Aries beberapa kali protes atas tindakanku menghentikannya memesan ojek online. Tapi kekeraskepalaanku akhirnya memenangkan perdebatan kami malam ini. Aries tak berkata apa-apa lagi setelah aku berjanji menelepon ke rumah, mengabarkan keadaanku saat ini. Memang sih aku langsung menelepon mama setelah itu. Meskipun aku tahu dari suara mama kalau keputusanku ini tidak akan menjadi sesuatu yang 'baik-baik saja', aku tetap bersikap seolah semuanya akan baik-baik saja.
Kurang dari dua jam, motor Aries sudah bisa berjalan kembali. Dan sekarang aku sudah tiba di depan rumah. Perjalanan tidak memakan waktu lama karena memang tidak terlalu jauh. Lagipula, hari sudah malam, sehingga lalu lintas tidak sepadat tadi sore.
"Ngapain?" tanyaku heran pada Aries yang malah turun dari motor, dan melepas helmnya.
"Mau minta maaf sama nyokap lo, lah."
Aduuh. Kenapa sih dia selalu bikin masalah tambah rumit? Kalau dia melakukan itu, aku justru akan terlibat dalam masalah yang lebih besar.
"Eng... enggak usah. Tadi kan gue juga udah telpon nyokap. Dia udah tau gue bakal pulang telat, kok. Udah lo balik aja. Udah malem juga."
"Enggak bisa gitu, lah. Kan tadi gue udah janji ke nyokap lo. Gue mesti minta maaf." Ia melangkah maju. Namun segera kutahan dengan kedua telapak tanganku.
"Enggak usah. Udah pulang aja, gih. Gue bisa urus semuanya. Lo tenang aja," kataku lebih tegas daripada sebelumnya.
Namun belum sempat Aries berbalik untuk pulang, pintu depan rumahku terbuka.
"Ah. Malem, Om." Aries mengangguk sedikit untuk memberi salam.
Tentu aku jadi langsung tahu siapa yang membuka pintu meski masih memunggunginya. Aku menoleh ke belakang dan mendapati wajah papa yang berkerut heran. Ini mungkin bisa jadi lebih gawat dari yang kuduga.
"Maaf, Om. Saya telat nganter Ina. Tadi motor saya mogok di jalan, jadi kami harus ke bengkel dulu," kata Aries to the point.
Papa hanya menganggukkan kepala. Namun, kerutan di dahinya belum juga hilang. Apa yang harus kukatakan untuk mengatasi situasi super canggung seperti ini?
"Rumah kamu di mana?" tanya papa yang akhirnya membuka mulut.o
Aries pun menyebutkan daerah rumahnya yang memang tidak terlalu jauh dan bisa dicapai dalam 15 menit kalau perjalanan lancar.
"Di bengkel sampai tiga jam?" tanya papa lagi, tajam.
Aries juga tampaknya menyadari nada yang lebih terkesan menyalahkan daripada bertanya karena keingintahuan.
"Dua jam," kataku memotong. "Sisanya buat dorong motor ke bengkel."
Setelah itu aku menoleh pada Aries dan mengucapkan terima kasih dengan cepat, juga bisa berarti usiran halus agar dia tidak lama-lama berada di sini. Untungnya, dia mampu menangkap sinyal dariku dan segera pamit sebelum papa meledak lagi.
_____
"Anak sekolah macam apa jam segini baru sampai rumah!?" amuknya.
Aku sudah menduga ini yang akan terjadi. Makanya sejak awal aku tidak ingin pergi ke mana-mana. Mama juga sepertinya sudah tidak bisa membelaku. Sehingga, ia hanya memandangku dengan tatapan iba dari sofa, berharap tidak terjadi sesuatu yang tak diinginkan.
"Kan tadi udah dibilang motornya mogok!"
"Dari awal kenapa kamu keluar!? Pulang sekolah itu seharusnya di rumah!"
"Ina ngerjain tugas kelompok, Pa!"
"Kamu dibilangin malah ngelawan!?"
Ingin rasanya aku menggaruk kepalaku keras-keras saking kesalnya. "Tadi minta jawaban! Dikasih jawaban malah marah!"
"Gitu ya cara kamu ngomong sama orangtua?" sindirnya.
Dan tentu saja aku tak tahan untuk menyindir balik. "Enggak bakal gini kalau dari awal Papa ngomong ke anak enggak sambil bentak-bentak!"
"Ini rumah Papa! Justru kamu yang seharusnya jaga sikap!" teriaknya lagi.
Sekarang papa bawa-bawa soal rumah? Serius? Aku tahu pertengkaran ini tak akan ada habisnya. Namun aku sendiri tidak memiliki sifat sabar sebesar milik mama. Emosiku sangat cepat meledak, terutama jika ada orang yang mengatakan sesuatu yang benar-benar tidak masuk akal!
Fine! Kalau papa memang merasa rumah ini bukan milik bersama, melainkan rumah pribadinya, mungkin sebaiknya aku tidak tinggal di sini.
"Terus kenapa? Mau ngusir?" tantangku.
Mendengar itu, mama langsung berdiri dari sofa dan mencoba melerai kami. Tapi tampaknya itu sama sekali tidak berhasil karena setelahnya papa berkata dengan sadis, "iya! Pergi sana! Enggak ada yang butuh anak tukang ngelawan!"
Tak ada yang perlu diperdebatkan lagi. Aku mendengus marah dan segera berjalan cepat menuju kamar. Tentu saja dengan hentakan kaki yang disengaja. Dari sudut mataku, kulihat mama berusaha membujuk papa untuk mengakhiri pertengkaran kami. Namun seperti yang pernah kubilang, mama tidak punya kuasa apa-apa melawan papa.
Lagipula, kenapa sih dengannya? Apa otaknya terbentur sesuatu sewaktu dinas di Kalimantan? Rasanya setelah pulang dari sana papa benar-benar sensitif berlebihan.
Aku tak akan menyangkal kalau ada yang bilang aku ini tidak berpikir panjang. Tentu saja. Anak SMA mana yang berani memutuskan untuk meninggalkan rumah padahal dia tidak punya tempat tujuan?
Kuakui aku memang terbawa emosi. Akan tetapi, bukan berarti aku menyesal telah mengatakan bahwa aku akan meninggalkan rumah. Jujur, setelah mengatakannya, aku justru merasa lega. Kurasa memang ada yang salah dengan diriku.
Tas besar yang pernah kupakai beberapa kali untuk wisata sekolah itu berdebu karena lama tak dipakai. Aku menyingkirkan debu itu sebisanya dengan telapak tanganku. Aku berencana untuk membawa semua yang kubutuhkan untuk pergi ke Pulau Rambut seperti yang telah direncanakan oleh kelompok piket hari Kamis, tadi sore. Aku memasukkan beberapa setel baju dan pakaian dalam, makanan kecil, buku-buku yang kuperlukan, dan beberapa perlengkapan lainnya.
Memang aku tidak akan langsung pergi ke Pulau Rambut malam ini. Besok hari Jumat dan aku masih harus pergi ke sekolah. Jadi aku berencana untuk menginap di rumah salah satu temanku—mungkin Sasa—dan pergi ke Pulau Rambut lusa. Aku dan kelompokku akan menginap semalam di sana untuk melakukan penelitian. Berarti paling tidak, tiga malam ke depan aku tidak perlu memikirkan tempat tinggal. Aku akan memikirkan rencana selanjutnya nanti.
"Kamu mau ke mana?" tanya mama di pintu kamarku. Tentu dengan nada yang sangat khawatir.
"Pergi. Kan disuruh pergi sama papa," kataku menjawab pertanyaannya dengan nada yang datar.
"Iya, ke mana?" tanya mama lagi.
"Enggak tahu," kataku seraya menyantelkan ransel besar yang telah siap itu di punggungku.
Aku tahu seharusnya tidak menjawab seperti itu karena akan membuat mama lebih khawatir lagi. Tapi aku tidak ingin membocorkan rencanaku sekarang. Biarlah mereka berpikir aku benar-benar pergi dari rumah. Dalam hati, aku berharap—meski kemungkinannya kecil—papa menyesal dan meminta maaf padaku setelah sadar aku benar-benar meninggalkan rumah.
Aku sadar kalau aku dan papa sama egoisnya. Kami hanya melakukan apa yang memuaskan kami berdua. Papa dengan omelan-omelannya yang tak masuk akal. Ya, kurasa dia memang tak membutuhkan jawaban apa pun. Dia hanya ingin menumpahkan kekesalannya pada seseorang, siapa pun itu. Dan aku tak peduli apa alasan di baliknya. Karena, apa pun alasannya, dia tidak berhak berlaku seperti itu. Sementara aku berbuat sesukaku dan mengambil tindakan ekstrem untuk benar-benar pergi dari rumah. Kalau saja aku tidak keras kepala, pasti aku akan lebih memikirkan mama yang berada di tengah-tengah kami. Tapi sayangnya, saat itu aku terlalu emosi untuk berbuat demikian.
Mata mama mulai berair. Dan sejujurnya aku ingin tetap berada di sini agar beliau tidak khawatir. Namun saat itu keinginanku untuk melangkah ke luar rumah begitu tinggi. Dan dengan terpaksa aku mendekat untuk memeluk mama. Aku mendekatkan bibirku ke telinganya dan berbisik, "nanti Ina telepon."
Dan air mata mama pun mengalir.
BERSAMBUNG....
Maaf lama...
Berat nulis ini, asli...
Saya lemah banget nulis angst
KAMU SEDANG MEMBACA
CLBK (Cinta Lama Belum Kelar)
Novela Juvenil"Kalo cowok suka ngisengin lo, itu berarti dia suka sama lo, Na!" Aahh... Teori!! Sasa pasti kebanyakan baca komik! Keisengan yang dilakukan Aries bukan keisengan biasa. Kayaknya anak itu memang ada dendam pribadi padaku! Memangnya kalau suka, bak...