DIVO mondar-mandir di depan ruang UGD. Operasi sudah selesai, tapi hatinya masih gelisah. Ia merasa semakin lama Ara semakin egois. Divo tidak mengenali Ara yang sekarang. Dia baru melihat sisi lain dari diri Ara.
Yah, baru kelihatan belangnya.
Divo melirik Mama Ara yang masih dalam balutan baju kerja. Modis, kata yang tepat untuk menggambarkan penampilannya. Mama Ara melayangkan tatapan menyalahkan pada Divo. Divo semakin merasa bersalah.
Menurut Divo, hal seperti yang Ara lakukan ini bukan lagi dikategorikan sebagai suka atau pun cinta. Ini obsesi.
Drap. Drap. Drap.
Divo dan Mama Ara menoleh ke sumber suara. Mama Ara menunjukkan seulas senyum tipis. Sementara Divo melotot tidak percaya. Matanya terbelalak. Nafasnya tercekat sesaat.
"Nak Dimas!" sambut Mama Ara, memeluk Dimas seakan-akan Dimas merupakan anaknya juga.
Dimas tersenyum hangat. "Gimana keadaan Ara, Tan?" tanya Dimas. Tak bisa dipungkiri, dalam lubuk hati terdalamnya, ia masih peduli pada Ara. Dimas masih berharap.
Mama Ara dengan mata yang bengkak akibat menangis khawatir menjawab, "operasinya udah selesai, tapi dia belum siuman. Kondisinya kritis. Ara--" belum selesai bicara tangis Mama Ara meledak lagi.
Dimas mengusap punggung Mama Ara dengan pengertian. "Yang sabar ya Tante. Ara pasti kuat, kok. Ara pasti bangun. Ara pasti sembuh. Percaya sama Dimas. Tante harus yakin. Mending kita berdoa yang terbaik aja ya buat Ara."
Diva yang baru kedua kalinya bertemu dengan Mama Ara hanya berdiri dengan awkward. "Tante."
Dan Diva adalah alasan Divo menahan nafas, tercekat akan kehadirannya.
Mama Ara melepas pelukannya dari Dimas. Terdapat bercak basah di kemeja Dimas, air mata Mama Ara. "Kamu siapa?"
"Aku Diva, Tante, temen Ara yang pernah main sama Ara," jawab Diva ramah, menyalami tangan Mama Ara.
Mama Ara mendelik tak suka, dia menyentakkan tangan Diva. Diva yang menerima perlakuan itu menahan nafas, kaget. Lalu, Ia menarik tangannya lagi.
Awkward.
Bukan hanya Diva yang kaget, tapi Divo dan Dimas juga.
"Kamu yang mengganggu hubungan anak saya sama Divo! Saya gak sudi kamu main sama dia. Kamu menghancurkan kebahagiaan Ara."
Diva menahan nafas. Demi Tuhan, rasanya jantungnya seperti sedang marathon sekarang. Ia kaget setengah mati. "Ya Allah, saya gak ganggu hubungan Ara sama Divo, Tante."
"Gak usah sebut-sebut nama Tuhan. Saya gak peduli! Pergi kamu sekarang!"
Kaget, sedih dan bingung. Perasaannya tidak menentu, campur aduk. "Maaf, saya permisi kalo gitu."
Niat menjenguk Ara baik-baik ternyata malah membuahkan kesalah pahaman. Diva ingin menangis sekarang. Terlebih yang dikatakan Mama Ara sama sekali tidak benar. Selama ini, Divo selalu menghindarinya.
Tapi sesuatu yang entah kenapa membuat dadanya sesak adalah kenapa Dimas tidak membelanya sama sekali?
Dan mengapa Diva merasa sesak karena Dimas tidak membelanya?
***
Divo berlari menyusul Diva yang berjalan keluar rumah sakit. Divo sempat menabrak beberapa orang yang lalu lalang. Namun orang-orang yang berlalu lalang tidak menghiraukan mereka.
Diva menghela nafas untuk yang ke sekian kalinya. Menahan air mata yang memaksa untuk turun. Siapa yang tidak shock diperlakukan begitu?
"Div." Divo menahan tangan Diva.
Langkah Diva terhenti. Diva menoleh, wajahnya datar. Diva selalu begitu. Ia selalu bisa menyembunyikan suasana hatinya melalui ekspresi.
"Apa?" sahut Diva singkat.
"Maafin Mamanya Ara, maafin gue juga." Divo menatap dalam ke mata Diva.
Diva menahan nafas. Divo--cowok yang dingin, cuek dan diketahui sebagai orang yang hampir tak pernah mengucapkan kalimat sakti itu--barusan meminta maaf.
Diva membalas tatapan Divo, menghela nafas pelan, tapi sesaat kemudian Diva melepas tangan Divo perlahan dari tangannya. "Gak papa, kok."
Diva ingin menangis entah kenapa, padahal ia sudah biasa menerima makian yang lebih menyakitkan daripada yang dikatakan Mama Ara. Mungkin karena dituduh merusak hubungan orang. Tapi Diva tidak pernah menyangka kalau Divo akan menyentuh tangannya, sedangkan selama ini saja Divo terlihat selalu menganggap Diva hama. Atau yang lebih parahnya, kutu busuk yang tidak pantas diperhatikan.
Diva kira, jantungnya akan disco apabila ia berada di situasi seperti ini. Tapi ternyata tidak, tetap normal. Dia tidak merasakan perasaan senang tiap melihat Divo, atau hal-hal lainnya. Diva malah merasa hatinya tercabik-cabik. Entahlah, rasanya seperti ada sesuatu yang menghimpit dadanya. Sesak.
Semuanya sudah berubah rupanya.
"Lo mau kemana?" tanya Divo saat melihat Diva hendak berbalik.
Diva menahan langkahnya lagi. "Menurut lo?" balas Diva ketus.
"Pulang? Sini gue anter," ujar Divo.
Diva mendelik sebal. "Pacar lo tuh lagi sakit! Lo bukannya jagain dia malah kayak gini. Lo mau posisi lo digantiin Dimas yang sekarang lagi di dalem, hah? Setelah lo ngacangin gue bertahun-tahun demi nunggu Ara, sekarang lo malah begini? Lo gak ngerti makna perjuangan, ya? Lo harus jaga Ara baik-baik, Vo!"
Kata-kata tersebut meluncur deras tanpa bisa ditahan. Diva geram terhadap Divo. Kenapa Divo terasa seperti ... menarik ulur Diva?
Atau Diva yang menarik ulur Divo?
"Ini wujud permintaan maaf gue atas yang tadi Mama Ara bilang," balas Divo. Dia tidak peduli cewek di hadapannya sudah mengomel panjang lebar. Responnya singkat. Namun sebenarnya jantungnya mencelos mendengar kata-kata Diva.
***LIHAT, wajah Divo tetap datar. Diva menggeram sebal. Rasanya ia kepengin menangis. Kenapa Adrian Devano Putra amat membingungkan? Sifatnya sangat sulit ditebak. Diva benci situasi ini.
Dulu, saat Diva sedang benar-benar jatuh cinta pada Divo, cowok itu menghindari Diva mati-matian dan bahkan memintanya untuk move on dan menjauh.
Kini, saat Diva sudah melenyapkan perasaannya untuk Divo, cowok itu justru terasa mendekat. Menyebalkan. Maunya Divo itu apa?
"Jangan memperumit segalanya, Vo." Akhirnya Diva bersuara memecah keheningan, "lo bikin Mama Ara tambah salah paham."
Diva berbalik, meninggalkan Divo sendirian.
Diva ingin Divo menjauh.
***
22/10/16
Jeng jeng, gue update lagi setelah gantungin kalian beberapa waktu, HEHE. Mananih yang masih baca cerita ini? Wkwkwk. Enjoy! Maaf kurang panjang😂
KAMU SEDANG MEMBACA
Consciente
Teen FictionIni kisah tentang Diva dan Divo yang saling menarik ulur meskipun Divo sudah memiliki pacar. Tentang Dimas dan eksistensinya yang serupa cokelat hangat di musim hujan dan es krim pasca patah hati. Tentang Dave yang menjatuhkan hatinya pada Diva yang...