++20 Makasih

785 51 10
                                    

Pupil mataku membesar karena kaget mendengar pengakuannya. Benarkah dia mengatakan kalau dia temanku? Sulit dipercaya. Terutama setelah apa yang sudah dia lakukan padaku. Menurut logika sih seharusnya kami ini musuh satu sama lainnya. Tapi kenapa? Kenapa aku merasa ada secercah rasa bahagia yang merasuk ke dalam tubuhku? Apa ini artinya aku juga menganggap dia sebagai temanku?

Saking bingungnya, aku sebenarnya berniat mengajukan pertanyaan beruntun 'Apa? Siapa? Kapan? Di mana? Kenapa? BAGAIMANA BISAAAAA!?'

Tapi itu tidak jadi kulakukan karena Aries tiba-tiba berdiri dengan wajah tegang dan mencengkram pergelangan tanganku kuat-kuat. Aku juga tidak sempat bertanya ada apa karena Aries menyuruhku diam dengan isyarat telunjuk yang ia tekan di depan bibirnya.

Aku mengikuti sarannya karena sepertinya itu tanda bahaya. Aku memang mengunci bibirku rapat-rapat. Tapi dengan gerakan pelan, aku mengikuti arah pandang Aries yang tampaknya melihat sesuatu yang mengerikan di belakangku.

Apa? Beruang? Singa? Macan? Babi Hutan? Ular? Atau jangan-jangan... hantu?

Aku menoleh ke belakang dan mendapati biawak yang tadi kukejar masuk hutan sedang menatap kami dalam diam. Jangan tanya kenapa aku bisa tahu kalau itu memang biawak yang membuatku tersasar malam-malam di hutan. Insting.

Badanku memang diam tak bergerak. Tapi perlahan-lahan, aku merogoh HP dari saku celana, dan dengan cepat mengubahnya ke mode kamera. Hanya butuh dua detik sampai aku menekan tombol untuk mengambil gambar. Setelah membuatku kesusahan sampai tersasar seperti ini, memangnya kau kira aku akan membiarkan kesempatan langka ini lepas begitu saja? Enak saja!

'KLIK!'

Berhasil!

"AWAS!" Aries berteriak dan menarik lenganku yang bebas untuk mundur beberapa langkah.

Meski masih dikuasai rasa kaget, aku selamat karena biawak itu hanya menggigit udara kosong. Terlambat sedikit saja, pasti kakiku yang jadi sasaran.

"Lari!"

Tanpa perlu diberi aba-aba yang kedua kalinya, aku sudah ngacir mendahului Aries yang tampaknya membiarkanku lari di depannya. Kami berdua lari sekuat tenaga. Dan percaya atau tidak, biawak itu berlari lebih cepat daripada buaya. Padahal buaya saja sudah cepat meski secara logika harusnya larinya lambat.

Kami sempat berlari secara zig-zag untuk mengecoh biawak itu. Namun cara tersebut sia-sia karena jarak lari kami justru tak sejauh kalau berlari lurus biasa.

"Na! Panjat pohon di depan!" teriak Aries dari belakangku.

Aku melihat pohon yang cukup besar dengan banyak cabang di batang utamanya. Sejujurnya aku sedikit meragukan cara itu karena menurut teori, biawak itu bisa memanjat pohon. Tapi saat ini kami tidak punya pilihan lain. Jadi aku segera mencari pijakan demi pijakan di batang pohon itu dan mulai memanjat naik. Untung aku punya pengalaman panjat pinang sewaktu lomba tujuh belasan. Memanjat pohon berbatang kasar seperti ini bukan masalah.

Selagi memanjat, aku sempat melihat ke belakang dan mendapati Aries yang berusaha menghalau biawak itu dengan ranting kayu. Dia memberiku waktu yang cukup untuk memanjat cukup tinggi.

"Naik, Ries!"

"Sebentar!" teriaknya balik.

Ia menggunakan ranting itu untuk menyerang mundur biawak yang sudah marah itu. Biawak itu terbalik. Ia menggerak-gerakkan keempat kaki serta buntutnya dan berusaha untuk bangkit kembali. Aries memanfaatkan waktu yang singkat itu untuk berbalik dan berlari ke arah pohon yang kupanjat.

"Tangkep, Na!" teriaknya seraya melempar ranting kayu yang ia pakai.

Aku menangkapnya tanpa kesulitan berarti. Kemudian mengacungkan ranting itu ke bawah, berjaga-jaga kalau biawak itu keburu bangkit dan memanjat pohon ketika Aries sedang memanjat.

CLBK (Cinta Lama Belum Kelar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang