++27 The Truth

662 45 7
                                    


"Gue... suka sama lo, Na."

Mataku terbuka lebar.

Dia... bilang... apa? Aku nggak salah dengar, kan?

"Apa, Kak?" tanyaku padanya untuk memastikan lagi.

"Gue suka sama lo...."

"Hah?" Aku bertanya sekali lagi. Soalnya ini benar-benar seperti halusinasi. Kadang-kadang saking takutnya seseorang, setelah masuk ke rumah hantu dia jadi berhalusinasi macam-macam. Masalahnya pasti yang dihalusinasikan itu pocong, kuntilanak, genderuwo dan sebangsanya, bukan malah pernyataan cinta begini.

"Gue suka sama lo... Ina. Gue mesti bilang berapa kali, sih?"

Aku bengong. Lalu menampar diriku sendiri keras-keras.

"Aww!" Ternyata sakit.

"Kalo lo masih nggak percaya, gue bisa terus ngomong gini semalaman," ucapnya serius.

Kali ini aku bersiap menampar pipi yang satunya. Namun sebelum telapak tanganku memberikan sakit yang sama di pipiku, Kak Cherry menahan tanganku.

"Gue serius. Ini bukan halusinasi. Dan lo nggak perlu nyakitin diri lo sendiri untuk ngebuktiin itu," katanya tegas. Rasa takut pada hantu yang menguasainya sejak masuk ke rumah hantu kini benar-benar hilang sama sekali.

"Tapi kenapa..." tanyaku bingung. 'Bukannya kakak nggak tertarik sama sekali padaku selain sebagai adik kelas dan bawahan?' Maunya sih bilang begitu, tapi tampaknya lidahku terlalu kelu untuk melanjutkan pertanyaan singkatku barusan.

Kak Cherry menggaruk kepalanya yang tidak gatal—atau mungkin gatal beneran karena di sini agak sumpek—dan mencoba menjelaskan padaku. "Sebenernya... Udah cukup lama... Tapi gue nggak berani bilang karena... Yah, lo tau lah..."

"Apa?" Aku benar-benar tidak tahu, lho.

"Itu.... Cowok itu..." Kak Cherry mengedikkan dagunya, isyarat untuk mengingatkanku pada kejadian-kejadian sebelum ini.

"Siapa?" tanyaku lagi meski sudah bisa memperkirakan orang yang ia maksud.

"Cowok bakso itu lho... Gue kira lo berdua—"

"Kan udah Ina bilang nggak!" potongku tiba-tiba. 'Orang yang dari dulu aku suka itu kakak!' ingin rasanya berteriak begitu.

Kak Cherry tertegun. "Iya... Lo kan udah memperjelas itu kemarin. Tapi... Semua orang juga bakal ngira lo berdua pacaran, Na. Lo berdua terlalu... deket..."

Aku menghembuskan napas panjang. Orang-orang matanya di mana, sih? Dari sebelah mananya aku sama Aries bisa dibilang dekat? Kami itu musuh! Musuh! Tiada hari tanpa bertengkar. Baru-baru ini saja kami mencoba mengurangi ego masing-masing dan mulai berteman. Tapi kenapa di mata orang lain kami bisa terlihat sedekat itu, sih?

"Tiap kali gue ngeliat lo, dia pasti ada nggak jauh dari lo. Satu-satunya tempat di mana lo nggak ada bareng sama dia, cuma di perpustakaan. Dan gue bela-belain jadi pengurus perpustakaan supaya bisa ngobrol sama lo, tanpa ada dia... Yah, gue pikir tadinya gitu. Tapi ternyata dia selalu keliatan ada buat lo—"

"Maksudnya?"

"Inget waktu kepala lo kena bola?"

Aku mengangguk cepat.

"Dia ada di sisi lapangan paling jauh, tapi lari lebih cepet dari yang lain untuk nolongin lo. Mukanya kelihatan panik, tapi tetap paling sigap. Sebelum ada orang lain yang bantu ngangkat lo, dia udah bertindak duluan..."

"Oh, waktu Ina digotong kayak karung beras?" kataku dengan nada mencemooh.

"Ha?" Kak Cherry tampak bingung. "Siapa bilang?"

CLBK (Cinta Lama Belum Kelar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang