7 - Diva

203 15 7
                                    

SEBATANG pensil berwarna hijau menari-nari di atas kertas putih yang ku pakai menggambar. Aku menggambar sketsa asal-asalan. Tepatnya, sketsa wajah Divo. Sketsa wajahnya ini berbeda dengan wajah aslinya. Kalau wajah aslinya cenderung selalu datar tanpa ekspresi, di sini Divo sedang tersenyum.

Ganteng bangettt.

Oh ya, omong-omong salah satu bakatku selain menjadi penyanyi proffesional di kamar mandi adalah menggambar sketsa wajah manusia--maksudku bukan komik atau ilustrasi semacam itu, benar-benar wajah--maksudku yah, semi-reality mungkin?

Tok. Tok. Tok.

Aku menoleh ke pintu bercat putih, lalu beranjak dari kursi belajarku dan membukakan pintu. Tampak sosok Bunda dalam balutan daster yang katanya adem untuk di rumah. Penampilan saat kerja dan di rumah beda seratus tujuh puluh sembilan derajat. Super sekali.

"Eh, Bunda. Kenapa, Bun?" tanyaku, membuka pintu kamar lebar-lebar.

Bunda tersenyum menggoda. "Kamu habis darimana tadi? Jalan ke mana? Sama anak tetangga ya?"

Ya Tuhan. Bunda kok tahu aja sih? Perasaan tadi Bunda masih di butik, deh. Aku nyengir lebar. "Ke mall doang kok, Bun. Kan udah lama aku nggak ke mall."

Bunda duduk di tepi kasur. "Ya udah, gak papa. Tapi kamu jaga diri, ya. Terus jangan baper-an sama cowok, ntar kamu dibikin nangis sama mereka kalo mereka ninggalin kamu."

ASTAGA, YA TUHAN. Bunda gaul banget! Bahasanya itu, lho. Duh, berasa curhat sama sahabat sendiri kan, tuh. Bunda, Bunda... salut deh, bisa jadi apa aja buat Diva. Chef iya, dokter iya, sahabat iya, Mario Teguh bisa. Bunda bisa semua. Super sekali. Aku sayang Bunda!♡

"Iya, Bun. Tenang aja." Aku mengangguk meyakinkan. Huh, andai Bunda tahu tentang Divo. Mungkin Bunda bakal bilang, "tuh kan, makanya kamu jangan bla-bla-bla-bla." Dan pasti bakal kasih nasihat tambahan 7 hari 7 malam.

"Oh iya, Bunda abis bikin kue tuh di bawah. Kamu mau nggak?" tanya Bunda.

Pantesan daritadi aku menyium aroma-aroma menggoda. Ternyata dari daster Bunda yang sudah terkontaminasi aroma kue. Aku yakin, itu pasti kue coklat dengan topping choco cip atau nggak almond. Huaaa, pasti enak banget.

"MAUUU!" pekikku heboh, kemudian langsung ngacir menyusuri tangga yang mengantarkanku ke ruang makan. Seketika mataku dimanjakan dengan pemandangan cake cokelat bertabur almond yang amat menggoda selera. Kayaknya sih baru jadi.

Baru saja hendak menyomot satu potong, Bunda langsung menggeleng dengan wajah galak. "Jangan dulu, Div. Kamu kebiasaan, deh. Nih ya, kamu anterin dulu ke rumah sebelah. Yang anaknya baru aja jalan sama kamu tadi siang."

Aku mengernyit. "Dimas?"

Bunda mengangguk. "Udah sana cepetan." Bunda menyodorkan 1 loyang kue yang sudah dihidangkan di atas piring. Ah, menggoda iman banget sih. Omong-omong, ini artinya Bunda bikin 2 loyang. Ah, Bunda rajin banget sih.

Aku membuka pagar depan rumah Dimas. Lalu, saat sampai di depan pintu rumah bercat cokelat tersebut, aku mengetuk pintu beberapa kali.

"ASSALAMU'ALAIKUM!" seruku sambil mengetuk-ngetuk pintu rumah Dimas. Aku menunggu beberapa saat, tidak terdengar suara sedikit pun dari rumahnya. Tidak menunjukkan tanda-tanda adanya yang bakal membukakan pintu.

"DIMAAASSS!" seruku lagi. Kali ini dengan suara lebih nyaring.

Tak lama kemudian pintu terbuka. Aku nyengir lebar. Begitu dong dari tadi, lama amat buka pintunya.

"Apaan?" sahut Dimas, ekspresinya datar.

Aku menunjukkan kue buatan Bunda. "Buat lo sama Ayah lo. Semoga suka ya. Bunda gue yang bikin." Aku tersenyum tulus.

ConscienteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang