++15 Tanpa Tempat Tujuan

788 56 7
                                    

"Lo kabur kabur dari rumah!?" seru Sasa tak percaya.

"Ssst! Berisik! Gue enggak kabur, tapi diusir." Aku membenarkan persepsinya.

Sasa tidak mengatakan apa-apa setelahnya. Karena tampaknya dagunya tertarik ke bawah dan tidak kembali ke posisi semula selama beberapa detik. Mungkin baru kali ini dia mendengar kisah seorang anak yang diusir dari rumah, tapi nada bicaranya begitu datar seolah hanya akan pergi menginap di rumah teman. Kenyataannya memang aku sedang menginap di rumah teman, sih. Atau mungkin memang baru kali ini ia mendengar kisah anak yang diusir.

Aku tak bisa menyalahkannya. Tentunya aku juga tak pernah menduga bakal diusir dari rumah. Cerita-cerita seperti itu hanya ada di film. Ya, sebelumnya kupikir begitu. Saat merasakannya sendiri, rasanya memang cukup sakit. Namun tidak cukup membuatku jatuh putus asa dalam sekejap. Aku bersyukur memiliki ketahanan diri yang cukup kuat dan selalu berpikir tiap masalah pasti ada solusinya. Kuncinya adalah, tidak buru-buru panik dan berusaha memandang sesuatu dengan kepala dingin. Sejujurnya, itulah sebabnya aku cepat memutuskan untuk keluar dari rumah. Berada sedikit lebih lama saja di rumah bersama papa, akan membuat otakku semakin panas dan sama sekali tidak bisa berpikir.

"Terus, pulang dari Pulau Rambut lo mau ke mana?" tanya Sasa dengan nada kekhawatiran yang mirip mamaku.

Aku mengangkat bahu. "Belum tahu. Lihat nanti."

Sasa menggelengkan kepalanya tak percaya. "Gue enggak bisa nampung lo di rumah gue seumur hidup, Na."

Aku mengerutkan dahi. "Gue tau. Tenang aja, pasti nanti ada jalan," kataku setengah percaya diri setengah berharap keajaiban.

____
Hari itu aku menjalani kegiatan sekolah seperti biasa. Tak akan ada yang mengira kalau aku baru saja diusir dari rumah dan kini tak punya status tempat tinggal yang jelas. Dan seperti hari-hari lainnya, aku banyak menghabiskan waktu istirahat di perpustakaan. Saat sedang khusyuk membaca buku, handphoneku bergetar, menandakan pesan masuk.

Tirta:

Mbak, di mana? Mama nanyain...

Astaga, aku lupa memberi kabar pada mama!

Segera saja aku keluar dari perpustakaan dan mencari tempat yang agak sepi untuk menelepon mama. Tak perlu waktu lama bagiku menunggu mama mengangkat telepon. Dan aku pun mengatakan di mana aku tidur semalam dan rencana tugas kelompok esok hari. Kini mama tahu kalau aku memang tak akan pulang hingga lusa.

Aku juga mengatakan bahwa sebenarnya aku tidak berniat benar-benar keluar dari rumah dan meninggalkan mama. Aku menduga kemarahan papa kemarin itu hanya ledakan emosi sementara. Namun aku ingin memberinya sedikit pelajaran bahwa ledakan emosinya itu bisa membuat semuanya kacau. Sehingga aku benar-benar pergi dari rumah untuk melihat reaksinya.

Mama bilang padaku kalau beliau sedang berusaha membujuk papa untuk minta maaf padaku. Namun sepertinya tidak berhasil. Karena setelahnya, beliaulah yang memintaku pulang dan meminta maaf pada papa. Dan aku tak yakin mau melakukannya.

"Ina usahakan," kataku sebelum menutup telepon dari mama.

Akan kupikirkan masak-masak apa tindakan yang harus kulakukan saat pulang nanti. Kalau pun aku memutuskan untuk pulang dan minta maaf, itu hanya karena aku tidak ingin menyusahkan mama. Tapi entahlah. Semoga ada cara yang lebih baik daripada meminta maaf dengan tidak tulus.

___
"Ada masalah?" tanya Kak Cherry ketika melihatku masuk kembali ke perpustakaan. Kebetulan hari ini ia ditugaskan lagi menjaga tempat keramat para kutu buku ini karena Bu Ninda sedang tidak masuk.

"Enggak." Aku menggelengkan kepala, pura-pura tidak paham apa yang ditanyakan Kak Cherry.

"Muka lo terlalu kusut buat orang yang lagi enggak ada masalah," katanya lagi dengan nada datar. Tangannya masih cekatan menyortir kartu-kartu peminjam buku.

Aku tidak menunjukkan padanya ekspresi terkejut atau apa pun. Kak Cherry bukannya peka, tapi memang ekspresiku saja yang terlalu mudah ditebak. Jadi, akhirnya aku menarik bangku ke meja peminjaman dan duduk persis di hadapannya, lalu berkata "Ina diusir dari rumah. Menurut kakak Ina harus ngapain?"

"Pfft!" Kak Cherry mencoba menahan tawanya karena sadar ia masih berada di perpustakaan. Menahan tawa seperti itu saja sudah membuat pengunjung perpustakaan menoleh pada kami dengan wajah penasaran.

"Kalau mau bohong, yang meyakinkan dikit dong..." Ia melambaikan tangan kanannya di depan wajahku, seolah mengusir angin dari sana.

Aku diam saja. Yah, ini memang kenyataan yang sulit dipercaya, sih. Tapi aku tak bisa menahan sedikit rasa kecewa karena dianggap sedang bercanda oleh orang yang kusuka.

"Oke, seandainya emang bener lo diusir dari rumah. Terus lo mau gimana?"

Aku mengerutkan dahi. "Lah, kan Ina yang nanya? Kakak berperan jadi orang yang ngasih solusi, dong. Kalau Ina yang jawab jug amah, ngapain juga nanya dari awal?"

Kak Cherry menggaruk kepalanya dengan canggung. "Benar juga. Gimana, ya?" kata Kak Cherry yang balik bertanya lagi. Gimana sih?

"Kakak kan lebih senior, kasih saran yang pas dong buat juniornya," kataku mencibir.

"Ya gimana? Gue kan enggak pernah diusir dari rumah..."

"Ya enggak semua saran harus didapat dari orang yang punya pengalaman sama kan, Kak? Siapa tahu saran dari orang luar malah lebih bagus karena bisa berpikir dengan kepala dingin."

Kak Cherry menatapku dalam-dalam. Tampaknya dia tak bisa membantah kalimatku barusan.

"Oke. Tapi sebelumnya harus ada alasan kenapa bisa diusir dari rumah, dong. Kalau ternyata lo ngabisin stok makanan buat setahun kan wajar aja diusir."

Aku tertawa lepas. Seingatku baru kali ini aku bisa tertawa lagi sejak kejadian kemarin.

"Anggap aja alasan sepele. Gue pulang kemaleman karena enggak dapet angkot misalnya," kataku kemudian.

Kali ini Kak Cherry yang mengerutkan dahi. "Enggak logis, ah. Mana ada diusir gara-gara masalah gituan."

"Kan misaaall... Kalau begitu kejadiannya, gimana?" tanyaku sedikit memaksa.

"Hmm..." Kak Cherry menangkupkan kedua tangannya di depan dada. "Hmmm..."

Tampaknya dia berpikir keras sekali, aku jadi kasihan.

"Kalau gue sendiri yang digituin, mungkin gue enggak bakal pulang dan nyari tempat tinggal lain," tuturnya akhirnya.

"Di mana misalnya?"

"Rumah temen? Rumah saudara? Masjid? Gue cowok, sih. Jadi bisa tidur di mana aja," ujarnya santai.

Aku mengangguk-angguk dan mengalihkan pandanganku ke tembok di belakangnya. Sesaat, benakku melayang memikirkan jawaban dari Kak Cherry.

"Na...Ina..." Panggilan itu membuyarkan lamunanku.

"Lo... Serius, ya?" tanya Kak Cherry yang kali ini menampakkan ekspresi khawatir di wajahnya.

Aku tersenyum. "Enggak, lah!"

"Udah ya, Kak. Sebentar lagi bel masuk."

Dengan segera, aku keluar dari perpustakaan,memakai sepatu, dan meninggalkan Kak Cherry yang sepertinya masih terus menatappunggungku. 

BERSAMBUNG...

CLBK (Cinta Lama Belum Kelar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang