Exstra Part

70.1K 2.5K 66
                                    


••••••


Hari berjalan begitu sangat cepat, umur pun terus bertambah dengan seiring berjalannya waktu. Beruntung bagi Deran dan Tifan yang memanfaatkan waktu kebersamaan mereka dan bisa melukis sejarah mereka dimasa-masa yang tak bisa mereka nikmati lagi, masa muda.

Berapa tahun lalu, Deran selalu membayangkan bagaimana dirinya dahulu dan sekarang. Dahulu saat dia masih menjadi anak SMA yang tiba-tiba jatuh cinta dengan gadis lugu seperti Tifan.

Masa-masa SMAnya mungkin kurang terlalu berfaedah, tapi dia bangga dengan dirinya yang dulu.

-

Tifan selalu menceritakan kepada anak-anaknya tentang masa lalunya dan masa lalu Deran.

Gadis remaja itu tersenyum, dia Ralina Eirin Nuarta, anak kedua Deran dan Tifan. Gadis yang sekarang duduk di bangku SMA itu tertawa membayangkan bagaimana dahulu Ayahnya dan Ibunya bertemu dan betapa nakalnya Deran dahulu.

"Masa Mah? kok Mamah selalu ceritain tentang keburukan Papah mulu? Nakalnya kebangetan emang?" tanya gadis itu.

Keluarga kecil itu sekarang sedang berkumpul di ruang keluarga sambil mengobrol.

Anak sulung Tifan ikut bicara. "Untung sifat Papah engga semuanya nurun ke Angga, untung Angga ngewakilin sifatnya Mamah," Anggara tersenyum bahagia saat melihat Ayahnya terpojok. "Itu mah si ade yang nurunin sifat Papah," kata Angga melirik Ralin.

"Yee, itu mah Abang kali," gadis itu tak setuju.

"Abang engga pernah diajarin berantem sama Papah, kamu tuh yang dulu suka banget nantangin anak tetangga, eh pas ditantang balik malah nangis." ledek Abangnya.

Umur Angga sekarang 19 tahun, dia kuliah di salah satu Universitas di Bandung, semester 3.

"Kok Mamah cinta sama Papah? Papah kan nakal, terus engga pinter-pinter banget." Ralin melirik kearah Ayahnya sekilas.

"Papah gini-gini juga terkenal di seluruh Jakarta, pas Papah ditinggalin Mamah kamu ke Korea, Papah mulai berubah, belajar giat, berusaha terus, sampe akhirnya bisa lulus kuliah dan jadi Arsitek, kamu engga bangga?" Deran menatap mata Ralin anaknya.

"Bangga sih, tapi kan Papah jarang dapet job, Papah lebih banyak ngehabisin waktu buat ngurusin perusahaannya Nenek."

"Sekalinya dapet job, itu sama aja kaya gaji Papah setahun di perusahaan." bela Deran.

"Ralin juga punya temen yang nakal, dan sedikit bad boy, dia baik sebenernya, dia mirip Papah jaman dulu."

"Jangan mau deket-deket dia, nakal, masa depan suram, jangan dibanding bandingin sama Papah."

"Heist, jangan bilang gitu ah, takdir itu bukan sepenuhnya ditentukan oleh manusia, ada do'a dan usaha juga, mana tau nanti dia bisa lebih sukses dari kita."

"Iya Mah, dia pinter kok, beda sama Papah."

"Kamu suka sama sekolah yang sekarang?" tanya Tifan.

"Suka," Ralin menjawab dengan semangat. "Suka banget, walaupun ada satu orang yang engga suka sama Ralin." suaranya merendah saat mengucapkan kalimat itu. Sesaat Ralin langsung membayangkan wajah orang yang mungkin menurut Ralin dia tidak menyukai Ralin, kadang kadang juga menyukai Ralin, dia labil.

"Itu karena kamu ada salah kedia kali, makanya jangan bikin masalah mulu."

"Ihh... Abang! Ralin tuh engga suka bikin masalah."

Through It TogetherTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang