++28 Teman Lama

704 52 6
                                    

Laki-laki berbadan tegap itu akhirnya berdiri di depan gedung yang ia cari-cari. Kemajuan teknologi bernama GPS membuat dirinya tidak perlu susah payah untuk menemukan alamat penerbit yang tertera pada lembar copyright novel yang selesai dibacanya kemarin. Ia menyisir rambutnya yang sudah rapi dengan jemarinya—memastikan angin tidak merusak tatanan rambutnya. Setelah menarik ujung kemejanya untuk merapikan bagian-bagian yang terlipat, ia akhirnya melangkah maju.

Sebenarnya, bertemu seseorang dari masa lalu sama sekali tidak masuk jadwalnya hari ini. Ia bahkan harus membatalkan janji penting dengan kliennya untuk datang ke sini. Ia tidak menyangka semua hal ini membuatnya sangat gugup.

"Mbak, bisa ketemu penulis buku ini?" tanyanya pada resepsionis.

Perempuan muda yang bekerja di belakang meja resepsionis itu mengeluarkan senyum samar.

"Fansnya ya, Mas?"

Laki-laki itu menggeleng cepat. "Bu-bukan... Saya temennya. Temen..."

Resepsionis itu mengeluarkan senyum samarnya sekali lagi. Dan terus memperhatikan mata laki-laki itu dengan seksama.

"Temen... bener..." kata laki-laki itu sekali lagi.

Wanita di hadapannya mengangguk seolah tahu segalanya—membuat laki-laki itu semakin tegang. "Ada, kok. Sebentar ya. Saya panggil. Nama masnya siapa?"

"Saya—"

____

"NINA! Ada yang nyari tuh di bawah," seru Nurul, salah satu editor tetap perusahaan penerbit itu.

Perempuan berambut ikal bermodel buntut kuda itu masih asyik menyantap lontongnya saat Nurul memberitahu pesan dari resepsionis. Seketika, Nina menatap Nurul dengan wajah terhorornya—tentu setelah Nurul menyebutkan nama orang yang ingin menemui dirinya. Kenangan-kenangan masa SMA pun kembali hadir di benaknya begitu mendengar nama itu.

"Kenapa muka lo gitu? Dia penagih hutang, ya?" tanya Nurul yang heran melihat wajah Nina yang seolah ingin mengubur wajahnya di tanah seperti burung unta.

Nina menggeleng cepat.

'Laki-laki itu lebih parah dari penagih hutang sekalipun', pikir Nina.

"Bos besar ada di ruangan nggak?" Nina balik bertanya, sekaligus mengalihkan pembicaraan.

"Ada, sih. Kenapa gitu?"

"Emergency!" serunya sambil menyingkirkan tubuh Nurul dengan kedua tangan. Nina pun berlari ke ruangan kepala editor mereka.

'BRAAK!'

"Kak!"

Laki-laki berambut ikal yang sedang asyik bercengkrama dengan handphonenya kini menatap Nina, salah satu editor yang bekerja sebagai bawahannya. "Hmm?"

"S.O.S.!" kata Nina panik.

"Apaan? Gempa? Nggak berasa, kok. Kebakaran? Nggak bau asap atau gas juga..." tanya bos-nya yang mulai mengendus-endus sekeliling ruangan.

"Aduuuh... Bukan itu! Farie dateng!" seru Nina.

Ekspresi bosnya sama sekali tidak berubah. "Siapa tuh?"

Nina merasa ingin melepas sebelah sepatunya dan melemparnya ke meja bos. Sayang dia masih takut dipecat seketika. "Aduuh... itu lho, si cowok bakso!"

Bos sekaligus kepala editor Nina akhirnya mengangguk paham. Nina mengira atasannya itu sama terkejutnya dengannya. Tapi sebaliknya, ia justru menunggu-nunggu saat ini tiba.

"Lo sih, Kak! Pake nyuruh Nina nulis novel gituan segala. Dateng kan orangnya. Pasti mau minta royalti deh dia... Kakak aja yang turun doong. Bilang, Nina nggak ada duit, banyak utang. Gitu..."

Atasannya tertawa terbahak-bahak. "Nina... Ninaaa... Lo nggak berubah ya dari dulu."

Nina bingung dengan reaksi atasannya itu. Menanggapi kebingungan Nina, laki-laki itu berdiri dan menghampiri bawahannya. Nina masih juga bingung saat atasannya itu justru menepuk-nepuk kepalanya dan berkata, "turun sana. Gue yakin dia punya motif lain selain royalti."

"Tapi Kak Cherry... Nina nggak tau harus ngomong apa..."

Atasannya yang bernama Cherry itu mendorong punggung Nina ke arah pintu keluar. "Nggak usah ngomong kalo gitu. Biar dia aja yang ngomong," tutup Cherry dengan senyuman penuh makna.

Dengan terpaksa, dan kebingungan yang masih menguasai diri, Nina akhirnya melangkahkan kaki menuju lift. Ia berpikir keras menyusun kalimat di otaknya untuk menyambut teman lamanya yang ia sebut cowok bakso itu. Entah feeling dari mana, Nina merasa teman sekelasnya waktu SMA itu datang dengan kemarahan. Entah karena Nina menjadikannya sebagai tokoh utama cowok di novelnya dan akan menuntut royalti, atau atas alasan lain yang Nina tidak mengerti.

_____

'TING!'

Bunyi lift menandakan kalau Nina telah sampai di lantai dasar. Pintu lift terbuka, namun Nina tidak langsung keluar. Ia berdiri di pojok dekat tombol lift. Tubuhnya menempel erat ke dinding lift, dan ia berusaha mengeluarkan sedikit kepalanya dari lift untuk mengintip orang yang mencarinya.

Laki-laki itu sedang duduk di lobi, tak jauh dari meja resepsionis. Teman masa SMA-nya tersebut masih memiliki wajah tegas seperti dulu, membuatnya lebih mudah dikenali. Hanya saja sekarang tubuhnya menjadi lebih besar dan tegap. Nina masih tidak percaya kalau sekarang ia sedang memandangi bocah tengil yang kini telah tumbuh dewasa. Tidak seperti Cherry—kakak kelasnya yang sama sekali tidak berubah baik karakter dan fisiknya—cowok itu kini lebih tinggi dan wajah yang begitu matang. Dan meski sulit diterima, Nina harus mengakui kalau Farie yang sekarang jauh lebih tampan daripada sebelumnya.

Nina kini mengalami serangan jantung mendadak dan merasa kesulitan untuk melangkah keluar dari lift.

'Itu... Farie?' bisiknya dalam ketidakpercayaan.

Lalu, Farie menoleh dan mata mereka bertemu untuk sepersekian detik. Nina yang terkejut langsung menarik kepalanya dan menyembunyikan dirinya di dalam lift. Tidak. Dia belum siap untuk bertemu Farie sekarang. Dengan panik, Nina menekan tombol lift nomor 3—tempat kantornya berada—berkali-kali, seolah-olah tombol itu berhenti berfungsi.

Farie yang menyadari sesuatu, kini bangkit dari tempat duduknya dan melangkahkan kakinya menuju lift. Ia merasa mengenal mata dan wajah yang mengintip dari dalam lift itu. Lalu, melihat pintu lift mulai tertutup perlahan, ia mulai berlari.

Jantung Nina berdetak keras dan cepat. Ia kini sudah berhenti menekan-nekan tombol lift karena pintu lift mulai tertutup. Namun entah kenapa menunggu pintu lift itu tertutup seperti menunggu gajinya naik. Lambat sekali. Ia menunggu dengan was-was hingga akhirnya kedua pintu lift itu hanya berjarak lima senti sebelum benar-benar tertutup. Jantung Nina mulai memperlambat temponya.

'SET'

Sebuah tangan besar menyelipkan dirinya di tengah-tengah pintu yang hampir tertutup itu. Sehingga, pintu lift perlahan membuka kembali. Kini Nina merasa jantungnya justru berhenti berdetak.

Pintu lift semakin lebar membuka, dan Nina mulai bisa melihat sosok di balik pintu. Sosok yang sejak tadi ia intip dari balik ruangan besi berukuran tidak lebih dari dua meter itu. Nina harus mendongak karena ternyata sosok itu lebih tinggi dari bayangannya saat melihatnya duduk tadi. Mulutnya masih menganga dalam keterkejutan.

"Nina?" suara dengan nada yang berat keluar dari mulut laki-laki itu.

Nina yakin itu benar-benar Farie saat mendengar namanya dipanggil. Meskipun suaranya lebih terdengar sebagai bisikan.

"Euh... Hai..." Nina melambaikan telapak tangan kanannya dengan canggung.

"Mau kabur lagi?" tanya Farie dengan nada menusuk. Kedua tangannya kini menahan pintu lift agar tidak tertutup.

'GLEK' Nina tidak mampu menjawab apa-apa selain menelan ludahnya karena gugup.

TO BE CONTINUED....

_____

Author's Note: Buset, Farie gedenya jadi serem bat.... Bikin orang pen kabur -____-
Yak. Lanjutannya segini dulu. Sisanya belum sempet diedit. Bakal secepatnya diedit yhaaa....

Vommentnya please #kedipkedip #goyanggoyang
(terus ditendang)

CLBK (Cinta Lama Belum Kelar)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang