sayang sama lo, Div."
Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulut Dave.
Cowok ber-iris mata hazel itu menatap Diva dalam. Ia tak lagi mengharapkan respon yang berarti dari Diva. Tidak juga mengharapkan Diva masih tetap memiliki rasa yang sama. Dave hanya ingin mengungkapkan. Dave tidak ingin menyesal lagi.
Diva terdiam. "Gue sayang lo juga. Sebagai temen."
Diva jahat nggak, sih? Nggak kan, ya? Please, ini Diva juga udah bingung setengah mokad mau respon apa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Consciente
ספרות נוערIni kisah tentang Diva dan Divo yang saling menarik ulur meskipun Divo sudah memiliki pacar. Tentang Dimas dan eksistensinya yang serupa cokelat hangat di musim hujan dan es krim pasca patah hati. Tentang Dave yang menjatuhkan hatinya pada Diva yang...