[20]. Nanggung Malu

67.7K 4.2K 18
                                    

Tifan berjalan lurus sambil matanya menatap derap langkah kakinya, Tifan menghitung setiap langkah yang dia capai. Rasanya ingin terus menghitung sampai pagi datang dari pada harus kembali menemui Ashta yang jelas-jelas hanya akan membuatnya menahan rasa sedih lagi.

"Sembilan. Sepuluh. Satu. Dua. Tiga." Ucap Tifan terus menerus, jika sudah menyebut angka sepuluh, Tifan kembali lagi keangka satu.

"Empat. Lima. Enam. Tujuh. Delapan. Sembilan. Sepuluh. Satu. Dua. Ti-"

"Tifan?" Panggil seseorang dihadapan Tifan, Tifan hanya bisa melihat sepatunya karena memang Tifan sedari tadi tidak melihat kedepan, Tifan hanya mengikuti jalanan trotoar, tak perlu takut menabrak seseorang, toh orang yang berjalan berlawanan arah dengan Tifan akan menghindar dengan sendirinya kalau-kalau Tifan menabrak mereka.

Tifan menengok kedepan, melihat siapa orang yang tadi memanggilnya. "Loh, Frian? Kamu ngapain disini?" Tanya Tifan sedikit kaget karena yang berdiri didepan dan memanggilnya adalah Frian.

"Harusnya gue yang namaya sama lo, lo ngapai didaerah sini? Malem-malem lagi, bukannya tadi dianter balik sama Deran ya?"

Tifan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, sungguh sulit menjawab pertanyaan Frian yang menjebak. "Aku lagi maen kerumah temen aku, nih tadi abis beli makanan dulu buat makan disana."

"Oh Rumah temen? Emang lo bawa apaan tuh?" Tanya Frian sambil pandangannya jatuh ke kantung plastik yang ada ditangan Tifan.

"Nasi padang." Jawab Tifan sambil mengangkat pelastik hitam itu keudara.

Frian tidak percaya dengan apa yang dikatakan Tifan. "Tadi lo bilang lagi maen dirumah temen kan? Gila gue kebelet banget nih, boleh numpang ke toilet temen lo dulu engga?" Ucap Frian sambil menunjukan wajah gelisahnya.

Tifan yang mendengar hanya diam tak bisa berkutik dan berkata-kata, gimana caranya supaya Frian percaya kalau Tifan bukan pergi kerumah temannya tapi Tifan sedang mengunjungi temannya, bukan dirumah melainkan dirumah sakit.

Tifan melirik gedung tinggi yang berdiri tegak disampingnya. "Itu disamping kamu ada rumah sakit, engga numpang disitu aja?" Jawab Tifan ragu-ragu.

Frian mengikuti pandangn Tifan, raut wajah kagetlah yang Frian tunjukkan. "Gila lo, lo pikir gue gila apa? Asal masuk-masuk kerumah sakit jiwa, ogah." Tolaknya

"Loh kenapa kamu malah ngatain saya gila, lagian kamu Cuma mau numpang ketoilet doang kan, suster disana juga engga akan ngira kamu itu orang gila yang kabur."

"Aduh udah diujung nih, buruan dikit napa." Ucap Frian tak tahan.

Tifan menggaruk tengkuknya yang sama sekali tidak gatal. "Em, gimana ya. Masalahnya rumah temen aku tuh jauh banget." Ucapnya ngasal.

"Udah buruan jalan, gue udah kebelet banget nih." Tak menghiraukan perkataan Tifan, Frian langsung menarik Tifan dari tempat itu.

Apa yang harus Tifan lakukan, mungkin sekarang Tifan sedang memarahi kebodohannya. Harus cari rumah siapa, harus numpang ketoilet sama siapa? Temen? Jelas-jelas Tifan kedaerah sini bukan untuk bertemu temannya yang sedang duduk santai dirumahnya.

Frian masih terus berjalan mengikuti Tifan yang sedari tadi celingak celinguk mencari rumah yang kiranya bisa membantunya dan juga membantu Frian.

Suara dering ponsel terdengar, itu ponsel Frian. Langsung saja Frian mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya. "Ya Ran? Ada apaan?"
"Yaudah gue langsung caw." Frian langsung mematikan ponselnya.

Tifan yang berhenti menunggu Frian bertanya kepada Frian. "Loh katanya kebelet, buruan katanya mau mampir dulu."

"Gue dicariin, buang airnya entar aja di pom lah. Gue duluan." Katanya sambil mengangkat tangan. "Eh ngomong-ngomong rumah temen lo mana? Kalo gue kebelet lagi gue bisa mampir kan?"

Tifan tak membalasnya, Tifan hanya mengangguk saja. Setelah itu Tifan bisa bernafas legak arena Frian sudah pergi jauh dengan mobilnya.

