Para penagih hutang itu sebenarnya tidak berbadan besar dan bermuka gahar layaknya sinetron-sinetron yang menghiasi layar kaca. Kedua orang itu justru tampak biasa-biasa saja, dengan pakaian kasual yang biasa pula. Namun tetap saja, keduanya memiliki wajah yang keras seolah memberi isyarat pada semua orang untuk jauh-jauh dari mereka jika tidak memiliki urusan penting.
"Kenapa mereka di sini, ya?" bisikku.
"Itu artinya mereka belum dapat uangnya," Kak Vin mencoba beranalisis.
Aku mengangguk paham. Itu juga berarti mereka belum berhasil menemukan papa. Dan selama papa belum ketemu, keberadaan kami juga dalam bahaya. Sejujurnya aku tidak ingin berpikiran jahat seperti ini, tapi aku benar-benar berharap papa tertangkap supaya keluargaku aman. Bukankah ia harus mempertanggungjawabkan apa yang sudah ia perbuat? Sejak mendengar kenyataan mengenai apa yang telah papa perbuat, aku sudah tidak merasa memiliki hubungan lagi dengannya. Ayah macam apa yang membuat keluarganya kesulitan seperti ini? Terlebih lagi, bukannya mengakui kesalahannya sejak awal pulang ke rumah, dia justru menumpahkan kemarahannya pada semua anggota keluarganya, termasuk aku. Belum cukup sampai di situ, sekarang ia juga kabur dan lari dari tanggung jawab. Kurasa, sampai kapanpun aku tidak bisa memaafkannya.
Bahuku berjengit begitu Kak Vin menyenggol lututku. Dari kejauhan, kami bisa melihat kalau kedua penagih hutang itu berjalan ke arah kami. Ini gawat. Mereka pasti bisa mengenali wajah kakakku. Dan ada kemungkinan mereka tahu wajahku juga. Aku kan tidak tahu informasi apa saja yang sudah berhasil mereka peroleh selain alamat rumah kami.
"Jangan bergerak," bisik Kak Vin.
Aku melirik sekilas ke arah mereka. Kak Vin benar. Tampaknya kami tidak perlu bergerak karena mereka tidak terlihat seperti menyadari keberadaan kami. Mereka melihat sekeliling hanya untuk mencari tempat duduk.
Dan kenapa mereka harus duduk di meja sebelah kami, sih!
Nasib sial selalu mengikuti ke mana pun aku pergi, sepertinya.
Kak Vin tidak kehilangan sikap tenangnya. Sementara aku mulai gelisah dan menggerak-gerakkan lututku ke atas dan ke bawah.
Dua orang itu mulai mengobrol hal-hal yang sulit kami mengerti. Aku tidak bisa menebak siapa-siapa saja yang mereka bicarakan. Klien-nya, kah? Atau jangan-jangan korbannya yang lain? Tapi sejauh ini mereka belum membuka mulut mengenai hutang ayahku. Sampai...
"Ngomong-ngomong, sampai kapan kita harus menunggu di daerah ini?" tanya salah seorang dari mereka yang berambut agak gondrong dan memakai topi.
Temannya, yang memakai kalung rantai norak ala preman, menjawab. "Entah. Bos nggak bilang. Mungkin klien dia senewen karena orang itu kabur. Bahkan sekarang kita juga nggak bisa nagih uang itu ke keluarganya yang juga hilang entah ke mana..."
"Lagian siih... Harusnya waktu pertama datang ke rumahnya itu, langsung ancem aja. Tagih. Paksa kayak biasa."
"Waktu itu kita belum tau situasinya, bos. Lagipula orang yang kita cari juga nggak ada di rumah itu. Makanya gue sama yang lain cuma nagih surat rumah aja."
Obrolan mereka membuat jantungku berdegup keras. Apa yang bakal mereka lalukan seandainya mereka tahu kalau keluarga orang yang mereka cari ada di belakang mereka? Aku tidak bisa membayangkan sejauh itu.
Aku melirik Kak Vin yang berwajah datar dan memandang ke luar café tanpa ekspresi. Tangan kanannya tidak lepas dari gelas kopi yang ia pesan. Sesekali ia menyeruput kopi itu sedikit-sedikit, tanpa mengalihkan pandangannya dari dinding café yang terbuat dari kaca. Dari sikapnya itu, aku tahu ia juga tegang, namun berusaha mati-matian untuk menyembunyikannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
CLBK (Cinta Lama Belum Kelar)
Teen Fiction"Kalo cowok suka ngisengin lo, itu berarti dia suka sama lo, Na!" Aahh... Teori!! Sasa pasti kebanyakan baca komik! Keisengan yang dilakukan Aries bukan keisengan biasa. Kayaknya anak itu memang ada dendam pribadi padaku! Memangnya kalau suka, bak...