Farie PoV
Sebenarnya aku benar-benar ingin marah. Saking marahnya, aku bisa saja meledak dan mengeluarkan sederet kata-kata makian dari mulutku detik ini juga. Tapi di detik yang sama, ada perasaan senang dan bahagia yang tiba-tiba merasuk dalam tubuhku. Ini karena akhirnya aku bisa bertemu lagi dengannya setelah Sembilan tahun berlalu. Perasaan kesal yang bercampuraduk dengan perasaan bahagia ini membuatku bingung harus bersikap apa.
Pada akhirnya aku justru mengeluarkan kata-kata dengan nada sedingin mungkin, "Mau kabur lagi?"
Ya, aku memang sengaja membuatnya merasa bersalah.
____
Meski sembilan tahun telah berlalu, aku merasa tak banyak yang berubah dari diri Nina. Pertemuan yang tidak terduga di dalam lift kumanfaatkan untuk memperhatikan dirinya dari atas hingga ke bawah. Rambutnya yang pendek kini tumbuh lebih panjang sedikit dari bahu, dan ia ikat ke samping kanan. Ia pun memakai make-up tipis yang sebelumnya sama sekali belum pernah kulihat, sebab aturan sekolah kami memang cukup ketat soal itu. Tapi aku tidak yakin kutu buku seperti dia akan repot-repot memakai make-up juga, sih. Terakhir, tentu saja dia memakai pakaian kerja yang rapi seperti karyawan pada umumnya. Atasan kemeja berwarna biru pastel bergaris putih serta celana bahan berwarna beige. Bedanya, ia tidak memakai high heels, melainkan sepatu kets yang tampak cukup nyaman. Sepertinya kantornya memang bukan kantor yang terlalu kaku sehingga memperbolehkan karyawannya berpenampilan demikian.
Aku memperhatikan perubahannya cukup detil, hingga anting-anting yang ia pakai. Harus kuakui dirinya yang telah tumbuh dewasa kini jauh lebih menawan. Dan aku kesal.
Ke mana saja aku selama ini!?
Yang lebih mengesalkan lagi, posisi Nina saat ini yang benar-benar merapat ke tembok dan terlihat ketakutan. Memangnya dia sedang melihat setan atau apa, sih!? Dari dulu selalu saja begitu. Dulu tampangnya selalu terlihat benci dan sebal saat berhadapan denganku. Sekarang malah ketakutan. Kenapa sih dia tidak bisa biasa-biasa saja di depanku?
____
Terlalu banyak hal yang ingin kuperjelas dengannya, dan untuk melakukan hal itu tentu saja lift bukanlah tempat yang tepat. Jadi—secara harfiah—aku menyeretnya ke salah satu café dalam gedung yang berada di lantai yang sama.
Hal pertama yang ingin kuperjelas adalah soal cerita dalam novel yang ia tulis. Apakah itu seratus persen dari kisah nyata, atau—
Yah, aku bisa memastikan bahwa cerita di mana ada Aries—yang jelas-jelas diambil dari nama asliku—adalah kisah nyata. Tapi aku tidak tahu kadar keaslian kisah yang lain. Dan ini benar-benar mengusik pikiranku.
Namun setelah mencoba mengorek sedikit info, Nina malah menuduhku ingin meminta royalti. Seharusnya aku marah. Seharusnya meja di depanku ini sudah terbalik.
Tapi aku menahan diri.
Melihat tampangnya yang merasa benar-benar bersalah, membuatku ingin memanfaatkannya sekali lagi. Dan ketika melihatnya benar-benar memesankan semua makanan dan minuman yang kumau, diam-diam aku tertawa. Ini tidak beda jauh dari kejadian waktu SMA dulu. Walaupun, sejujurnya aku sedikit menyesal atas tindakanku yang agak keterlaluan waktu itu.
Ya, aku mengaku kalau aku tahu buku PR fisikanya terselip di buku PR-ku. Namun waktu itu aku tidak langsung memberitahunya hingga akhirnya ia keburu menerima hukuman dari Bu Ami. Dan itu benar-benar terlihat sakit. Dan tadinya kupikir dia tidak akan semarah itu. Tapi saat sadar kalau ia sama sekali tidak memberikan respon apapun padaku setelah kejadian itu, aku tahu aku benar-benar telah mengacau.
Dan, tidak digubris itu rasanya lebih sakit daripada harus kena marah darinya seperti biasa. Oleh karena itu, meski memakai cara yang agak ekstrim, aku berhasil memaksanya untuk memaafkanku. Yah, kalian tahu cerita lengkapnya. Walaupun kemarahannya semakin menjadi saat diganggu oleh celotehanku sepanjang jalan, toh akhirnya aku tetap dimaafkan.
Sepanjang cerita dalam novelnya, Nina selalu menempatkan diri sebagai korban dari kejahilanku. Asal kalian tahu, kejadian aslinya justru sebaliknya.
Akulah korban dalam kisah ini.
Siapapun yang sudah membaca novelnya, harusnya paham betapa BOLOTNYA karakter Ina yang lahir dari karakter si penulis sendiri.
Padahal aku sempat senang karena akhirnya dia mau menerima tawaran traktiran dariku. Eh, ujung-ujungnya malah asyik sendiri ngobrol sama Cherry. Aku juga sempat merasa berbunga-bunga saat ia memberikan hadiah—walaupun pulpen adalah hadiah yang receh banget. Tapi ternyata itu hanya rasa terima kasih karena tanpa disadari, aku justru membantunya menjadi juara dua lomba maraton. Harusnya aku dapat penghargaan yang lebih dari sekadar pulpen, kan?
Dan yang paling mengesalkan dari semuanya adalah karena dia benar-benar tidak bisa mempercayaiku untuk berbagi cerita. Dan itulah yang membuat urusanku dengannya tidak selesai-selesai sampai sekarang. Kenapa sih dia lebih suka menyimpan masalahnya sendiri?
____
"Kesel? Kalo kesel bilang aja," sahutku padanya yang tampaknya tidak terima akan perlakuanku.
"Gimana gue nggak kesel kalo tiba-tiba lo dateng terus meras gue?" jawabnya ketus.
"Huh. Ini mah nggak ada apa-apanya dibanding keselnya gue ke lo. Seenggaknya tanggung jawab lo berkurang dengan nraktir gue," ujarku acuh.
Nina terdiam memdengan ucapanku. Tampaknya ia tak tahu respon apa yang harus ia keluarkan. Merasa bersalah juga rupanya dia.
"Lo... kenapa, sih?" tanyanya kemudian dengan nada rendah.
Ia akhirnya mendapatkan perhatianku lagi setelah aku mengalihkan pandangan darinya sejak beberapa detik yang lalu.
"Maksud lo?"
Nina mengangkat bahu. "Ya... gue nggak ngerti... Apa urusan lo sama masalah keluarga gue sampe gue harus cerita? Gue pernah bilang, kan. Harusnya lo justru seneng karena nggak gue libatin."
Nah, sudah kubilang dia ini BOLOT.
Aku menghela napas panjang dan keras. Kapan sih dia bisa paham kalau aku khawatir? Bagaimana dia bisa tenang saat tiba-tiba diusir dari rumah? Bagaimana dia bisa biasa-biasa saja saat harus kehilangan harta dan rumahnya? Bagaimana dia bisa santai saja saat harus berhenti sekolah dan masa depannya jadi tidak jelas?
Sebelum membaca novelnya, aku bahkan tidak bisa menebak masalah apa yang menimpanya. Tahu-tahu saja dia menghilang. Dia benar-benar jago menyembunyikan masalahnya.
Tidakkah sekali saja ia ingin menangis saat menghadapi kenyataan hidup yang menimpanya?
Dibanding kesal karena dia tidak cerita apa-apa, mungkin aku lebih kesal pada diriku sendiri yang tidak ada di sampingnya saat masa-masa tersulitnya. Yah, aku sudah berusaha terlibat, sih. Tapi dengan wajah tak bersalah, dia justru mendorongku keluar dari 'area'nya. Rasanya menyakitkan.
Belum sempat aku menjawabnya, perhatianku teralihkan oleh jari-jemarinya yang bersih tanpa satu aksesoris pun. Cincin itu...
Cincin kupu-kupu itu...
Tidak ada!
Apa itu artinya...
"Na, balik ke kantor lo sebentar, yuk." Aku berdiri tanpa aba-aba dan menarik tangannya untuk ikut berdiri, lalu menariknya kembali ke arah lift tempat kami berdua bertemu.
"Lo mau ngapain sih ke kantor gue?" serunya kesal.
Aku menoleh ke belakang dengan cepat, memandang langsung kedua bola matanya. "Ngasih salam ke bos lo..."
____
Menemui Cherry lagi rasanya seperti menemui musuh bebuyutan. Terlebih, pernyataan provokatifnya soal kejadian yang ditulis Nina di akhir novelnya.
Aku masih belum tahu kejadian di akhir novel itu benar-benar terjadi atau tidak. Yang jelas, Nina tidak memiliki cincin kupu-kupu sialan itu dan Cherry juga sudah memiliki cincin lain yang tersemat di jari manisnya. Setidaknya, sekarang status dia sudah 'out of question'.
Denganfakta yang kupegang itu, aku—lagi-lagi—menarik Nina sesegera mungkin keluardari kantornya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLBK (Cinta Lama Belum Kelar)
Teen Fiction"Kalo cowok suka ngisengin lo, itu berarti dia suka sama lo, Na!" Aahh... Teori!! Sasa pasti kebanyakan baca komik! Keisengan yang dilakukan Aries bukan keisengan biasa. Kayaknya anak itu memang ada dendam pribadi padaku! Memangnya kalau suka, bak...