Tifan pun langsung memutuskan pulang. "Biar nasi padangnya buat Pak Salim aja." Ucapnya kemudian pergi dari tempat itu.

+++

"Sayang kamu buru-buru banget. Engga sarapan dulu?" Ucap Riana saat melihat Tifan yang berlari menuruni tangga sambil memakai dasinya.

"Mah minjem Pak Salimnya satu hari lagi boleh?" Kata Tifan tiba-tiba dengan nada yang tergesa gesa.

"Kamu engga berangkat bareng Papah lagi?" Tanya Riana lembut.

Tifan malah menunjukan wajah yang gelisah. "Hari ini lagi gawat Mah, Tifan lagi buru-buru."

"Pak, buruan anterin Tifan sekolah." Tifan teriak kearah Pak Salim yang hendak menuju garasi. "Ayo pak, ini gawat," Kali ini Tifan menarik lengan Pak Salim.

Tifan pun langsung pamit pada Riana.

"Assalamualaikum Mah. Papah Tifan duluan ya." Teriak Tifan karena Andrew masih didalam kamar.

"Jangan lupa baca doa Fan, jangan buru-buru gitu ih."

Tifan sampai didepan gerbang, dia langsung berlari menuju kelas Deran. Setelah sampai di kelas sebelas, Tifan berjalan secara mengendap endap. Sebenarnya tak perlu mengendap endappun tidak akan ada yang tau karena ini masih sangat pagi, tapi Tifan harus tetap waspada.

Tifan langsung masuk kekelas Deran yang rupannya tidak dikunci, biasanya kan kelas kelas selalu dikunci oleh pemilik kelasnya.

Tifan duduk di kursi Deran, kemudian Tifan langsung melihat kekolong meja Deran. "Loh kok engga ada sih? Apa udah ditemuin sama orang lain ya?Apa sama temennya Deran?"

Tifan terus mencari-cari benda yang kemarin dia taruh disana. "Aku yakin kok naronya disini." Tunjuknya kearah meja Deran.

"Yakin banget engga naronya bener?" Suara barinton yang khas menyadarkan Tifan. Tifan sangat kenal suara itu.

"Loh Deran." Ucapnya sedikit kaget.

"Loh Tifan." Ucap Deran menirukan nada bicara Tifan.

"Kamu udah datang?" Tanya Tifan sedikit panik.

"Harusanya aku yang nanya kamu ngapain datang pagi-pagi- eh tunggu ini masih jam enam kurang sepuluh, dan kamu sekarang lagi duduk dikursi saya dengan tas yang masih kamu gendong?"

"Iya."

"Lagi ngapain emang? Mau nyapa aku?"

"Hah? Eng-engga kok. Aku duluan kekelas, lupa kalo hari ini piket." Tifan langsung bangkit dari duduknya kemudian langsung beranjak pergi dari ruangan kelas Deran.

"Eh tunggu dulu," Deran menarik lengan Tifan sebelum Tifan pergi. "Kamu nyari ini?" Tanyanya sambil mengangkat plastik putih yang kemarin Tifan taro di meja Deran.

"Em, engga kok. Emang itu apaan?" Kata Tifan berlagak tak tau apa-apa.

"Loh kok malah balik nanya, ini kamu yang kasih, kamu juga yang nulis surat ini kan?" Deran menaik turunkan kedua alisnya.

"Yaudah kalo engga dipake balikin lagi ke aku."

"Barang yang sudah diberi tidak dapat ditukar atau dikembaikan."

"Aku bukang tukang matrial."

"Nah pinter, aku juga bukan beli obat ini ditoko matrial, ini tuh bukti perhatian dari kamu tau."

"Apaan sih Ran, lebay banget." Tifan melepaskan lengan Deran yang dari tadi masih memegang lengannya. "Buruan balikin, lagian kamu udah engga sakit lagi kan?"

"Siapa bilang, aduh yang ini sakit nih, aduh kok baru kerasa ya. Ini kenapa ke kaki-kaki ya, aw pergelangan tangan gue." Deran langsung memegangi bagian-bagin tubuhnya yang sakit. Tifan tau kalau laki-laki didepannya ini sedang berbohong, sudah sangat terlihat. Tifan menghentakkan kakinya kemudian langsung keluar dari kelas Deran.

"Eh mau kemana Fan? Ngambek?" Teriak Deran sambil menatap kepergian Tifan. Deran hanya bisa tertawa sambil geleng-geleng kepala dengan apa yang barusan terjadi.

Deran berdecak sambil tersenyum. "Tifan, Tifan. Gampang banget buat dunia gue goyang."

a/n

Nama Riza diganti jadi Raka.

Through It TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang